Monday, August 3, 2009

Jawa

Oleh D. Zawawi Imron*

Bahasa Jawa telah ba¬nyak berjasa sebagai bahasa ''tarja¬mah'' di pesantren-pesantren di luar Ja¬wa. Bahasa Jawa pesantren itu dise¬but ''Jawa Kitabi". Malang malam hari. Pada perte¬ngan Juli itu dingin sangat menusuk. Apa¬lagi tempat sarasehan bulanan ter¬sebut di halaman terbuka kampus Uni¬versitas Brawijaya. Bukan di dalam ruangan. Di antara penerima tamu ada Ibu Francien Tomasoa yang ramah. Sarasehan dilaksanakan oleh Pu¬sat Pemberdayaan Kebudayaan Nu¬santara Unibraw. Ada pergelaran mu¬sik dan pembacaan puisi oleh do¬sen dan mahasiswa. Lebih asyik lagi yang jadi mode¬rator Mas Riyanto yang kocak dan Taufan Baskoro yang hangat.

Kali ini yang dibincangkan ialah bu¬daya Jawa. Secara idealistik kebu¬da¬yaan itu tidak bisa menerima nilai negatif. Yang idealistik itulah yang ja¬di materi pembicaraan. Pembicara¬nya antara lain Didik Soemintardjo dan Sugeng Susilo yang memang pa¬kar budaya Jawa. Di samping membi¬carakan budaya Jawa yang telah di¬ke¬tahui secara umum, ada sisi lain yang muncul saat itu. Misalnya, tentang ba¬hasa Jawa yang dulunya dipakai di pe¬santren-pesantren sampai ke luar Ja¬wa. Bahasa Jawa dulu dipakai sebagai ''ilmu alat'' di pesantren untuk memaknai matan (teks asli bahasa Arab), baik oleh orang Jawa maupun orang-orang di luar Jawa, seperti di pe¬santren-pesantren di Pasundan, Lam¬pung, Lombok, Madura, bahkan sam¬pai Malaysia.

Dalam ''pengajian kitab'' di pesan¬tren-pesantren kuno, teks kitab ber¬baha¬sa Arab itu diterjemahkan ke da¬lam bahasa Jawa yang tertulis seba¬gai makna ''jenggot'' atau ''gandul''. Ke¬mudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa setempat. Jadi, fungsi ba¬hasa Jawa di situ sebagai ''tangga mak¬na'' antara bahasa Arab dan baha¬sa setempat.

Di Madura misalnya, dalam pengajian kitab, yang dibaca terdahulu ada¬lah teks bahasa Arab-nya, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ja¬wa, dan terakhir diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Madura.

Kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Ghazali yang diterbitkan penerbit Salim Nabhan Surabaya dengan ter¬jemahan bahasa Jawa bisa dipakai di beberapa pesantren di Nusantara. Tafsir Al-Ibriz karangan KH Bisri Mus¬tofa (ayahanda Gus Mus) yang berbahasa Jawa juga diajarkan sampai di Malaysia.

Tetapi, setelah berdiri madrasah-ma¬drasah, dengan pendidikan klasikal mo¬dern pada tahun 1970-an, bahasa Ja¬wa di pesantren mulai berkurang peng¬gunaannya. Terjemahan kitab ber¬bahasa Jawa mulai digantikan ba¬hasa Indonesia.

Dengan demikian, kalau kita teliti de¬ngan cermat, bahasa Jawa telah ba¬nyak berjasa sebagai bahasa ''tarja¬mah'' di pesantren-pesantren di luar Ja¬wa. Bahasa Jawa pesantren itu dise¬but ''Jawa Kitabi". Itulah sumbangan bu¬daya Jawa bagi kebudayaan pesantren di Indonesia yang tak banyak dike¬tahui orang.

Catatan yang lain lagi, orang-orang di Madura Timur sampai sekarang ma¬sih menembang dalam bahasa Jawa. Pupuh-pupuh yang ditembangkan, seperti Sinom, Pucung, Kinanti, dan lain-lain, yang dilantunkan orang Madura, guru lagu dan guru wilangan-nya sama persis dengan tembang Jawa.

Hal ini perlu menjadi bahan telaah dan penelitian. Yang sangat menarik, ke¬tika kita meneliti masalah budaya, ham¬pir tidak pernah menemukan ada¬nya benturan-benturan. Yang terjadi jus¬tru dialog horizontal yang bersumber dari keindahan pekerti dan santun ke¬manusiaan. Itulah yang paling berhar¬ga pada kebudayaan. Tapi budaya kan bukan hanya bahasa dan sastra. Selain itu, ada hukum, pendidikan, filsafat, ekonomi, bahkan tek¬nologi, dan perilaku. Kebudayaan yang sehat akan selalu berorientasi ke masa depan.Seorang mahasiswa dari Jawa Barat, pa¬da malam itu bertanya, ''Apa di sini kami hanya mengkaji budaya Ja¬wa saja?''

Pertanyaan itu dijawab oleh panitia, ''Bu¬lan-bulan mendatang kita akan mendalami budaya-budaya Nu¬santara lainnya.''

Sebuah jawaban yang tepat, bahwa de¬ngan belajar kebudayaan dari etnis lain berarti kita melakukan dialog ke¬manusiaan. Mengerti budaya etnis lain berarti kita masuk kepada wawa¬san untuk mengerti bagaimana mem¬per¬lakukan orang lain sebagaimana yang mereka inginkan. Itu harus dila¬kukan secara seimbang sehingga terjadi komunikasi yang harmonis. Sa¬ling hormat dan saling menghargai de¬ngan jiwa yang tulus. Tidak seperti yang tersirat dalam pepatah petitih ba¬runya Taufiq Ismail: ''Duduk sama ren¬dah berdiri lain-lain tingginya.''

Dengan demikian, Fakultas Ilmu Bu¬daya yang baru dibuka di Unibraw itu akan memperbanyak barisan yang bisa menyebarkan pemahaman terha¬dap ''Bhinneka Tunggal Ika''.

Yang sangat menggembirakan pada dis¬kusi malam yang dingin itu, ialah Rektor Unibraw Prof Dr Yogi Sugito dan para dekan datang dan benar-benar jadi pendengar setia. Mereka baru pu¬lang setelah acara berakhir. Sebuah contoh konkret bagi para mahasiswa dalam mencintai kebudayaan, yang ten¬tunya lebih menggugah dari seratus imbauan dan instruksi. (*)

*) D. Zawawi Imron, penyair ''Celurit Mas'' dari Madura

[Jawa Pos, Minggu, 26 Juli 2009 ]

0 comments: