Banyak orang menjadi muak dengan pembicaraan di dalam sarasehan atau seminar yang sarat dengan keluh-kesah, ratap-tangis, meratapi nasib sastra Jawa. Padahal sastra Jawa “baik-baik” saja. Bicara soal media, setidaknya kini masih ada Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Parikesit, Mekar Sari (sisipan Kedaulatan Rakyat), Pringgitan (sisipan Suara Merdeka), dan Suket (rubrik guritan di Surabaya Post edisi Minggu). Karya sastra Jawa: novel, crita cekak, puisi, masih banyak ditulis. Kualitas, itu soal nanti. Pengarang-pengarang muda pun bermunculan.
Yang kini paling menarik dibicarakan, dan kemudian diujudkan dalam tindakan, adalah penerbitan buku-buku sastra Jawa: novel, kumpulan crita cekak, atau kumpulan guritan, seperti yang diserukan oleh Suparto Brata, “Buku, buku, buku…..!” Suparto Brata tidak sekadar omong, tetapi juga berbuat, menerbitkan karya sendiri Trem (kumpulan crita cekak) dan Donyane Wong Culika (novel) atas biaya sendiri, masing-masing dengan bendera penerbit Pustaka Pelajar dan Narasi (Jogjakarta). Lagi, di Surabaya, yang boleh disebut sedikit bicara banyak kerja adalah penggurit Widodo Basuki, yang bahkan bertekad untuk menjadikan agenda tahunannya: menerbitkan karya-karya sendiri. Tahun ini, Widodo menerbitkan kumpulan guritannya, Medhitasi Alang-alang.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana para pengarang baik hati itu tidak hanya mampu menerbitkan karyanya dalam jumlah yang sangat terbatas (hanya ratusan eksemplar). Lalu, jika jumlahnya sudah cukup besar (mencapai ribuan eksemplar) seperti Trem dan Donyane Wong Culika karya Suparto Brata itu, bagaimana bisa segera sampai ke khalayak pembaca. Menggantungkan pendistribusian buku sastra Jawa pada jalur pasar bebas tampaknya juga kurang optimal, apalagi jika hanya memakai jalur penjualan dari tangan ke tangan (direct selling). Mesti ada tangan-tangan penguasa yang ikut ambil bagian, agar tertepis tudingan Linus Suryadi AG, “… secara kongkret bangsa dan negara menderita rugi besar karena, masukan pengetahuan yang berkenaan dengan kekayaan budaya etnik dan bahasanya –khususnya bahasa dan sastra daerah— tidak pernah menjadi konsumsi generasi muda terpelajar.” (Strategi Pengembangan Sastra Daerah, Surabaya Post Minggu, 24 November 1991).
Dalam waktu dekat seorang penggurit asal Surabaya, Trinil Sri Setyowati, hendak menerbitkan buku kumpulan guritannya, Donga Kembang Waru, yang memakai bahasa Jawa subdialek Surabaya, juga atas biaya sendiri. Nah, marilah sekarang berandai-andai. Seandainya Dinas Pendidikan Kota Surabaya tidak memiliki pos dana untuk membantu penerbitan buku ini (agar bisa dicetak lebih banyak dari rencana semula), sudah akan sangat bagus jika memberikan kesempatan agar buku kumpulan puisi itu nanti bisa menghiasi perpustakaan-perpustakaan sekolah (dari SD hingga SMU) di wilayah Surabaya. Syukur-syukur para pejabat eksekutif maupun legislatif-nya merasa perlu pula untuk membaca dan memiliki buku itu.
Lebih ideal lagi sebenarnya, adalah jika pihak pemerintah daerah memfasilitasi penerbitan buku-buku tentang kekayaan budaya termasuk bahasa dan sastra etnik yang ada di wilayahnya. Kelak, pada gilirannya, pemerintah pusat dapat mengambil buku-buku itu, termasuk buku-buku cerita rakyat yang ditulis dalam bahasa setempat, lalu menerbitkannya kembali dan melengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
Dalam kaitannya dengan sastra Jawa, tampaknya pemerintah daerah: Pemprov Jatim, Pemprov Jateng, dan Daerah Istimewa Jogjakarta belum memiliki kesadaran akan pentingnya penerbitan buku-buku sastra daerah (Jawa) dan menyebarkannya bukan hanya ke masyarakat umum, tetapi juga ke sekolah-sekolah dan ke perguruan-perguruan tinggi. Maka, Kongres Bahasa Jawa IV yang rencananya digelar di Semarang 2006 nanti tidak perlu lagi menelorkan sekian banyak butir keputusan atau rekomendasi seperti pada tiga kongres sebelumnnya, yang kemudian tak karuan juntrung-nya itu. Cukuplah satu rekomendasi saja: Tiap-tiap daerah wajib menerbitkan buku-buku berisi khasanah budaya, bahasa, dan sastra yang merupakan potensi di wilayah masing-masing, dan kemudian mendistribusikannya pula ke sekolah-sekolah… dan seterusnya.
Dengan demikian wacana otonomi daerah bukan hanya berlaku di ranah politik saja, tetapi juga dapat dirasakan di semua aspek kebudayaan lainnya, termasuk di wilayah seni, khususnya sastra.
Maka, wahai Panitia Kongres Bahasa Jawa IV, undanglah para sastrawan Jawa, mintai hard-copy karya mereka yang layak diterbitkan. Lalu bentuk tim khusus penerbitan buku bahasa dan sastra Jawa. Syukur tim itu sudah bekerja dan menghasilkan karya sebelum Kongres Bahasa Jawa IV digelar. Jangan biarkan ada penerbit gelap yang secara tidak sopan menerbitkan karya sastra Jawa (kumpulan crita cekak Pagelaran Jawi) tanpa izin apalagi memberi royalty pengarangnya seperti yang terjadi pada Kongres Bahasa Jawa III di Jogjakarta itu.
Juga, daripada mengulang-ulang penerbitan kamus bahasa Jawa ragam Solo-Jogja (yang selama ini dianggap standar), ada perlunya pula menerbitkan kamus dialek: Surabaya, Banyumas, Kedu, dan sebagainya untuk memperkaya khasanah pustaka, dan lebih-lebih untuk lebih saling mengenal, saling menghargai, saling menghormati antarwarga masyarakat pendukung dialek-dialek itu.
Problematika perbukuan dalam sastra Jawa ini bisa pula kita angkat menjadi pokok pembicaraan pada Kongres Sastra Jawa II, yang mudah-mudahan bisa terlaksana di Jawa Timur awal tahun 2006 nanti. Mengutip Pak Parto sekali lagi, “Buku, buku, buku……![bn]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment