Sastra Jawa senantiasa menjadi bahasan menarik untuk diperbincangkan dan diperdebatkan. Sastra Jawa sebagai bagian penting dari kebudayaan Jawa yang feodalis, aristokrat namun populer masih hidup dan eksis di tengah dinamika perkembangan sastra kontemporer.
Tidaklah pernah secara kalkulatif mencapai era keemasan, sebagai mainstream kebudayaan sebuah masyarakat dan tidak pernah mengisi ”peti mati” kematisurian sebuah kreasi seni, sastra Jawa masih ”diuri-uri” oleh mereka yang memiliki jiwa militan dan cinta yang berlebihan.
Sastra Jawa kini seolah dihidupkan kembali oleh politik literasi media. Banyak media lokal, yang mempersembahkan berlembar-lembar halaman untuk menampilkan karya estetik sastra Jawa. Sastra Jawa meraih hak eksklusifnya oleh penjaga rubrik media untuk di-”pakelir”kan. Sastra Jawa tidak lagi bergantung kepada media klasik yang hidup dari kesetiaan pelanggan yang semakin menyusut diterjang rumus usia, semacam Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan sebagainya.
Beberapa media lokal di pusat kebudayaan ”istana sentris” Jawa mempersembahkan beberapa halamannya untuk tampilan wacana sastra dan bahasa Jawa reguler seminggu sekali. Lembar sastra dan bahasa Jawa menjadi arena eksposur karya kreatif mereka yang bolehlah disebut sebagai “Mpu” sastra Jawa dengan berbagai karya cerita cekak (cerkak), puisi, bahkan esai sosial dengan medium bahasa Jawa. Beberapa kritikus sastra Jawa juga “ajeg” menuangkan analisa “tekstual” yang membedah eksistensi sastra dan kebudayaan Jawa.
Sayangnya di balik geliat media yang meresponsi ”culture will” melanggengkan sastra dan bahasa Jawa sebagai wacana publik ada realitas ironi. Bahwa sastra Jawa dan atmosfer kreatif peng-karya-annya mengalami ”kemiskinan” kreator serta dinamika ideologi.
Kemiskinan kreator nampak jelas dari mereka yang menjadi punggawa wacana sastra Jawa yang merupakan barisan penulis (sastrawan) Jawa yang bisa digolongkan sebagai kaum ”gerontokrat” sastra. Sastrawan yang hidup dalam tiga zaman arus kreatifitas. Sangat minimal kehadiran penulis sastra yang muda dalam usia dan muda dalam gagasan. Meski sesungguhnya ladang persemaian sastra Jawa secara formal terdapat di berbagai kampus atau perguruan tinggi yang membuka program studi sastra Jawa dan pendidikan sastra dan bahasa Jawa.
Beberapa kritikus sastra Jawa yang bolehlah disebut sebagai esais budaya populer mayoritas juga merupakan ”pemain” lama. Hanya segelintir kritikus sastra Jawa yang baru muncul di pertengahan tahun 2000-an dan mereka tidak hanya menggeluti kritik sastra Jawa semata. Lebih banyak penulis esai sastra budaya, yang kebetulan mencoba menjadi kritikus koran, tentang sastra Jawa. Kritikus sastra Jawa yang mumpuni semacam Suripan Sadi Utomo atau almarhum Poer Adhi Prawata serta yang lain seolah berjalan dalam laku kesendirian ketika mereka menuangkan kritik atas kemacetan sastra Jawa.
Sastra Jawa ibaratnya ”lokomotif tua” yang telah masuk dalam museum dan kemudian di-rebuild kembali untuk dijadikan kereta wisata. Sastra jawa hanya untuk melayani para wisatawan yang memang memiliki culture interest dalam menikmati sajian aksesori kebudayaan tempo dulu. Meskipun sastra dan Bahasa Jawa ditampilkan dalam berbagai media cetak harian namun yang merasa dan antusias menikmati sajiannya adalah para ”wisatawan” sastra Jawa yang memiliki militansi dan kepedulian terhadap sastra Jawa.
Sastra Jawa dalam telusur dinamika kesusastraan bolehlah dikatakan sebagai sastra etnik atau sastra lokal. Sebagaimana nasib sastra etnik yang lain, yang tergerus politik bahasa semenjak nota Rinkes di Balai Pustaka sampai arus revolusi sosial era 20-an dan era 40-an. Arus revolusi sosial yang menolak politik bahasa feodalistik yang merepresentasikan kasta sosial. Sastra Jawa dengan medium Bahasa Jawa sebagai penyampai pesan, oleh pelaku gerakan sosial dianggap tidak mencerminkan egalitarianisme budaya. Tidak mengherankan periode revolusi sosial tersebut ada resistensi Bahasa Jawa dalam term gerakan Djawa Dwipa.
Sastra Jawa diakui atau tidak bernenek-moyangkan kultur istana. Kultur istana yang mematenkan legitimasi kekuasaan raja dan para aristokratnya. Namun hal tersebut mulai mengalami reaksi ”kudeta” budaya, manakala puncak legitimasi istana tergerus oleh paham kerakyatan. Sastra Jawa bergeser menjadi sastra publik. Rakyat jelata bisa menjadi ”sastrawan” Jawa tanpa harus bergelar bangsawan sebagaimana Ronggowarsito, Padmasastra, dan para ”pujangga” istana yang lain.
Menjadi sastra publik, sastra Jawa sempat menggeliat dalam era 50-an sampai era 70-an, manakala beragam kalawarti (majalah) berbahasa Jawa ”menyambangi” pembaca dengan pelanggan setianya. Berbagai kreasi sastra Jawa dalam bentuk cerita cekak (cerpen), geguritan (puisi), andharan wacana (berita aktual) andil mempopulerkan para punggawa sastra Jawa. Para punggawa yang sepanjang hidupnya aktif dalam dunia kepenulisan sastra Jawa. Meminjam istilah Arswendo Atmowiloto, sastrawan Jawa tetap menulis sampai tidak bernapas lagi. Sebabnya: ”tidak ada pengganti yang mumpuni dan menggeluti sastra etnik tersebut”.
Sayangnya fase krisis identitas kebangsaan apalagi etnik, yang menggempur kosmologi kesadaran masyarakat, terutama generasi budaya pop awal tahun 80-an yang menghadirkan malapetaka sejarah sastra Jawa. Sastra Jawa tidak mampu mempertahankan pasar wacananya. Pasar wacana sastra Jawa semakin menyusut, karena dilibas usia dan beralih kepada pasar wacana bahasa yang dianggap modernitas.
Sastra Jawa semakin tenggelam, dalam eksistensi semu komunitas terpencil. Mengapa sastra Jawa mengalami kemunduran reproduksi, kreasi, proses regenerasi? Ada tiga jawaban mendasar yang bisa dimajukan. Pertama, sastra Jawa gagal mensintesiskan diri dalam laju dialektika kebudayaan. Sastra Jawa bergerak statis dalam langgam surplus egoeksistensi karena didukung oleh perangkat keras-lunak kebudayaan.
Kedua, sastra Jawa gagal meredefinisikan diri menjadi bagian kepemilikan ideologis komunitas agung etnik Jawa. Sastra Jawa tidak seperti varian kebudayaan etnik Jawa semacam wayang, musik Jawa (klenengan, gamelan, campursari yang modern). Sastra Jawa tidak dianggap sebagai produk kreatif kebudayaan Jawa yang populer.
Ketiga, sastra Jawa adalah sastra yang ”mbeguguk kutha waton” (keras kepala). Keras kepala dalam mempertahankan tema picisan dalam reproduksi karyanya. Tema sastra Jawa berputar-putar pada tema klasik-naif semacam alam lelembut, kisah klasik wayang, cerita misteri dan romantisme dangkal. Padahal, pesaing abadinya yakni sastra non-etnik mengalami dinamika pergulatan ”ideologi” kesusastraan serta merambah dimensi teknologi-informasi. Dalam titik inilah sastra Jawa seharusnya mulai berbenah. Sastra Jawa dengan sisa-sisa pendukung subjektifnya, harus mulai memikir-ulang struktur tema pewacanaan. Harus bersedia menjebakkan diri dalam pergulatan ideologi. Sebagai contoh: sastra Jawa dengan bahasa egaliter ngoko patut dicoba untuk mengungkap bahasan realisme sosial. Berbicara tentang nasib rakyat jelata melalui karya cerkak, geguritan, novel, dan sebagainya.
Yang juga penting dilakukan adalah peran institusional berbagai kampus yang memiliki program studi sastra Jawa dan sekolah formal untuk serius melakukan fasilitasi edukasi yang menarik serta membangkitkan gairah belajar siswa (mahasiswa) terhadap sastra Jawa. Sehingga diharapkan dari dunia pendidikan formal terlahir sastrawan dan kritikus sastra Jawa yang mumpuni.
Dalam ranah struktur khususnya politik atau pula policy kebudayaan era otonomi daerah sebenarnya telah membuka peluang lebar bagi bersemainya kembali ruang ekspresi sastra Jawa. Bahasa Jawa sebagai medium sastra Jawa bahkan dicoba oleh beberapa pemerintah Kabupaten menjadi bahasa komunikasi formal secara reguler. Karanganyar misalnya dua hari dalam seminggu mewajibkan para pegawai negerinya berkomunikasi dengan bahasa Jawa klaster Krama Inggil. Hal ini perlu diapresiasi oleh penjaga kreativitas Sastra Jawa sebagai ladang subur distribusi gagasan-wacana sastra Jawa.
Penulis adalah Guru SMAN 1 Sragen.
Penikmat sastra tinggal di Sragen
Harian Joglo Semar, Sabtu, 07/11/2009 20:56 WIB
nggalek.co
8 years ago
0 comments:
Post a Comment