Oleh: P. Karyono
APA yang akan kuceritakan ini kejadiannya telah lama sekali. Yakni ketika aku masih kecil. Sekarang umurku menginjak 72 tahun. Kejadian ini berlangsung pada tahun 1938, pada zaman Penjajahan Belanda. Adapun para pelaku dalam kejadian ini semuanya sekarang sudah meninggal dunia. Itulah sebabnya apa yang telah terjadi pada zaman itu akan kuceritakan apa adanya, tidak sedikit pun kututup-tutupi, baik mengenai nama, rumah, pekerjaan, dan lain-lain.
Di dusun Kenteng, desa Gunungsari, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri ada lelaki bernama Soma Gluduk, berumur sekitar 45 tahun. Mengapa disebut Soma Gluduk, sebab isteri Pak Soma jika bertengkar suaranya keras sekali seperti geledek. Pak Soma punya dua anak, sulungnya perempuan bernama Kusni, 13 tahun, dan adiknya laki-laki bernama Slamet, 7 tahun.
Pak Soma bekerja sebagai buruh kasar, sedangkan isterinya bekerja serabutan, misalnya buruh menumbuk padi, memetik padi, mencuci pakaian, dan kadang-kadang dimintai bantuan tetangga kiri-kanan untuk menggadaikan barang ke pegadaian Jatisrono.
Usia Mbok Soma sekitar 40 tahun. Wajahnya tidak tergolong sangat cantik, tetapi biasa-biasa saja, dan wataknya judes. Keluarga Soma tinggal di sebuah rumah yang berdiri di pekarangan Pak Wignyosumarto, seorang dalang kondang di wilayah Jatisrono pada zaman itu. Memang pekarangan Pak Wignyo terbilang sangat luas untuk ukuran di desa itu, kira-kira 1 hektar. Rumah Pak Wignyo menghadap ke utara, memangku jalan raya menuju pasar lama. Sedangkan rumah Pak Soma terletak di belakang rumah Pak Wignyo, menghadap ke selatan, memangku jalan kecil menuju sumber Cakuk*.
Di pekarangan belakang itu, Pak Sumo tinggal besama sejumlah keluarga lain yang juga mendirikan rumah di pekarangan milik Pak Wignyo. Di antaranya: keluarga Pak Soekromo, Pak Ira Geco, Yu Landep, dan lain-lain. Pak Soma menempati bagian pekarangan paling timur, dekat pohon kelapa. Di belakang rumah Pak Soma ada pohon pakel besar dan tinggi. Agak ke barat berhimpitan dengan jalan kampung, ada pohon maja, tinggi dan besar, daunnya rimbun sekali. Pohon itu menjadi sarang codot dan kalong, sehingga tampak menyeramkan. Pada waktu malam, jika aku melewati tempat itu, bulu kudukku berdiri.
Suatu hari selepas senja, bertepatan malam Jumat-Kliwon, Pak Soma berkata kepada isterinya, “Bu, nanti aku akan kondangan dan jagong ke Randusari.”
’’Randusari? Ke rumah siapa, Pak?’’
’’Ke rumah Pak Gandul, dia punya hajat selamatan 35 hari kelahiran anaknya.’’
Sekitar pukul 19.00 WIB, Pak Soma bersama Pak Ira Geco, Pak Karso Sarnum, Pak Pardi, Pak Jaga, Pak Kasino, Pak Kasiya, dan beberapa orang lagi berangkat ke Randusari. Mereka melewati sumber Cakuk, membawa obor dari daun kelapa kering. Pada waktu itu masyarakat desa tidak banyak yang memiliki sentolop.
[]
Sekitar pukul 21.00 di rumah Pak Soma terdengar orang mengetuk pintu. ’’Bu, tolong bukakan pintu. Bu, tolong bukakan pintu,’’ begitu suara di luar.
Dari dalam rumah terdengar Mbok Soma menjawab, ’’Siapa itu? Siapa?’’
’’Kenapa mesti bertanya? Apa kamu lupa dengan suara suamimu sendiri? Aku ayahnya Slamet.’’
Pintu rumah itu pun dibuka dari dalam. Pak Soma segera melangkah ke dalam rumah dan menyerahkan brekat, nasi beserta lauknya dari tempat orang punya hajat. Kata Pak Soma, ’’Ini lho, brekat-nya. Jika anak-anak sudah tidur, bolehlah untuk sarapan besok pagi.’’
Sambil menerima bungkusan nasi, Mbok Soma memperhatikan suaminya. Perempuan itu bertanya, “Sekarang jam berapa, Pak? Kok sudah pulang?”
’’Sudahlah, tak perlu bertanya jam berapa. Kalau memang acaranya sudah selesai, apa aku disuruh duduk-duduk terus di sana?’’
Dalam cahaya temaram lampu minyak, Mbok Soma sekali lagi memperhatikan laki-laki itu. Postur tubuhnya, gaya bicaranya, pakaiannya, memang persis Bapaknya Slamet. Tidak berbeda sedikit pun.
Setelah pintu rumah dikunci lagi, Pak Soma mengajak tidur isterinya, dan bersenggama. Sebagai isteri setia, Mbok Soma tidak menolak ajakan laki-laki itu. Cuma, sekali ini Mbok Somo mendapati keanehan. Gairah ayahnya Slamet kali ini sungguh luar biasa. Jika biasanya cukup bermain satu babak, malam ini sanggup bermain berkali-kali. Entah dapat suntikan kekuatan dari mana, lelaki yang sudah tak boleh dibilang muda itu luar biasa perkasanya. Sampai-sampai Mbok Soma kewalahan. Keanehan yang lain, tangan Pak Soma terasa dingin dan jemari tangannya pun besar-besar. Namun Mbok Soma sungkan untuk bertanya.
[]
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar.
’’Bu, tolong bukakan pintu!’’
Walaupun pintu diketuk berkali-kali tapi tak ada jawaban.
Mbok Soma yang sedang melayani suaminya merasa bingung dan takut. Dalam hati timbul pertanyaan, kenapa bisa terjadi peristiwa seperti ini. Bukankah sekarang Bapaknya Slamet sedang tidur di sampingnya? Kenapa di luar ada orang yang suaranya mirip suara suaminya, dan mengaku sebagai ayahnya Slamet pula? Lantas, siapa di antara dua orang itu yang benar-benar suaminya?
Mbok Soma turun dari ambin, cepat-cepat mengenakan pakaian kembali. Lalu ia menghampiri pintu. Rambutnya masih acak-acakan. ’’Apa betul sampeyan Bapaknya Slamet?’’ tanya Mbok Soma.
’’Betul. Kok tanya-tanya begitu, sih?’’
Dengan hati berdebar Mbok Soma membukakan pintu. Laki-laki itu masuk dan menyerahkan bungkusan brekat.
’’Ini oleh-olehnya. Jika anak-anak sudah tidur, bolehlah buat sarapan.’’
Mbok Soma heran, brekat yang dibawa suaminya sama persis dengan berkat yang diterimanya tadi, dibungkus kain serbet warna merah. Isinya juga sama, yakni nasi, daging ayam, jajan pasar, pisang, dan lain-lain. Pendek kata, sama persis. Sesudah duduk berhadap-hadapan dengan Pak Soma, Mbok Soma menangis terisak-isak. Pada suamiya Mbok Soma berkata, ’’Aduh, celaka, Pak, celaka….’’
’’Ada apa sih, Bu? Cobalah ngomong yang jelas. Jangan takut. Jangan sungkan.’’
Mbok Soma lantas menceritakan apa yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Mbok Soma menyimpulkan, dia sudah diobok-obok genderuwo yang menjelma sebagai Pak Soma. Berkali-kali Mbok Soma menghapus air matanya. Dia sangat menyesal.
Pak Soma memperhatikan kisah isterinya sambil geleng-geleng kepala. Ada rasa dendam dalam hati.
’’Bu, semua sudah telanjur. Lantas mau diapakan lagi? Melawan makhluk halus bernama genderuwo rasanya percuma, hanya akan menyiksa diri. Yang sudah terjadi sudahlah. Lain kali kita harus berhati-hati. Memang, sebelum kejadian ini banyak orang menceritakan bahwa pohon pakel di belakang rumah Pak Wignyo itu ditempati genderuwo. Itulah sebabnya terasa angker.’’
[]
Beberapa bulan telah berlalu. Pak Somo dan Mbok Somo telah melupakan kejadian pahit itu.
Malam Jumat-Kliwon, Mbok Soma pulang dari buruh menumbuk padi di desa sebelah. Ketika melewati sumber Cakruk, Mbok Somo berpikir lebih baik mandi sekalian saja. Toh hari sudah malam, sekitar pukul 19.00.
Namun, kurang-lebih 10 meter menjelang tempat pemandian sumber Cakruk, Mbok Soma mendengar suara air kecipak-kecipuk. Tak salah lagi, itu pasti suara orang sedang mandi.
’’Wah, kebetulan, ada orang mandi,’’ kata Mbok Soma cukup keras, ’’lumayan, bisa jadi teman.’’
Anehnya, setelah Mbok Soma berkata begitu, suara kecipak-kecipuk itu lenyap. Tak ada orang samasekali. Tak ada bekas orang mandi. Tempat itu kering.
Mbok Soma ketakutan. Bulu kuduknya berdiri. Namun karena telanjur melolosi pakaiannya, dan seluruh tubuhnya terasa gatal, ia nekad mandi sekalipun seluruh tubuhnya gemetaran.
’’Lho, yang lagi mandi tadi ke mana? Orang ditemani mandi kok malah lenyap?’’
Mbok Soma cepat-cepat pulang. Pengalaman itu lantas dia ceritakan pada seluruh anggota keluarga. Pak Soma dan anak-anaknya merasa takut dan gelisah.
Selang beberapa bulan kemudian Mbok Soma hamil. Anehnya, ketika kandungannya sudah berumur lebih dari 10 bulan, Mbok Soma belum juga melahirkan. Setahun kemudian barulah ketahuan bahwa Mbok Soma tidak hamil, melainkan terkena penyakit busung. Penyakit itu menyebabkan Mbok Soma meninggal.
Sesudah kematian Mbok Soma seluruh keluarganya pun meninggal satu demi satu. Mula-mula anak perempuannya, Kusni. Lantas disusul adiknya, Slamet, dan yang terakhir Pak Soma.*
Judul asli: Didhemeni Gendruwo
Panjebar Semangat No. 17, 22 April 2000
*) Sumber Cakuk terdiri atas 3 buah sumber yang masing-masing ada penunggunya. Sumber di bagian utara terdiri 2 sumber berdampingan, salah satunya ditunggu Raden Panji, sedangkan sebuah lagi ditunggu Gadungmelati. Adapun sumber di sebelah selatan penunggunya bernama Pak Klenos. Ketika aku masih kecil ketiga sumber itu juga termasuk angker. Bahkan pada zaman Clash ke-2 tahun 1948, saat aku ikut gerilya di Jatisrono (aku mantan anggota Brimob Kedu Magelang) sering berkumpul dengan kawan-kawan di sumber Cakuk pada waktu malam, untuk mengatur siasat dan strategi
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment