Saturday, November 28, 2009

Sastra Jawa yang Meminggirkan Diri

"JANGANKAN sastra Jawa, secara sunnatullah sastra pun termasuk pinggiran atau tepatnya terpinggirkan," cetus dosen Sastra Jawa Unnes, Drs Teguh Supriyanto MHum

Teguh melontarkan hal itu ketika jadi pembicara dalam diskusi Malam Rebo Legen di Sanggar Seni Paramesthi, Jalan Kelud Utara III, kampus lama Unnes, Selasa (18/4) malam. Tema diskusi itu tak lain perikehidupan sastra Jawa pinggiran.

Diskusi itu dihelat sebagai "pemanasan" menjelang Kongres II Sastra Jawa yang rencananya diadakan di Semarang pada 2-3 Juli. Pembicara lain adalah sastrawan asal Tegal, Eko Tunas. Diskusi yang berlangsung gayeng itu dipandu Sucipto Hadi Purnomo, dosen Sastra Jawa Unnes yang juga penulis cerita bersambung Saridin Mokong di Suara Merdeka.

"Persoalannya sekarang, siapa yang meminggirkan sastra Jawa? Bukan pemerintah, bukan pula sastra Indonesia. Menurut pendapat saya, kalangan sastra Jawa sendiri yang meminggirkan diri," ujar pria kelahiran Purbalingga itu.

Di sesela diskusi, Teguh yang juga dalang itu menyempatkan unjuk kebolehan melantunkan sulukan ala dalang Ki Sugino Siswocarito yang khas banyumasan. Tarikan vokalnya yang di-blero-kan sebagai Bawor, yang di luar Banyumas lebih dikenal dengan sebutan Bagong, tak urung menerbitkan tepukan.

Diskusi berlangsung seru dengan kehadiran para pencinta budaya Jawa yang menjadi "pelanggan" Malam Rebo Legen. Hadir antara lain Ketua Panitia Kongres II Sastra Jawa Sendang Mulyana, dalang wayang dongeng Ki Trontong Sadewa, serta sastrawan Jawa senior Ariesta Widya.

Egaliter

Sementara itu, Eko Tunas mengungkapkan perihal kekuatan bahasa Tegal sebagai alat ekspresi. Kekayaan bahasa dari ranah pesisiran itu, kata dia, memungkinkan wong Tegal menggunakan untuk menyampaikan gagasan, termasuk dalam soal sastra. Bahasa Tegal juga berpengaruh besar terhadap mentalitas sang penutur, membuat mereka terdidik untuk jujur, egaliter, dan terbuka.

"Basa Tegal kuwi laka aling-aling, laka unggah-ungguh. Dhes," ujarnya dalam bahasa Tegal yang kental.

Sebelum tampil sebagai pembicara, Eko Tunas yang dikenal sebagai sastrawan dan aktor teater itu menghadiahkan geguritan khas tegalan.

Dia membacakan puisi yang mengungkap tentang keserakahan manusia pada era sekarang yang lebih mengedepankan otak ketimbang hati itu. "Padahal, sepandai-pandai orang yang berpikir dengan otak akan mencipta bom. Sebaliknya, orang yang berpikir dengan hati atau rasa, akan selalau melandasi setiap tindakannya dengan kasih sayang." (Achiar M Permana-53)

Sumber: Suara Merdeka, 19 April 2006

0 comments: