Monday, August 31, 2009

Mari Kita Terbitkan Hariwarti

Oleh EMMANUEL SUHARJENDRA

Gembira sekali. Itulah rasa hati ini ketika membaca tulisan Saudara Manaf Maulana, generasi muda pencinta bahasa Jawa, di Kompas berjudul "Rindu Koran Berbahasa Jawa". Sejak Kongres Bahasa Jawa I/1991, bahkan sebelumnya, penulis sudah merindukan terbitnya hariwarti, koran berbahasa Jawa. Nah, ternyata kini punya teman, seorang generasi muda dari Grobogan, Jawa Tengah. Penulis bersyukur sekali.


Semoga dambaan tersebut segera terwujud sebelum menjelang Kongres Bahasa Jawa (KBJ) V/2011. Sebab, bersama Manaf Maulana dan Manaf-Manaf yang lain dan generasi tua dan madya semua tentu tekad menerbitkan hariwarti itu makin kuat dan lekas terwujud.

Pada zaman penjajahan Belanda, ketika bahasa Jawa masih menjadi bahasa pergaulan mayoritas penduduk di Jawa, silih berganti selalu ada hariwarti. Zaman pergerakan kemerdekaan (1908-1945), walau berbahasa Jawa, hariwarti-hariwarti tersebut tidak menyuarakan kedaerahan (Jawa), tetapi nasionalisme (Indonesia).

Zaman kemerdekaan walau makin kecil jumlahnya (hanya ada satu- satu bergantian) masih selalu ada hariwarti. Sejak 1980 hingga sekarang di dunia yang penutur bahasa Jawanya sekitar 90 juta jiwa ini (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Jakarta, Lampung, dan lain-lain, termasuk di Suriname dan Selandia Baru) tidak ada sama sekali satu hariwarti pun. Satu-satunya hariwarti Sunda Sipatahoenan yang terbit sejak 1937 (seusia majalah Jawa Panyebar Semangat yang kini masih hidup) juga gulung tikar sekitar 1980 itu. Sejak itu kita (wong Jawa) memang mendambakan hariwarti. Tahun 1974, M Wonohito mendapat tamu RM Mudjanattistomo (Kepala Balai Bahasa Yogyakarta) dan Ki Karkono Partokusumo (wartawan, budayawan Jawa). M Wonohito mengajak penulis (anak buahnya, kini masih hidup, masih wartawan) menemani menemui tamu-tamu itu.

Pembicaraan seputar menambahkan terbitnya hariwarti. Mumpung ada tokoh (Sudjono Anton Yudoprawiro, mantan Wali Kota Yogyakarta) yang sanggup menyediakan dana. Sudah ada rengrengan, Pemimpin Umum Ki Karkoro, Pemimpin Redaksi Mudjanattistomo diwakili penulis, M Wonohito pembantu ahli. Segera akan diadakan rapat resmi dengan penyandang dana. Tetapi, sampai semua tokoh itu wafat (kecuali penulis), rapat tersebut belum pernah ada.

Lelakon seperti itu berulang berkali-kali, seperti seusai KBJ I/1991 dalam pertemuan di rumah mantan Menteri Penerangan Budihardjo dihadiri Menteri Penerangan Harmoko dan tokoh-tokoh pendamba hariwarti dari Jateng dan DIY, termasuk penulis ikut nguping dan urun rembuk. Sampai para penggagas itu habis belum ada tindak lanjut. Seusai KBJ III/2001 di Yogyakarta di penginapan Esmiet (pengarang Sumitro, Banyuwangi) kelanjutannya idem ditto. Nihil.

Sekarang penggagas muda Manaf Maulana mendamba terbitnya hariwarti tersebut. Penulis menanggapi, mari kita terbitkan hariwarti. Menurut Saudara Manaf, ada dua kendala besar yang bisa menggagalkan dambaan kita ini. Pertama, sumber dananya dari mana? Kedua, ketidaktertarikan wong Jawa sekarang terhadap bahasa sendiri. Tetapi, Saudara Manaf pun mengatakan bukan ngayawara, bukan tidak mungkin.

Jadi, menerbitkan hariwarti itu bagi kita mungkin-mungkin saja, sebab kendala-kendala tersebut tentu dapat diatasi. Sumber dana ditempuh dengan kerja sama antara tiga provinsi (Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta), daerah-daerah otonom (kabupaten/kota), dan pemodal pencinta bahasa Jawa, dibentuk suatu PT penerbitan hariwarti, dengan manajemen yang terpercaya (terjamin antikorupsi dan manipulasi) tentunya menjadi jaminan keberhasilan.

Tidak tertariknya orang Jawa terhadap bahasa Jawa bisa diberantas dengan kampanye sadar budaya yang kini sudah dibarengi kewajiban mempelajari bahasa dan budaya Jawa sejak TK hingga SMA kiranya tepat jika disusul dengan terbitnya hariwarti.

Pun dengan hadirnya bahasa Jawa tertulis tiap hari lewat harimurti (dan lisan lewat radio dan televisi) tentu penguasaan bahasa Jawa oleh masyarakat Jawa semakin kental. Dengan hadirnya hariwarti itu, dalam tempo 3-5 tahun, bahasa Jawanya orang Jawa pelanggannya tentu lantas semakin jumawa. Dengan demikian, KBJ V/2011 dan apalagi lagi KBJ VI/2016 tentu sudah 60 persen dan lantas 100 persen menggunakan bahasa Jawa.

Sejak 2003 tiap tahun Pemerintah Provinsi DIY melalui Dinas Kebudayaan menyisihkan anggaran untuk menerbitkan kalawarti (majalah berbahasa Jawa) Sempulur. Disepakati tahap demi tahap majalah "negeri" itu akan dijadikan majalah "swasta" yang akhirnya didambakan untuk menjadi hariwarti. Sekarang baru tahap menjadi majalah "swasta" dwiwulanan yang masih gratis karena dananya masih 100 persen dari Pemprov DIY.

Inikah yang pantas dan kita setujui menjadi embrio hariwarti dambaan itu? Kalau iya, syukurlah, tetapi kalau tidak tentu ada jalan lain yang bisa ditempuh.

Hemat penulis, hariwarti itu laiknya diterbitkan di Yogyakarta. Di sini banyak sumber daya manusia, wartawan-wartawati Jawa, penulis, penerjemah ke bahasa Jawa, pakar bahasa Jawa dari perguruan tinggi, dan lain-lainnya, di antaranya yang pernah kita susun di kalawarti Sempulur-yang mampu menggarap keredaksian hariwarti itu. Kemampuan percetakannya pun ada. Sumber daya manusia yang berpengalaman dan tidak diragukan kecintaannya terhadap bahasa Jawa juga masih banyak.

Sedangkan pelanggan hariwarti tersebut sekian persen (5 persen) dari penutur bahasa Jawa yang jumlahnya 90 juta itu (misalnya 4,5 juta pelanggan), amat cukup memadai untuk menjadikan hariwarti kita ini menjadi hariwarti yang besar dan terkemuka.

Mari kita terbitkan hariwarti. Senyampang matahari pagi ini masih terbit di timur!

--EMMANUEL SUHARJENDRA Wartawan dan Pengajar Bahasa Jawa, Tinggal di Yogyakarta

Kompas Jawa Tengah, Kamis, 10 Mei 2007

0 comments: