Oleh Teguh Supriyanto
(Kompas). Kekhawatiran Prof Ekowardono, Guru Besar Linguistik bidang Morfologi Bahasa Jawa Unnes, terhadap realisasi rekomendasi hasil kongres Bahasa Jawa IV tampaknya ada benarnya. Ternyata rekomendasi dibuatnya peraturan daerah tentang bahasa Jawa dan perda tentang dibentuknya Dewan Bahasa belum terwujud. Kekhawatiran ini muncul karena dalam hitungan minggu, para anggota dewan yang terhormat sudah harus menata diri untuk siap berpindah dari gedung berlian, kecuali yang terpilih kembali. Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2007 yang menelan biaya lebih dari Rp 5 miliar menjadi sia-sia.
Perda mendesak dibutuhkan sebagai payung hukum yang memungkinkan keberlangsungan bahasa, sastra, dan budaya Jawa di era global ini. Padahal, tetangga kita, yaitu Jawa Barat sudah membuat perda bahasa Sunda tahun 2003, bahkan Bali sudah membuat perda mengenai bahasa daerahnya tahun 2002.
Memang, sekarang ini bahasa Jawa sudah diajarkan bukan saja di tingkat sekolah dasar, tetapi juga di sekolah tingkat menengah (SMA/MA/ SMK). Namun, adalah kenyataan bahwa berlangsungnya proses pembelajaran masih belum maksimal. Sekolah dan dinas pendidikan terkesan masih ogah-ogahan. Permasalahan timbul mulai dari kurikulum, buku ajar, siswa, dan guru. Karena materinya sulit, pekerjaan rumah siswa, sebagai contoh, justru dikerjakan oleh orangtua atau kakeknya. Masih banyak guru yang ditugasi mengajar bahasa Jawa bukan berasal dari lulusan pendidikan bahasa Jawa.
Ada beberapa kemungkinan belum dibuatnya rancangan perda. Pertama, mungkin pihak panitia tak melaporkan kepada DPRD. Mereka merasa cukup melapor kepada pihak eksekutif selaku penyelenggara. Kedua, eksekutif tidak melaporkan kepada DPRD atau pihak eksekutif lupa tak merumuskan rancangan perda diberlakukannya bahasa Jawa dan dibentuknya Dewan Bahasa. Ketiga, panitia sudah melapor sebagai bentuk pertanggungjawaban pemakaian anggaran untuk biaya kongres, tetapi dewan belum tanggap terhadap rekomendasi keputusan kongres.
Keempat, baik eksekutif maupun legislatif tidak peduli dengan keberlangsungan bahasa daerah. Jika salah satu dari kemungkinan pertama, kedua, atau ketiga yang terjadi dapatlah dimaklumi karena hubungan kedua lembaga tersebut sering kali sangat birokratis, lama, dan incidental case. Yang mengkhawatirkan adalah jika kemungkinan keempatlah yang terjadi. Sikap masa bodoh menjadi cermin tidak aspiratif terhadap hasil kongres yang dihadiri oleh ribuan peserta yang sangat representatif sebagai perwakilan seluruh lapisan masyarakat.
Jika benar kemungkinan keempat, yaitu sikap masa bodoh yang terjadi, menjadi nyata kekhawatiran Prof Sunardji 15 tahun lalu, bahwa bahasa Jawa sebagai identitas orang Jawa akan mati. Beberapa fakta dapat dijadikan indikator. Rapat setingkat RT sekarang ini saja sudah tak menggunakan bahasa Jawa, meski di Jawa bagian pelosok sekalipun. Bahkan, ujian calon perangkat desa di Danaraja, Kabupaten Banjarnegara, beberapa bulan lalu justru harus lulus bahasa Inggris sebagai salah satu syarat, meskipun desa itu bukan daerah turis.
Fakta lain, peserta kongres dan pemakalah ketika berlangsungnya Kongres Bahasa Jawa, mulai dari yang I-IV umumnya adalah orang yang mengikuti kongres-kongres sebelumnya. Hampir semua peserta berusia di atas 40 tahun, artinya jarang peserta kongres adalah pemuda (bandingkan Kongres Pemuda I dan II yang pesertanya rata-rata berusia 27 tahun).
Para pemakalah umumnya menulis materi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Para kepala daerah yang diundang umumnya tidak hadir dan mewakilkan kepada orang yang tidak kompeten. Oleh karena itu, wajar jika mereka tidak merespons rekomendasi hasil kongres. Beberapa kali mengikuti sarasehan bahasa Jawa yang diadakan Yayasan Kanthil terlihat bahwa para peserta sarasehan kebanyakan para sepuh, berusia di atas 50 tahun.
Bagaimana hasil pembelajaran bahasa Jawa di sekolah? Menurut penelitian Sudi Utami (2008), dilaporkan bahwa pembelajaran bahasa Jawa kurang berhasil. Umumnya 69 persen siswa tidak menguasai materi yang diajarkan. Alih-alih menguasai materi, kemampuan berbahasa Jawa anak sekolah sangat memprihatinkan.
Kondisi bahasa Jawa dan bahasa daerah lainnya di Indonesia yang memprihatinkan dan kurang terurus ini juga disebabkan oleh belum disahkannya RUU Bahasa. RUU Bahasa pernah dibahas dan sarat kepentingan politik sehingga perlu dibahas secara jernih sehingga menguntungkan keberlangsungan bahasa ibu dan bahasa negara, bukan malah memperkuat kedudukan bahasa asing.
Romantisisme \"mat-matan\"
Gambaran sebagaimana terpapar ini menunjukkan bahwa strategi pewarisan, pembelajaran, pelestarian bahasa Jawa perlu dibenahi dengan serius. Kunci dari semua persoalan terletak pada belum adanya payung hukum yang mengikat. Surat Keputusan Gubernur belumlah cukup. Perlu adanya perda bahasa Jawa dan perda dewan bahasa mulai dari perda tingkat I hingga tingkat II yang tugasnya merumuskan serangkaian kebijakan, termasuk perlu tidaknya kongres bahasa.
Perda tersebut memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu UUD 1945. Disebutkan bahwa, \"Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia. Bahasa- bahasa daerah perlu dilestarikan dan dikembangkan&.\" Setelah perda terbentuk, tugas pertama adalah menyusun ulang kurikulum. Capaian setiap jenjang satuan sekolah harus dirumuskan secara jelas. Misalnya, pada tingkat dasar, siswa harus memiliki kompetensi berbicara bahasa Jawa ngoko. Pada jenjang berikutnya, siswa harus mampu berbicara bahasa Jawa ragam kromo (SMP), dan siswa mampu menulis wacana bahasa baik ngoko maupun kromo, serta mampu berbicara bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh bahasa Jawa yang baik (SMA).
Strategi pembelajaran masa kolonial, yang menempatkan bahasa kromo diajarkan di tingkat dasar harus berani diubah. Ragam bahasa Jawa perlu disederhanakan menjadi ragam ngoko dan kromo. Ada gejala romantisisme bahasa mat-matan. Oleh karena itu, golongan sepuh perlu mengalah. Kongres dan sarasehan terkesan digunakan sebagai ajang temu kangen. Mereka membahas topik yang berorientasi jadoel sehingga kurang sesuai dengan konteks kekinian. Inilah yang mengukuhkan pendapat bahwa belajar bahasa Jawa menjadi sulit. Akhirnya, kita tunggu kiprah terakhir para anggota dewan dan pihak eksekutif untuk membuat perda. Kita tidak berharap para anggota dewan masa bodoh sehingga kita tidak perlu ikut bersikap sebodo amat dengan mereka pada pemilu yang akan datang.
Teguh Supriyanto Pengajar Ilmu Sastra pada Prodi Sastra Jawa dan Indonesia FBS Unnes Semarang
Kompas 31 Maret 2009
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment