Pemakaian aksara Jawa kini diaktualkan kembali. Di Kota Solo, sejak awal tahun 2008 ini seluruh nama jalan, kantor dan tempat usaha mulai ditulis menggunakan aksara Jawa sebagrai tambahan di bawah nama yang ditulis dengan aksara Latin.
Ternyata, di sana-sini muncul gejala aksara Jawa sudah sedemikian asing. Bahkan tim ahli yang dihimpun Pemkot Solo untuk menulis nama-nama tempat dan jalan dengan aksara Jawa, membuat sejumlah kekeliruan.
Simak saja, penulisan aksara Jawa di Pasar Legi. Entah siapa yang menulis, tetapi aksara Le yang seharusnya ditulis dengan karakter mirunggan (khusus), ternyata hanya mengikuti kaidah penulisan reguler, yakni aksara La yang disertai pasangan pepet.
“Tentu bagi yang paham, itu ra muni (tidak bunyi) karena tidak bisa dibaca. Masih banyak lagi kesalahan lain, misalnya penggunaan aksara murdha (huruf kapital), pasangan dan beberapa macam kesalahan lainnya,” tutur Agus Dhukun, seorang seniman yang mengaku sudah belasan tahun menekuni aksara Jawa tetapi masih sering mengalami kesulitan membaca naskah lama.
Sudah hampir setahun berlalu, kesalahan-kesalahan penulisan aksara Jawa tidak pernah dikoreksi. Bahkan, sebuah bando (papan reklame yang melintang jalan) di Jalan dr Muwardi yang baru dipasang sepekan ini juga keliru menuliskan slogan Kota Solo
“Berseri Tanpa Korupsi” dalam aksara Jawa. Rangkaian aksara itu ditulis tanpa pasangan wulu yang mengubah bunyi karakter nglegena (a) menjadi i. Akibatnya, bunyi tulisan itu menjadi “Bersera Tanpa Korupsa”.
“Saya yakin, ini kekeliruan-kekeliruan ini menunjukkan aksara Jawa, juga budaya Jawa pada umumnya sudah semakin asing bagi kita semua. Padahal, ini semua warisan yang bernilai. Sayang kalau dibiarkan hanya menjadi pengisi museum. Padahal, di negara lain seperti Jepang, China, Thailand, semua bisa menjadi negara modern tapi tidak meninggalkan kekayaan bahasa dan aksara asli,” tutur Agus.
Terbentur Masalah
Sedikit beda pandang, Drs Joko Suryono, dosen ISI Surakarta yang tengah menekuni sejumlah buku beraksara Jawa untuk mendukung penelitiannya tentang keris mengatakan, upaya Pemkot Solo untuk menghidupkan aksara Jawa adalah niat positif. Namun, nantinya aakan terbentur pada masalah praktis.
“Orang membaca aksara Jawa, itu tidak hanya harus bisa mengartikan seperti kamus. Tetapi juga memahami rasa yang diniatkan dari tulisan tersebut. Di masa lalu, ini adalah kekuatan, karena saya kira tidak banyak bahasa di bumi ini yang seperti itu. Tetapi pada era sekarang, ketika kemampuan memahami seperti itu sudah sangat berkurang, ini menjadi kelemahan. Maka aksara Jawa dapat dilestarikan, sekadar untuk dikenali dan lebih bagus lagi semua bisa membaca dan menulis. Tetapi untuk dipakai dalam keseharian, rasanya akan sulit sekali,” ujarnya.
Sedangkan dari pengalamannya menekuni buku-buku tua tentang keris, Joko Suryono mengakui dari masa ke masa ada perbedaan gaya penulisan.
Seperti era sebelum kolonial, aksara Jawa ditulis tegak dan sedikit kaku. Namun, mungkin karena pengaruh Belanda, penulisan aksara Jawa cenderung miring, tebal tipis dan melengkung-lengkung seperti huruf latin Eropa.
oleh Ari Kristyono pada 23-08-2008
Saka Harian JogLoSemar, fotone saka kene
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
1 comments:
dadi sangsaya marakke angel merga ora konsistene ya contone le nulis sutoyo neng aksara jawane dadi "sutaya" mesthi alasane unine pancen yen nganggo aksara latin kudu ditulis kanthi aksara "a" (nglegena). nanging, tumrap generasi penerus (dudu generasi barung?:)) kuwi salah sijine prekara sing nyrimpeti le arep ajar basa jawa, nulis lan maca aksara jawa.
Post a Comment