Oleh: Darmaningtyas
Praksis pendidikan nasional kian kering dan cenderung menyesatkan. Hal itu karena terlepas dari proses kebudayaan dan lingkungan sosial yang ada. Substansi pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia (Ki Hadjar Dewantara) atau sebagai proses pemanusiaan manusia (Driyarkara) justru terabaikan oleh berbagai persoalan teknis, manajerial, dan birokrasi. Padahal, ketiga masalah itu seharusnya hanya menjadi penopang substansi pendidikan, bukan sebaliknya. Tetapi, perhatikan pidato birokrat pendidikan di negeri ini, semua hanya bicara masalah teknis-manajerial.
Fenomena tragis itu bermula dari istilah yang dikembangkan dunia pendidikan berasal dari istilah manajemen industri/ekonomi. Istilah-istilah itu terus diproduksi, lalu menjadi wacana dan secara substil membentuk watak baru institusi maupun praksis pendidikan nasional.
Istilah ekonomi
Awalnya istilah ”SDM” (sumber daya manusia) yang diadopsi mengganti kata ”manusia”. Istilah ini banyak dipakai sejak Wardiman Djojonegoro menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Para Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya jarang menggunakan istilah itu. Kata SDM hanya digunakan dalam konteks ekonomi saja.
Dalam wawancara pribadi (1998), Fuad Hassan menjelaskan, istilah manusia itu lebih kompleks dan multidimensi daripada SDM yang lebih bersifat ekonomis dan dapat dieksploitasi. Mengganti kata manusia dengan SDM sama dengan mereduksi harkat kemanusiaan.
Penggunaan istilah SDM sejalan dengan konsep pendidikan link and match. Pada kurun waktu yang sama, demam globalisasi mewabah dan menjangkiti pejabat Indonesia, terlebih sejak KTT APEC di Bogor (1994). Penggunaan kata SDM diiringi kata-kata: unggul, nilai tambah, kompetensi, kompetisi, pasar, daya saing, dan lainnya. Berbagai pidato pejabat selalu merangkai kata-kata ”menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi unggul atau nilai tambah untuk berkompetisi atau bersaing di pasar global”. Sejak itu, terminologi di korporasi menjadi terminologi sah dunia pendidikan nasional.
Reformasi politik (Mei 1998) bukan mengoreksi, justru memperkaya kekeliruan. Istilah manajemen industri yang diadopsi konsultan dan birokrat pendidikan bertambah banyak, seperti Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), produktivitas, sertifikasi, standardisasi, standar nasional, standar internasional, Sertifikat ISO, Dewan Audit, dan Majelis Wali Amanah.
Bersamaan penambahan istilah manajemen, kian kuat pula upaya pembentukan watak atau karakter institusi/praksis pendidikan menjadi korporasi, yang diikuti perubahan mindset orang- orang di dalamnya. Praksis pendidikan lalu tidak mengarah kepada pencerdasan dan pemerdekaan bangsa, atau pemanusiaan manusia, tetapi lebih melayani kepentingan pemilik kapital. Kebijakan maupun substansi pendidikan yang dikembangkan pun cenderung memperkaya ekonomi maupun budaya negara pemilik kapital dengan memiskinkan (ekonomi maupun budaya) bangsa sendiri.
Pembelajaran bahasa asing sejak TK dan SD demi standar internasional merupakan bentuk kolonialisasi atas bahasa dan budaya lokal yang seharusnya dikembangkan oleh praksis pendidikan. Demikian pula mengukur kemajuan pendidikan hanya dari satu unsur juga amat menyesatkan karena mengabaikan aspek ketahanan pangan, papan, sandang, dan budaya. Kenyataannya, manusia dapat hidup tanpa teknologi informasi asal ketahanan pangan, sandang, papan, dan budayanya terjaga.
Gejala praksis pendidikan yang menyesatkan itu juga tampak dari berbagai kebijakan. Demi efisiensi, misalnya, bidang-bidang studi humaniora atau agro yang sedikit peminat harus ditutup. Sulit membayangkan bila suatu nanti Jurusan Pedalangan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta harus tutup karena dinilai tidak efisien dan jumlah mahasiswanya lebih sedikit dari jumlah dosennya.
Praksis pendidikan sebagai proses kebudayaan seperti diletakkan Ki Hadjar Dewantara hilang sama sekali, itu terlihat dari perubahan nama dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah menjadi Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Namanya bertambah panjang, tetapi cakupannya kian sempit karena sebatas manajerial saja.
Melegitimasi kekeliruan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi pedoman pelaksanaan pendidikan nasional justru melegitimasi kekeliruan cara berpikir yang mengarah pembentukan korporasi pendidikan. Gagasan UU Sisdiknas adalah untuk membentuk korporasi pendidikan. Banyak pasal dalam UU Sisdiknas mengamanatkan pentingnya sertifikasi, standardisasi (nasional dan internasional), pembentukan badan hukum, dan hal-hal di luar pendidikan.
Istilah ”guru” tidak lagi ditemukan lagi dalam UU Sisdiknas karena diganti kata ”pendidik”. Padahal, dalam bahasa Sanskerta, guru lebih dari pengajar. Seorang guru adalah ahli, konselor, saga, sahabat, pendamping, dan pemimpin spiritual. Etimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan metafora peralihan dari kegelapan menjadi terang. Jadi, guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran (Anita Lie, 2008).
Keberadaan Rancangan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) akan kian menyesatkan karena substansi RUU BHP lebih menyangkut tata kelola lembaga pendidikan yang diarahkan mengikuti tata kelola korporasi. Seluruh istilah yang dipakai dalam pasal RUU BHP adalah istilah korporasi sehingga bila disahkan menjadi UU, otomatis membentuk watak lembaga pendidikan identik dengan korporasi. Atas dasar itu, RUU BHP tidak layak disahkan menjadi UU BHP dan harus ditolak. Praksis pendidikan harus dikembalikan sebagai proses kebudayaan dengan cara mengembalikan terminologi yang dipakai/dikembangkan adalah terminologi pendidikan dan kebudayaan, bukan terminologi manajemen korporasi.
Darmaningtyas Pengurus Majelis Luhur Taman Siswa di Yogyakarta
Kompas Jumat, 2 Mei 2008 | 00:26 WIB
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment