Oleh Manaf Maulana
Setelah memantau Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang tahun lalu, 10-14 September 2006, sejumlah teman mengajak mencoba menerbitkan koran harian atau tabloid mingguan berbahasa Jawa yang beredar di Jawa Tengah dan DIY. Kami memang generasi muda Jawa yang ingin nguri- uri bahasa Jawa agar lebih membumi di daerah sendiri.
Namun, ajakan tersebut belum bisa direalisasikan. Ada sejumlah hal yang menjadi kendala dan harus dikaji dengan cermat agar jika koran atau tabloid berbahasa Jawa bisa diterbitkan tidak cepat-cepat gulung tikar. Misalnya, masalah modal dan dari mana bisa memperolehnya.
Selain itu, ada dua hal lain yang agaknya menjelma menjadi "hantu" yang menakutkan berkaitan dengan ajakan tersebut. Pertama, sejumlah media cetak berbahasa Jawa yang sudah ada dapat dikatakan tidak pernah berkembang menjadi besar, bahkan ada yang gulung tikar.
Dengan kata lain, media-media cetak berbahasa Jawa yang telah lama ada dan masih bertahan hidup bernasib bagaikan bonsai di tengah dunia jurnalistik di Indonesia. Bentuk fisiknya tipis, dengan kualitas cetakan yang kurang mengikuti perkembangan zaman, serta kemampuan membayar honor kepada penulis-penulisnya yang sangat rendah.
Kedua, masyarakat Jawa yang relatif tidak doyan membaca. Hal ini sudah menjadi stigma klise dan telah dirasakan semua media cetak yang terbit di Jawa Tengah dan DIY.
Dan faktanya, ada seorang penulis di Kudus menjadi satu-satunya pelanggan koran di kampungnya, padahal letak kampungnya hanya dua kilometer dari agen koran dan pusat kota Kudus.
Tidak doyan membaca yang disandang masyarakat Jawa sekarang lebih diperparah lagi dengan fenomena perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat. Misalnya, semua keluarga Jawa lebih suka memperbanyak pesawat televisi dan handphone.
Dengan adanya beberapa pesawat televisi di rumah, akan membuat keluarga Jawa semakin betah menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan televisi. Dan dengan makin banyaknya handphone, akan membuat mereka lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli pulsa.
Dengan adanya kendala-kendala itu, ajakan menerbitkan koran atau tabloid berbahasa Jawa mungkin dapat segera terwujud jika misalnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah dan DI Yogyakarta bersedia mendukung sepenuhnya. Misalnya dalam hal permodalan semuanya disediakan, termasuk properti untuk kantor redaksinya.
Selain dukungan modal dari pemprov, diperlukan dukungan masyarakat sebagai pembaca tetap. Misalnya, seluruh jajaran instansi di lingkungan Pemprov Jateng dan DIY diimbau untuk berlangganan tetap.
Imbauan ini tidak perlu mengikat, tetapi juga layak direspons oleh seluruh pegawai dengan kesadaran bersama nguri-uri bahasa Jawa. Layak diungkapkan, betapa bahasa Jawa di banyak daerah seperti Pati, Rembang, Kudus, Jepara, dan daerah-daerah pesisir lainnya telah mengalami krisis. Semakin banyak anak-anak yang tidak bisa berbahasa Jawa dengan baik. Padahal, bahasa Jawa mengandung tata krama atau etika pergaulan yang baik dan relevan untuk tetap dikembangkan karena pergaulan global juga memerlukan sopan santun.
Di dalam banyak keluarga maupun di ruang-ruang publik di wilayah pesisir utara Jateng semakin sulit menemukan anak yang mahir berbahasa Jawa. Banyak anak hanya bisa bicara dengan bahasa Jawa ngoko, itu pun dengan intonasi dan artikulasi yang cenderung makin kasar.
Hal ini dapat dimengerti, karena bahasa Jawa ngoko memang identik dengan sikap kasar. Sedangkan bahasa Jawa kromo dan kromo inggil identik dengan sikap lembut (sopan santun). Dan jika bicara dengan bahasa Jawa ngoko saja tidak bisa, maka anak-anak sangat sulit diharapkan bisa berbahasa Jawa kromo atau kromo inggil.
Mengharap Pemprov Jateng dan DIY bersedia mendukung penerbitan media cetak berbahasa Jawa tentu bukan hal yang ngayawara, mengingat Pemprov Jateng sudah mampu menggelar Kongres Bahasa Jawa IV 2006 yang menelan dana miliaran rupiah!
Untuk saat ini, menerbitkan koran atau tabloid berbahasa Jawa layak disebut sebagai langkah paling taktis dan strategis dalam nguri-uri bahasa Jawa karena bisa mengajak banyak masyarakat Jawa untuk terbiasa membaca teks-teks berbahasa Jawa secara rutin setiap hari di lingkungan tempat tinggalnya masing-masing.
Dengan demikian, semua pemerintah kabupaten (pemkab) di Jateng dan DIY layak juga mendukung sepenuhnya dengan mengimbau semua lapisan masyarakat untuk menjadi pelanggan tetap.
Jika pemprov dan seluruh pemkab di Jateng dan DIY sudah mendukung penuh penerbitan koran atau tabloid berbahasa Jawa, tentu kalangan swasta juga akan turut berpartisipasi yang saling menguntungkan.
Cinta (kepada bahasa Jawa) bisa saja akan terus berkembang dari waktu ke waktu. Tetapi memang akan sangat keterlaluan jika misalnya kerinduan ini hanya akan tinggal menjadi kerinduan saja sampai akhir zaman.
Jika sekarang seluruh sekolah dari SD hingga SLTA telah menjadikan pelajaran bahasa Jawa sebagai mata pelajaran tetap, maka koran atau tabloid berbahasa Jawa perlu segera diterbitkan agar anak- anak tidak hanya bisa membaca teks-teks bahasa Jawa di buku pelajaran sekolah saja.
Tanpa tersedia koran atau tabloid berbahasa Jawa yang bisa dibaca setiap hari, anak-anak yang belajar bahasa Jawa (di sekolah) sama dengan belajar bahasa asing. Mereka akan tetap tak mahir berbahasa Jawa dan berbahasa asing!
MANAF MAULANA Pemerhati Sosial Budaya Tinggal di Grobogan, Jateng
Kompas Jateng, Selasa, 20 Maret 2007
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment