Oleh : Arief Junianto
Penutur bahasa daerah yang semakin sedikit sepertinya mengindikasikan akan semakin lenyapnya identitas lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Setidaknya itulah yang akan terjadi jika fenomena sedikitnya penutur bahasa daerah atau yang lebih populer disebut dengan bahasa ibu ini semakin tidak teratasi.
Berbicara mengenai bahasa daerah, Jawa Timur yang memiliki kurang lebih 7 sub kultur, sudah seharusnya memiliki lebih dari 7 bahasa daerah. Akan tetapi, jika diteliti lebih jauh, praktis hanya 1 bahasa yang terbilang eksis, artinya masih dipakai dan dipertahankan oleh penuturnya, yakni bahasa Osing dari Banyuwangi.
Bagi Ayu Sutarto, guru besar Universitas Jember, semakin lenyapnya keberadaan bahasa daerah disebabkan adanya dominasi dari bahasa tertentu. Menurutnya, bahasa yang kuat senantiasa akan mengalahkan bahasa yang lemah.Yang dimaksudkannya sebagai bahasa yang lemah adalah bahasa yang sedikit demi sedikit ditinggalkan oleh masyarakat penuturnya.
Dijelaskannya, dominasi bahasa ‘Jakarta’ yang menderas di kota-kota khususnya kota besar yang ada di Jawa Timur merupakan salah satu penyebab tergesernya bahasa daerah tersebut. Meski demikian, menurutnya hal ini tidak menjamin penutur bahasa ‘Jakarta’ tersebut menjadi penutur bahasa yang benar-benar baru.
Untuk ini dia mencontohkan tentang masyarakat Pandalungan. Baginya, masyarakat Pandalungan kini sudah menjadi masyarakat yang tidak jelas.”Mereka itu tidak Madura, tapi juka bukan Jawa,” candanya.
Jika dibiarkan, semakin sedikitnya penutur bahasa daerah ini, menurutnya akan memunculkan sebuah pergeseran besar-besaran. Wujud konkret dari pergeseran ini adalah munculnya homogenisasi bahasa yang melanda sebuah kota. ”Padahal kan negara kita ini hetrogen. Kan lucu kalau jadi homogen,” ujarnya.
Meski demikian, dirinya mengaku bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa daerah tidak akan mati. Menurutnya hal ini disebabkan, meski kecil, namun masih ada kelompok-kelompok yang secara intens menggunakan dan melestarikan bahasa Jawa. Dikatakannya, masih ada kelompok-kelompok yang mencoba untuk kembali ke akar-akar tradisi. ”Inilah yang membuat saya optimistis, bahasa Jawa tidak akan mati,” ungkapnya.
Hal tersebut didukung oleh Widodo Basuki. Selaku pengamat Bahasa Jawa, dirinya berpendapat, kondisi bahasa Jawa sekaligus penuturnya akan bisa dipertahankan. Diakuinya, meski sulit, bahasa Jawa akan tetap dapat dipertahankan selama penuturnya tetap melestarikan bahasa Jawa dengan cara menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai ini, dirinya mengakui perhatian dari beberapa pihak pada bahasa Jawa masih ada. Untuk ini dia mencontohkan di Tuban, tahun lalu, diselenggarakan lomba presentasi penelitian dengan menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Diakui oleh Widodo, lomba tersebut terbilang sukses. ”Peserta yang kebanyakan anak sekolah dengan sangat lancar menuturkan bahasa Jawa halus khas Mataraman,” ujarnya.
Sedangkan Bonari Nabonenar, selaku ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) menuturkan pada kenyataannya, tidak bisa dipungkiri, penutur bahasa Jawa semakin terkikis. Hal ini terutama terjadi pada anak-anak dan generasi muda.
Dikatakannya, hal in disebabkan oleh masuknya bahasa Betawi yang dipaksakan untuk menjadi bahsa Indonesia. Menurutnya bahasa Betawi yang dipaksakan untuk menjadi bahasa Indonesia tersebut merupakan kesalahan besar yang melanda masyarakat urban, sehingga bahasa yang sebenarnya bukan bahasa Indonesia tersebut dipaksakan untuk dipakai oleh masyarakat.”Bahasa Indonesia semakin tidak jelas. Dan untuk ini pemerintah dan media harus bertanggung jawab,” ungkapnya.
Mengenai terkikisnya penutur bahasa Jawa ini, salah satu peneliti Balai Bahasa Surabaya, Hero Patrianto, mengatakan, selama penelitian yang dilakukan pihaknya sejak 2006 mengenai bahasa Jawa, ada hasil yang cukup mencengangkan, yakni kurang lebih 80 persen keluarga muda di Jawa Timur mengalami pergeseran bahasa dari bahasa ibu mereka ke bahasa Indonesia.
Dari sini dia dapat memprediksikan, dalam waktu 10 tahun, generasi muda tidak akan bisa berbahasa Jawa dengan baik dan benar. Jika ini dibiarkan, maka yang akan terjadi adalah mereka akan tidak meneruskan atau meregenarasikan bahsa Jawa pada anak-anak mereka dikarenakan mereka tidak menguasainya. ”Bisa dibayangkan sendiri apa yang akan terjadi dengan bahasa Jawa 10 tahun kedepan,” ujarnya.
Akan tetapi, dirinya masih merasa optimistis dengan keberadaan bahasa Jawa. Hal ini disebabkan menurutnya, penutur bahasa Jawa masih merupakan yang terbesar di Indonesia. Dikatakannya, penutur bahasa Jawa di seluruh dunia masih mencapai 90 juta penutur. Jumlah ini menempatkan bahasa Jawa berada di 15 besar bahasa dunia. Dari 90 juta penutur bahasa Jawa tersebut, dirinya mengatakan sebanyak 40 persen berasal dari Indonesia, khususnya pulau Jawa. []
Surabaya Post
Sabtu, 18 April 2009 | 19:52 WIB
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment