Bikin Yayasan Khusus Orang Kecil, ke Kampus Sering Ngontel
Ayu Sutarto dikenal sebagai pakar cultural studies yang acap mengisi berbagai forum kebudayaan dan wisata di seantero Indonesia dan luar negeri. Kemarin (29/4) dirinya dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Jember (Unej) bersama dua guru besar baru lainnya. Ternyata, gelar guru besar itu diretasnya dari bantaran Kali Bedadung.
UDARA cukup membikin gerah ketika wartawan koran ini tiba di Jl Sumatera VI No 35. Rumah mungil di gang sempit itu tampak mencolok. Hanya cukup dilewati satu mobil. Dibalut cat biru tua menyala, rumah itu terlihat ngejreng. Di rumah itulah Ayu merenda riwayat perjalanan hidupnya.
Tak seperti biasanya, rumah itu lebih hiruk pikuk dari biasanya. Sejumlah kerabat datang bersamaan pengukuhan Ayu sebagai guru besar baru di Unej. Bersama Ayu, Unej mengukuhkan Prof Dr Sumadji dan Prof Dr Sutarto sebagai guru besar.
Ruang tamunya tak seberapa besar. Berkaos oblong dengan mamakai celana pendek, Ayu menerima koran ini dengan ramah. Setelah tahu akan diwawancarai, dia menawarkan wawancara dilakukan di perpustakaan pribadinya.
Letaknya sekitar 50 meter arah barat rumahnya. Kira-kira hanya sekitar 25 meter dari bantaran Kali Bedadung. Antara Kali Bedadung dengan rumah Ayu hanya berjarak kurang 200 meter.
Perpustakaan pribadi Ayu boleh dibilang cukup bagus. Lantainya berkeramik mengkilap. Catnya kalem. Suasana lebih senyap sehingga sangat cocok bagi yang memuja konsentrasi tinggi manakala melahap buku. "Ini rumah kedua saya. Disini saya biasa nyepi, menulis, merenung, dan mencari inspirasi," ujarnya.
Tak ada kesan mewah di perpustakaan pribadi yang telah berdiri sekitar 15 tahun itu. Perpustakaan itu memiliki denah layaknya rumah pribadi. Ada dua kamar tidur di dalamnya. Namun, seluruh sudut ruang tamu dan ruang tengah dipenuhi rak-rak buku.
Jumlah buku di perpustakaan itu setiap tahun selalu bertambah -hingga membuat Ayu tak sempat menghitung jumlah koleksi bukunya. Tak cukup di rak, buku-buku itu ditumpuk di sebuah meja kecil panjang. Masih tak cukup pula, Ayu memboyong sebagian bukunya ke rumah pribadinya.
Di beberapa rak, ikut dipajang beberapa vandel penghargaan dari berbagai instansi. Seperti PWI Award 2007 dari PWI Jember, penghargaan dari Mendiknas sebagai dosen teladan, dan beragam penghargaan lainnya. Di beberapa dinding terpampang aneka poster, seperti poster Chairil Anwar dan Rendra.
"Saya biasa menerima tamu di perpustakaan ini," katanya. Beberapa kolega Ayu pernah bermalam di perpustakaan sederhana ini. Salah seorang diantaranya adalah Habiburrahman El Zhirazy alias Kang Abik, penulis novel Ayat-Ayat Cinta yang sangat laris itu. "Saat itu dia belum jadi orang kaya baru seperti sekarang," imbuhnya.
Sastrawan asal Madura Zawawi Imron juga pernah bermalam di perpustakaannya itu. Penyair berjuluk Si Celurit Emas itu memang sering diundang ke berbagai forum sastra di beberapa kampus di Jember.
Agar ribuan koleksi buku tak lenyap dimakan rayap, Ayu mengangkat seorang staf bernama Yuli Indra. Yuli yang juga jadi "tukang ketiknya" itu paling ahli dalam mewarat buku. "Dia yang tahu pakai obat apa sehingga buku-buku tidak dimakan rayap atau ngengat. Kadang dikasih kapur antiserangga," tandasnya.
Dengan kepakarannya di bidang studi kebudayaan, Ayu telah keliling Indonesia dan 12 negara untuk menjadi delegasi atau pembicara dalam forum-forum kebudayaan. Sejumlah negara Eropa juga telah disinggahinya. "Seperti kemarin dalam pertemuan menteri-menteri kebudayaan di Malaysia, tiba-tiba saja saya diundang jadi delegasi. Apa pertimbangannya tidak tahu," ujar pria asal Pacitan ini.
Meski tak ada darah budaya dari kedua orang tuanya, Ayu kecil dikenal sebagai bocah yang gila wayang. "Saya sering keluar diam-diam loncat jendela hanya untuk melihat wayang. Istilahnya gelethak gendang. Sebelum bapak bangun, saya sudah pulang," tuturnya.
Hal itu dilakukan karena bapaknya, Wijoto bin H. Umar Sidik, tak mengizinkan Ayu kecil untuk keluyuran malam. Kegilaan Ayu pada ragam budaya kian terasah dengan hobinya yang tak pernah melewati setiap edisi majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat dan Jayabaya.
Di tengah kesibukannya mengajar dan menjadi pembicara dalam berbagai forum budaya di Indonesia dan mancanegara, Ayu tak lupa dengan tanggung jawab sosialnya. Sejak 10 tahun lalu, dia mendirikan Yayasan Untukmu Si Kecil.
Nama yayasannya yang terdengar unik itu, ternyata memiliki makna mendalam. "Yayasan itu didirikan untuk orang kecil, orang berpenghasilan kecil, orang dengan harapan kecil, dan orang dengan rezeki kecil," tutur bapak empat anak ini.
Karena itu, dalam pidato pembukaannya dalam pengukuhan guru besar, Ayu sempat berkata bahwa dirinya menjadi guru besar setelah menjadi guru kecil. Yakni, menjadi guru kecil bagi orang kecil, orang bermasa depan kecil, berpenghasilan kecil, berharapan kecil, dan berezeki kecil.
Gedung yayasan yang terletak persis di bibir bantaran Kali Bedadung itu memang menjadi arena bermain dan taman baca bagi anak-anak. Di dalamnya banyak meja panjang kecil dan sebuah white board. Buku-buku juga terhampar di beberapa rak. "Ada tiga sukarelawan yang biasa membimbing anak-anak disini," ungkapnya.
Untuk operasional yayasannya, Ayu mengaku membiayainya dengan menyisihkan 2,5 persen honor yang diterima ketika diundang ke berbagai forum kebudayaan. "Dengan cara agama saya itu saya membersihkan rezeki," akunya.
Dengan segala kelebihan dan kepeduliannya, Ayu tetaplah orang yang bersahaja. Kemana-mana selalu naik motor yang tak lagi baru. Tak jarang pula Ayu pergi ke kampus dengan ngonthel sepeda. "Bukan kampanye hemat energi, tapi karena saya memang benar-benar tak punya mobil. Dan saya tak malu ngonthel sepeda," tuturnya sembari terkekeh. (HARI SETIAWAN, Jember)
Radar Jember Rabu, 30 Apr 2008
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment