OLEH: Bayu Tanu Broto
SAYA sampaikan matur nuwun atas pengamatan sampeyan, Cak Sukaryanto, soal bahasa Suroboyoan pada program Pojok Kampung di JTV (Metropolis, 14 Juni). Tulisan ini sekadar menjawab apa yang menjadi ganjalan sampeyan yang merasa prihatin dengan gaya bahasa Pojok Kampung (Suroboyoan). Dan jawaban ini saya tulis berdasarkan alinea- alinea yang sampeyan tulis.
Sayange Cak, mungkin sampeyan telat mengikuti perkembangan Pojok Kampung, sejak pertama kali ditayangkan. Seandainya sampeyan mengikuti dari awal maka tak perlu lagi saya mecicil di depan monitor komputer dengan sia-sia, sebab masalah ini telah selesai di depan Komisi Penyiaran Independen Daerah (KPID) Jawa Timur, 2004.
Cak Sukaryanto, saya tak yakin jika pemirsa ngganti saluran telepisi wayahe Pojok Kampung ditayangno, tapi saya sangat tersanjung jika sampean memiliki data valid perihal pemirsa yang gerah dengan Pojok Kampung. Jangan hanya karena satu-dua orang, lantas sampean gebyah uyah semua (Sukaryanto menulis sebagian, Red) pemirsa memindah channel ketika Pojok Kampung ditayangkan.
Kurang bijak kiranya jika sampeyan mengatakan tidak senonoh, meskipun itu menjadi hak sampean. Masalahnya, apa ada padanan kata (nama/bukan istilah ) yang lebih tepat untuk kata (nama benda ) kon…l = kelamin laki-laki, tem…k = kelamin wanita dan et…l = bagian kelamin wanita. Jangankan kami, sampean pun mungkin risih mendengar kata ini disebutkan sehingga sampeyan tidak menyertakan dalam tulisan sampeyan selain empal brewok, ngencuk dan ngelakeni.
Saya yakin sampeyan tidak risi manakala sampeyan mengucapkan kata vagina dan klitoris ketika bercakap-cakap. Pertanyaannya, apa yang ada di benak sampeyan ketika seseorang mengucapkan bahasanya sendiri dianggap tabu, gak layak, gak sopan, gak senonoh, dan gak terpelajar, dibandingkan dengan seseorang menyebut kata yang sejatinya adalah asing?
Jika memang demikian, hanya ada dua kemungkinan. Pertama sampeyan telah kehilangan jati diri sampeyan sebagai putra bangsa yang lahir dari bumi pertiwi (tanpa perlu saya mengetahui siapa sampeyan). Kedua sampeyan lupa, bahwa siapa pun dia, apa pun pangkatnya, tak akan mungkin mampu membendung dinamika budaya (peradaban) yang melekat pada makhluk yang namanya manusia, termasuk budaya berbahasa. Maaf, sebenarnya untuk alinea ini tak perlu ada.
Jika dengan kedua jaring tersebut di atas saya tidak mampu menangkap maksud sampeyan, maka masih ada jaring ketiga, yaitu: ada apa denganmu?
Itulah susahnya jika kita berbicara dengan seseorang yang pernah dijajah (tidak sadar dijajah). Kecenderungan untuk melihat sebuah realita (kebenaran) seringkali menjadi bias. Dengan kata lain sopo sing ngomong, bukan apa isi (materi) yang jadi objek pembicaraan. Walhasil muncul istilah like and dislike. Jika kita runut itu adalah salah satu budaya warisan feodal. Lain lagi ceritanya (saya sangat memaklumi) jika dalam diri sampeyan masih mengalir darah biru, yang itu semua menjadi berantakan ketika berhadapan dengan Suroboyo dan arek-nya. Ada baiknya jika sampeyan membuka kembali lembaran sejarah penjajahan bangsa kita oleh Belanda dan Jepang.
Sebaiknya sampeyan segera bangun dari mimpi, sehingga sampeyan tidak tampil sendirian sebagai pahlawan kemalaman. Apa pendapat sampeyan tentang acara Cangkru’an? Siapa yang sampeyan maksud dengan rakyat jelata? Cak Priyo-kah? Para bupatikah? Atau Sanggar Alang-Alang? Jika mereka yang sampeyan maksudkan, maka sampeyan salah untuk yang kesekian kalinya dalam mengambil sebuah terminologi. Bukankah yang sudah masuk menjadi anggota keraton itu sudah bukan kategori rakyat jelata. Bedanya mungkin ini keraton JawaTimuran, Suroboyoan, dan JTV Pojok "dudu" Kampungan. Siapa pun yang lahir di kota ini tentu mengaku arek atau wong Suroboyo asli, tapi bagaimana dengan mbah, buyut dan canggahnya? Tentu berbeda dengan wong Jogja utowo Solo yang dilahirkan di Surabaya.
Pada alinea ini telah kami jawab, tapi lebih arif jika sampean mencarikan padanan kata yang sesuai dan… harus diterima oleh telinga orang Surabaya (Jawa Timur).
Penggunaan kata matek adalah pilihan yang saya anggap paling tepat di antara tiga kata yang sama artinya: mati, matek dan bongko. Jika yang meninggal dunia itu seorang pendeta atau kiai maka saya gunakan kata mati, dan saya gunakan kata metek bagi semua golongan di luar itu. Tapi saya gunakan kata bongko jika yang meninggal dunia itu golongan penjahat (termasuk koruptor yang bicaranya sopan ).
Sebagai ilmuwan ada baiknya jika sampeyan bukan sekadar sebagai pengamat, tapi bagaimana mencari solusi terhadap permasalahan bangsa kita (kota kita). Misalnya, apa yang sampeyan lakukan dengan keilmuan sampeyan terhadap kurikulum bahasa Mataraman yang diajarkan mulai SD sampai SMP? Padahal bahasa itu jelas-jelas tidak pernah diterapkan di kota kita. Alangkah arifnya jika kita mampu menangkap sinyal kegundahan para orang tua akan harga buku dan biaya sekolah lainnya. Belum lagi waktu yang tersita untuk mengajarkan bahasa itu. Jika Allah menghendaki, maka lima atau sepuluh tahun ke depan akan ada yang namanya kamus bahasa Suroboyoan dan kurikulum bahasa Suroboyo, sebagai sumbangsih kru Pojok Kampung pada warganya.
Bagi saya, ada alasan yang tepat bertahannya bahasa Pojok Kampung: pertama, bahasa Pojok Kampung sebagai wahana penyadaran terhadap proses pembodohan, pembunuhan karakter bangsa. Di sini ada baiknya jika sampeyan membuka kembali pendapat Barbara F. Grimex (2002)dalam PELBBA 15: Kepunahan suatu bahasa berarti suatu lingkungan manusia yang unik telah hilang.
Kedua, kalau sampeyan mendengarkan promosi acara Pojok Kampung, maka sampeyan akan mengerti filosofi yang melatarbelakangi lahirnya acara berita ini, bukan sekadar mengedepankan aspek komersial semata. Melalui Pojok Kampung, kami mengemban misi yang amat mulia, menghindar dari kesia-siaan.
Ketiga, mengajak masyarakat untuk siap berbeda pendapat tanpa harus memotong rantai Bhineka Tunggal Ika, right or wrong is my country. Bagaimana dengan kita? Sekali lagi ada apa denganmu, Cak? Menurut sampeyan, bagaimana bahasa Melayu bisa menjadi bahasa persatuan kita? Apa salah jika Surabaya memiliki bahasa persatuan (Suroboyoan)?
Saya setuju dengan pendapat sampeyan, bahwa sign pasti menuruti apa kehendak signer (wis suwe Cak, kaet durung onok sepur lempung). Tapi, saya tidak sependapat dengan sampean, jika bahasa memiliki kandungan norma-norma pengucapan dan dianggap sebagai keluhuran moral pribadi yang beradab para pendukungnya. Jika yang sampeyan maksud adalah watak (karakter asli seseorang ), saya setuju. Sebab banyak tokoh di negeri ini yang mempunyai andil besar dalam menghancurkan tatanan, yaitu mereka yang bersembunyi di balik bahasa yang sopan dan baik. Ojok bingung barek teori sign karo signermu, Cak. Yang benar adalah bagaimana "cara" kata atau kalimat itu diucapkan. Sebab dari sinilah bermula konotasi sebuah kata atau kalimat. Ajining diri soko ati, Cak.
Bahasa Pojok Kampung bukan simbol kemenangan kawula alit, tapi bukti kekalahan orang gede.(wong gerang, polahe gak ngerti gerange, tidak menghormati kedudukannya).(redaksi_jtv@yahoo.com)
Bayu Tanu Broto, produser Pojok Kampung
Jawa Pos Rabu, 21 Juni 2006
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment