Oleh Sihar Ramses Simatupang *)
Membaca sebuah karya sastra dan menghubungkan antara idealisme penulis – atau Budi Dharma menyebutnya ”obsesi”, Pramoedya Ananta Toer menyebutnya ”ideologi” dan saya menyebutnya visioner – adalah sebuah keniscayaan. Apa pun idealismenya, di karya sastra itulah, dibebankan segala pikiran si pengarang terhadap sejarah masyarakatnya.
Barangkali benar, bahwa karya sastra adalah bagian dari imaji. Tak semua teks dihasilkan oleh rasio dan kognisi, tapi juga afeksi, rasa. Namun olahan rasa pun tak lepas dari biografi si pengarang, sikap hidupnya. Keduanya berpaut dan saling bertanggungjawab, dirasalah terdapat pengalaman terutama emosi atau kesan historis, di logika lah, segala kesimpulan si penulis sebagai salah satu kaum intelektual peradaban.
Sebuah karya, novel apa pun, tak hanya mewariskan kesan kekinian, tapi juga rentet masa lalu dan ukuran nilai dan kenyataan masa depan.
[]
”Rumit tapi…. Sangat menarik.” kata novelis Ahmad Tohari. “Novel yang kaya ... sains, thriller, sosial, psikologi.” ujar Guru Besar Sastra Unversitas Indonesia.
Kata saya, bahasa penulis berlatar belakang dokter hewan dan kini menjadi jurnalis di sebuah majalah kesehatan satwa ini pun lancar di novelnya Lanang (terbitan Pustaka Alvabet, Mei 2008). Tentu dengan gaya Yonathan, tak tenang untuk disebut rapih, namun berpatah-berderap menimbulkan tegangan dan emosi, pertanyaan pembaca pun selesai ketika kata tak lagi jadi rintangan, ketika pembaca terpancing pada kisah di dalam novel. Karena itu, jangan dikejar tautan kata yang teliti atau kata yang puitik, narasi dan bentangan kisah juga deskripsilah yang perlu diperjuangkan pembacanya.
Lelah? Tidak!
“Kritik-kritiknya tajam, kendati dibalut dengan bahasa yang telanjang.” papar Harian Umum Kompas, mengomentari paparan karya novelis ini.
[]
Syahdan, di suatu ketika, saya membaca karya Lanang dari manuskrip teman saya, Yonathan Rahardjo, sebuah manuskrip yang sekarang telah menjadi sebuah novel. Sebuah (manuskrip) novel yang berkisah tentang Doktor Dewi sebagai seorang antek korporasi asing yang ”anehnya” menciptakan burung babi hutan, telah berefek pada ribuan petenakan sapi perah mati.
Pertanyaan saya, kalau menjadi wabah sapi perah, kenapa harus menciptakan burung babi hutan, tak menciptakan virusnya saja? Virus yang kelak menyebarkan efek yang sama, wabah penyakit di segenap sapi perah. Atau barangkali disinilah uniknya, mencipta virus, langsung dari proses kimia di tubuh inangnya. Inang yang hewan sapi perah, yang hasil sebuah rekayasa biogenetika burung babi hutan, yang uniknya lagi, berefek di tubuh mamalia lain yang biasa disebut sapi?
[]
Embel-embel bahwa burung babi hutan adalah hewan jadi-jadian, rumit. Kesan bioteknologi pun telah bercampur alam mistik tradisi Asia. Bioteknologi yang dulu didengungkan barat, sekali pun kini telah akrab dengan Asia, termasuk Indonesia, tetap menjadi suatu yang asing bila dikaitkan dengan mistik Indonesia. ”Kamu harus memilih, Yo,” ujar saya kepada penulis, beberapa tahun silam, jauh sebelum karyanya diikutkan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 yang mengantarkan dia menjadi salah satu pemenang.
Barangkali, saya dibebat oleh persoalan bahwa amatlah sulit meniti kisah-kisah, bila pembaca diganduli pertanyaan, cerita Lanang dan tokoh lain termasuk kemunculan makhluk aneh ini, bila didasari syakwasangka dilematis. Ini science fiksi atau mistik.
Science fiksi tak disebutkan runut tentang kenapa, berapa, kok bisa, gen babi hutan dan burung mewujud menjadi satu makhluk? Seperti suntikan gen fosil nyamuk purba di telur katak yang kemudian menjadi dinosaurus. Bukan apa-apa, penjelasannya pun ilmiah, nyamuk itu konon pernah menghisap darah dinosaurus, ribuan tahun yang lalu.
Mistik, tak dijelaskan khusus apa beda burung babi hutan dengan ngipri monyet, piara tuyul, babi ngepet, dan lain lain.
Namun inilah fiksi! Logika dan mistik adalah cabang lain di luar imaji karya sastra. Bentuk burung babi hutan inilah yang dikejar, ketika Lanang mengejar burung babi hutan, jangan jangan dia bagian dari anomali roh si Lanang, binatang ”jejaden” ciptaan Radikun? Oh ya, secara genetik, jangan lupakan, jangan-jangan dia bikinan si Dokter cerdas Radikun, rekayasa genetik cemerlang kreasi abad terakhir manusia – kalau dikaitkan dengan rasio genetika.
Nyatalah, di tangan Yo, dua kontroversi itu justru menjadi tegangan pertanyaan buat pembaca, alias dibiarkan menjadi paradoks alam pikir pembacanya. Inilah dia si Burung Babi Hutan, bukan film Jurasic Park atau Frankenstein juga bukan film Beranak dalam Kubur, Kuntilanak atau pun Twilight alias sang drakula vegetarian. Ini Burung Babi Hutan, fiksi transgenik-mistik, plus kisah ”inang” (induk atau media) dari virus penyerang sapi peliharaan.
Ceritanya memang berderap, tegang. Macam-macam tegangannya, tegang ketika Burung Babi Hutan menyerang Lanang, tegang ketika Lanang menyukai wanita, tegang ketika Lanang diburu, tegang ketika Burung Babi Hutan meneror orang-orang.
[]
Sekilas yang saya paparkan tadi adalah sedikit saja logika cerita terkait mistik dan science fiction. Tapi sekilas yang saya mau tanyakan lagi adalah bagaimana kehidupan Lanang. Nah kalau secara individu unik juga mengikuti psikologi Lanang, yang liar dan tak terkendali, terkadang gelisah, apalagi hubungannya dengan beberapa wanita dekatnya.
Juga secara sosial, bagaimana pandangan tokoh lain terhadap Lanang. Lanang berada di masyarakat lain, dari masyarakat intelektual, masyarakat sipil. Juga buatan dia, tentang bioteknologi ala Indonesia yang direspon oleh Barat, sebuah penemuan dari negara kecil, yang radius wilayahnya justru cukup luas di dunia. Penduduknya banyak, luas wilayahnya pun lumayan, tapi jadi orang kecil dalam peradaban teknologi di dunia, apalagi teknologi rekayasa genetika.
[]
Manakah visionernya? Ya dicari saja. Saya bisa saja melihat tentang sikap para tokoh, misalnya Dewi yang diciptakan sebagai tokoh antagonistik, disebut sebagai antek korporasi asing. Sialnya, si burung babi hutan, ciptaan cemerlang itu malah ditempatkan sebagai biang keladi. Dialah ikon barat, dalam rupa makhluk seram, musuh utama untuk mencipta kegelisahan tokoh, menjadi thriller buat Lanang dan kawan-kawannya, terutama buat pembaca.
Ada hasil eksperimen dari laboratorium barat, ada pemasokan produk obat-obatan dari luar, ada burung babi hutan, transegnik yang dicipta dari kecanggihan eksperimen asing. Ada juga kenakalan meng-antitesis-kannya dengan eksperimen manusia lokal, obat-obatan lokal, dan orang-orang lokal yang berusaha menghalau burung babi hutan.
Ini bukan anti barat. Ini justru kearifan bahwa baik barat dan Asia, kembali berpulang kepada pemikiran, tindakan dan prakteknya.
Obat-obatan luar tak selalu buruk. Sistem transgenik, sistem bayi tabung sekali pun masih kontroversi dari pandangan agama bahkan budaya apalagi bila dari sel telur dan sperma yang bukan pasangan, pasokan obat yang terkadang begitu sahih dan sangat melecehkan produk jamu dan produk obat-obatan dari para ahli medis dan apoteker pribumi termasuk mbakyu jamu atau petani benalu teh di puncak Bandung...
[]
Inikah visioner seorang alumni dokter hewan yang beralmamater di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur? Atau ada visioner lain, dari penulis yang juga seorang asal Bojonegoro, Jawa Timur – agak dekat dengan Jawa Tengah – ketika melihat kearifan lokal ke-Jawa-annya? Di saat dia mengenal jamu dan obat-obatan produk putra negeri. Plus, mengangkut aura sakral kebudayaan, menyerpih yang negatif seperti perewangan babi ngepet dan memenangkan jiwa Lanang yang menggali kemanusiaannya sendiri lewat kedekatan kepada Tuhan, Sang Khalik, manunggal ing kawula Gusti...
(Akh, saya jadi teringat pada novel Sanu Infinita Kembar-nya Motinggo Busye dimana Sanu pun gelisah, gelisah fisik dan gelisah jiwa, melakukan pengembaraan erotis pada perempuan hingga lelah lalu menyerah. Selanjutnya, dia pun mencari spiritualitas, bahkan perenungan theologis...)
Mbuh, aku nggak weruh... Tak ada yang tahu persis niat Yonathan pertama kali menuangkan karya ini.
Tapi, bukankah saya dan anda berhak menterjemahkannya di alam pikir bahkan di alam imaji anda juga. Sekali pun kita sepakat, pengarang tak sungguh-sungguh mati.
Apalagi ada si pengarang di tengah kita saat ini.
Raden Saleh - Jakarta, 21 Mei 2009
*) Jurnalis di Harian Umum Sinar Harapan. Penulis buku ”saku” kumpulan puisi ”Metafora Para Pendosa (Rumpun Jerami, 2004) , kumpulan cerpen ”Narasi Seorang Pembunuh” (Dewata Publishing, 2004), novel ”Lorca Memoar Penjahat tak Dikenal” (Melibas, 2005). Buku puisinya ”Manifesto” (Q Publisher, 2009) dan novel ”Bulan Lebam di Tepian Toba” nya akan dipublikasikan Juni-Juli mendatang.
Sumber: http://www.facebook.com/home.php?ref=home#/note.php?note_id=92867161964&id=1205260303&ref=mf
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment