Sunday, October 16, 2016

Isih Bisa Dhaftar Dadi Peserta KSJ IV

PANITIA isih buka pendhaftaran peserta  Kongres Sastra Jawa IV nganti Rebo 19 Oktober 2016. Kongres bakal dilaksanakake ing Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), 4-5 November 2016. Peserta bisa sapa wae: guru, dosen, mahasiswa, seniman, budayawan, staf dinas, lan kang nduweni kawigaten marang sastra Jawa. Prabeya kanggo dadi peserta Rp 300 ewu, kanthi fasilitas nginep rong wengi, dhahar, materi, lan sertifikat.

Saliyane iku, panitia uga isih nampa tulisan ilmiah arupa asil panaliten, kritik, utawa gagasan ngenani sastra Jawa nganti Rebo 19 Oktober 2016. Kanggo tulisan kang bakal diterbitake ana buku ilmiah kang nganggo ISBN iku, panulis menehi prabeya Rp 500 ewu (wis klebu dadi peserta KSJ IV).

Kanggo terbitan buku sastra, kang uga bakal diterbitake ana KSJ IV, panitia uga isih nampa tulisan awujud gurit lan cerkak. Kanggo iki, panitia ora narik prabeya, utawa gratis. Katrangan jangkep bisa lumantar Dhoni Zustiyantoro (081328576773) utawa pamflet ana ngisor. Tulisan ilmiah lan sastra bisa dikirim lumantar layang setrum kongres.jawa@gmail.com.


======================================================================


SUSUNAN ACARA
Kongres Sastra Jawa IV
Kampung Budaya Unnes
Kota Semarang, 4--5 November 2016


Jumat, 4 November 2016
No
Waktu
Kegiatan
Tempat

12.00 – 17.00
Check in peserta di penginapan Graha Wiyata Patemon
Graha Wiyata Patemon

18.30
Peserta sampai di Kampung Budaya
Unnes

18.30-19.30
Praacara, suguhan klenengan, dan makan malam
Unnes
1
19.30 – 20.30
Pembukaan dan sambutan
Unnes
2
20.30-22.00
Pentas apresiasi karawitan/wayang/drama/ pembacaan dan musikalisasi gurit dan cerkak
Unnes
3
22.00-22.15
Perjalanan menuju Graha Wiyata Patemon
-
4
22.15 – Pagi
Istirahat
Graha Wiyata Patemon

Sabtu, 5 November 2016
No
Waktu
Kegiatan
Tempat
1
06.30 – 06.45
Perjalanan ke Kampung Budaya
-
2
06.45 – 07.45
Sarapan
Kampung Budaya
3
07.45 – 08.00
Persiapan Kongres I

Kampung Budaya
4
08.00 – 11.30
Sarasehan I
Kampung Budaya
5
11.30 – 12.30
Istirahat, salat, makan siang
Kampung Budaya
6
12.30 – 15.00
Sarasehan II
Kampung Budaya
7
15.00 – 15.30
Istirahat (coffee break)
Kampung Budaya
8
15.30 – 17.00
Sarasehan III
Kampung Budaya
9
17.00 – 17.15
Perjalanan ke Graha Wiyata Patemon


10
17.15-18.30
Isama
Patemon
11
18.30-19.30
Makan malam
Patemon
12
19.30-19.45
Perjalanan menuju Kampung Budaya
-
13
19.45-20.00
Persiapan pentas
Kampung Budaya
14
20.00-22.00
Pentas dan apresiasi, peluncuran buku, penutupan, pembagian sertifikat.
Kampung Budaya
15
22.00-22.15
Perjalanan kembali ke penginapan
-
16
22.15-pagi
Istirahat
Graha Wiyata Patemon
17
07.00
Check out
Graha Wiyata Patemon
  



Tuesday, February 18, 2014

“Bahasa Jawa Harus Membaur dalam Pasrawungan Global”

Pertengahan Desember 2013, Lembaga Penerbitan Pers Mahasiswa (LPM) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN) Kudus mewawancarai saya, Dhoni Zustiyantoro, terkait upaya pemertahanan bahasa Jawa di era modern. Di sini, saya hadirkan hasil wawancara berupa catatan. Semoga bermanfaat.
---------------------------------------------------------------------------
Bapak Dhoni Zustiyantoro, pegiat budaya Jawa, penulis di rubrik "Pamomong" berbahasa Jawa Suara Merdeka,
1)        Bagaimana Anda menilai sejarah perkembangan bahasa Jawa hingga kini?
Bahasa Jawa sebenarnya sudah sangat berkembang. Salah jika mengatakan bahasa ini kuno dan ketinggalan zaman. Bahasa Jawa sebagai produk kultural budaya Jawa telah mampu berakulturasi dengan bahasa dan budaya lain di luar Jawa.
Penduduk asli Jawa yang tak hanya tersebar di berbagai pelosok negeri ini, tetapi juga  di negara lain, sebut saja Malaysia dan Suriname, punya andil dalam tumbuh-berkembangnya bahasa Jawa. Daerah sebaran penutur yang sangat luas ini menyebabkan konsekuensi dari munculnya berbagai dialek geografis. Sementara itu, dilihat dari beranekanya lapisan masyarakat yang memakainya, sangat menonjol pula adanya perbedaan pemakaian yang dipengaruhi oleh usia pemakai.
Perbedaan yang menonjol ini tampak jelas manakala mereka menerapkan unggah-ungguh dalam berbahasa Jawa. Salah satu bentuk unggah-ungguh yang sangat penting adalah pemilihan ragam tingkat bahasa Jawa ngoko dan krama di dalam berkomunikasi yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya kelas sosial, usia, jenis kelamin, topik pembicaraan, dan lain sebagainya.
Hal yang kurang tepat jika kita punya persepsi bahwa bahasa Jawa yang “standar” itu gaya Surakarta dan Yogyakarta. Karena bahasa merupakan kesepakatan, ia dituturkan, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat pemakainya. Meski kemudian berakulturasi dengan banyak bahasa lain yang dibawa oleh para pendatang. Kemudian kita tahu, ada bahasa Jawa semarangan,  pesisiran, banyumasan, ngapak-tegalan, hingga jawa timuran. Semua punya pakemnya sendiri dan berkembang mengikuti kebutuhan zaman.

2)        Seberapa pentingkah pelestarian bahasa Jawa ke depan? Mengapa?
Bahasa Jawa mengandung tingkat tutur yang bila diterapkan secara semestinya, akan secara otomatis mengajarkan ungguh-ungguh. Ilustrasinya seperti ini. Seorang anak yang berbicara kepada orangtuanya tidak dibenarkan menggunakan bahasa Jawa ragam ngoko dan sudah semestinya menggunakan krama. Dan, mau tidak mau ketika sudah berbahasa krama, solah bawa pun harus selaras. Posisi badan tidak dibenarkan lebih tinggi dari yang diajak bicara. Ini adalah wujud betapa ketika bertutur, sikap tubuh haruslah mengikuti dan selaras. Itu saya katakan “konsep awal” pengenalan unggah-ungguh, menyatu atau nyawiji antara tuturan dan tindakan. Lebih jauh, dalam budaya Jawa, hal itu tiada lain untuk ngajeni liyan, menghargai sesama. Melalui tuturan dan tindakan yang baik, sebagai individu, kita hendak “meninggikan derajat” orang yang kita ajak bicara.

3)        Menurut Anda, faktor apa yang menyebabkan bahasa Jawa semakin pudar? Siapa saja yang berperan?
Yang sering disalahkan terkait dengan memudarnya bahasa Jawa adalah anak-anak dan generasi muda. Mereka sering dianggap tidak bisa atau tidak mau berbahasa Jawa. Memang, nyatanya dalam pergaulan dan kesehariannya, terutama bagi yang tinggal di perkotaan, remaja lebih gemar berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan mengimbuhkan banyak istilah asing.
Akan tetapi, sudahkah para orangtua juga mengajarkan dengan semestinya? Mereka acap menginginkan anaknya berbahasa Jawa dengan halus dan sempurna, tapi tak lagi secara konsisten memberikan pembelajaran itu dalam keluarga. Lagi-lagi alasan kesibukan dan banyaknya pekerjaan menjadi faktor penghambat pendidikan Jawa dan moral ini absen dalam keluarga.
Kemudian, orangtua pasrah sepenuhnya dan memberikan tanggungjawab ini kepada sekolah dan guru. Ini yang harus dibenahi. Berapa jam pelajaran bahasa Jawa dalam waktu seminggu? Berapa jam siswa berada di sekolah? Tentu tidak lebih lama dari saat mereka ada di rumah, bersama keluarga.

4)        Bagaimana sebaiknya agar masyarakat tetap melestarikan bahasa Jawa?
Bisa dimulai dari keluarga sebagai bagian terdekat dengan seorang anak sebagai pewaris dan generasi penutur bahasa Jawa. Selain itu, berusaha menempatkan bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dalam komunikasi dan interaksi seluruh anggota masyarakat. Bahasa Jawa juga harus didorong untuk selalu digunakan sebagai bahasa pengantar informasi, komunikasi, dan edukasi di masyarakat seperti dalam khotbah keagamaan di tempat peribadatan, rapat-rapat RT/RW, kegiatan maupun ritual agama dan tradisi, dan dalam kegiatan organisasi masyarakat.

5)        Bagaimana peluang bahasa Jawa ke depan?
Setiap tahun di kampus Universitas Negeri Semarang, saya punya teman-teman baru. Mereka adalah mahasiswa asing yang belajar seni dan budaya Indonesia melalui sebuah program yang dijalankan pemerintah. Mereka juga tertarik untuk belajar bahasa Jawa.
Melihat hal itu, betapa bahasa Jawa adalah aset kultural yang tak ternilai. Bahasa Jawa telah melintas batas, tidak cuma dipakai, dan pada bagian lain sering dikatakan diuri-uri, oleh masyarakat lokalnya, tetapi dalam ranah yang lebih luas, bahasa Jawa dipelajari, dan dicecap beragam kearifannya. Berdasar pengalaman saya bersama beberapa kawan mementaskan kesenian di Prancis, tahun 2012, juga membuktikan, apresiasi khalayak asing sungguh luar biasa terhadap aset kultural salah satu budaya bangsa ini. Bahasa, termasuk seni dan budaya Jawa, sangat punya peluang untuk mengglobal dan mendunia.

6)        Apa saja yang menjadi tantangan kelestarian bahasa Jawa?
Ironi justru dicipta sendiri oleh para pemilik asli. Bahasa Jawa harusnya menjadi identitas dan karakter yang dibanggakan, di mana pun dan ke mana pun orang Jawa tinggal. Ketika dihadapkan pada realitas global, bahasa Jawa justru harus hadir untuk mengukuhkan lokalitasnya. Hal ini terkait dengan nilai dan kearifan yang mungkin mampu menjadi oase di tengah hiruk-pikuk modernitas. Masalahnya, tak semua orang Jawa punya semangat dan kesadaran ini. Dan, harus diakui, globalisasi menggiring kita pada pemikiran serba cepat, praktis, instan. Kita selalu mengklaim tak punya waktu untuk belajar bahasa Jawa yang dianggap sulit karena mengandung tingkat tutur. Namun tak ada yang tak mungkin. Bila segenap pihak bersatu untuk mewujudkan pola-pola pelestarian yang jelas, terarah, dan tertarget, bukan tidak mungkin bahasa Jawa kian mendapat tempat. Menggandeng pendidik, pemerhati, budayawan, hingga media, adalah bagian dari upaya itu.

7)        Apa saja dampak negatif dari kian lunturnya budaya tutur bahasa Jawa?
Saya tidak perlu mendikte dan menjelaskan tentang hal itu, tapi coba kita lihat realitas yang ada dewasa ini. Lewat media kita tahu, di Jakarta banyak siswa usia sekolah yang beramai-ramai membajak bus, tawuran, dan melakukan tindakan kriminal lain. Di daerah lain, bocah seusia SD bertindak asusila dengan menyetubuhi anak TK setelah menonton video porno. Bahkan, tidak sedikit pula yang bahkan melakukan tindakan itu kemudian merekamnya. Realitas tersebut adalah bukti bahwa makin lunturnya moral di kalangan remaja sebagai generasi penerus bangsa, yang tentu dibarengi dengan menurunnya banyak hal yang terkait dengan pendidikan moral itu sendiri. Saya rasa semua ini saling berkaitan, tentang hadirnya sikap dan perilaku berbudaya, yang bisa dimulai dari cara bertutur. Tentu kita tidak berharap ironi ini makin mengakar dan menjangkiti generasi muda. Caranya? Tiada lain dengan menanamkan kearifan sejak dini. Bahasa Jawa sebagai bahasa ibu bagi penduduk asli Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur, bisa menjadi sarana jitu.

8)        Bagaimana menurut Anda, peran pendidikan formal terhadap pelestarian bahasa Jawa?
Pendidikan formal, dalam hal ini sekolah, punya andil besar pada apa yang disebut sebagai pelestarian bahasa Jawa. Dalam upaya ini, kualitas guru tentu saja menjadi hal yang teramat penting. Menggunakan media yang menarik dan pembelajaran yang tidak membosankan bagi siswa, menjadi kunci diminatinya pelajaran bahasa Jawa. Hal ini sebagai upaya supaya pelajaran itu tak jadi momok di sekolah, membuat bahasa Jawa tak berjarak dengan siswa. Pemerintah dan perguruan tinggi sebagai pencetak tenaga pendidik harus berupaya untuk melakukan peningkatan mutu pembelajaran dan melakukan kontrol kualitas para guru.

9)        Apa trik-trik khusus yang Anda lakukan guna melestarikan bahasa Jawa?
Sederhana saja, selalu menggunakan bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari. Bahasa Jawa akan selalu ada jika selalu digunakan oleh para penuturnya. Karena nyatanya sekarang banyak orang yang enggan berbahasa Jawa, meski sama-sama tahu, yang diajak ngobrol adalah orang yang sama-sama paham bahasa Jawa. Ini tidak salah, tapi dalam upaya pemertahanan, langkah awal memang selalu menuturkannya. Kesadaran ideologis untuk itu perlu senantiasa dibiakkan. Tak harus muluk-muluk pakai krama, tapi bisa diawali dengan ngoko. Yang penting keterbukaan dan kemauan untuk belajar.

10)    Apa harapan Anda mengenai perkembangan bahasa Jawa?
Bahasa Jawa harus nut jaman kalakone, mengikuti perkembangan zaman. Bahasa Jawa harus mampu menyatu dan membaur dalam pasrawungan global. Dengan cara itulah, bahasa Jawa bakal mampu “diajak berpikir global”, namun tetap membiakkan kearifan lokal.

11)    Adakah pesan khusus untuk pemuda Jawa terdidik?
Bahasa Jawa adalah warisan tak ternilai. Sebagai generasi muda, sudah menjadi kewajiban untuk selalu menjaga dan terus mengadakannya. Ini adalah tanggung jawab moral. Para pujangga bilang, rum kuncaraning bangsa dumunung aneng luhuring budaya, kebesaran sebuah bangsa terletak pada luhur budayanya. Kelak, semoga bahasa Jawa tidak menjadi jejak sejarah, tapi selalu ada, untuk dituturkan, dan dibanggakan sebagai produk sekaligus aset kultural.