Thursday, February 25, 2010

Melestarikan Tradisi Maca-an Lontar di Desa Kemiren

Masih Didominasi Lelaki, Jarang Pembaca Perempuan

Laporan: RISKI NALANDARI, Banyuwangi

Tradisi maca lontar tak sekadar alat untuk menyebarkan ajaran Islam. Maca Lontar ternyata juga merupakan kesenian yang sarat makna.

BANYAK orang yang mungkin masih asing dengan macaan lontar. Sebab, di masa sekarang, peminat kegiatan ini semakin jarang. Ratusan tahun lalu, macaan lontar merupakan sebuah kegiatan yang banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Tidak terkecuali, dilakukan masyarakat Banyuwangi.

Namun, masih ada sejumlah masyarakat yang ternyata peduli keberadaan kesenian tersebut. Segelintir orang inilah yang berusaha menghidupkan kembali tradisi yang sudah mulai punah itu.

Beberapa daerah di Banyuwangi memiliki komunitas macaan agar kesenian ini terus hidup di tengah masyarakat. Salah satunya adalah komunitas macaan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.

Dari rumah milik Adi Purwadi di Kemiren Barat, terdengar lantunan merdu tembang-tembang. Suara tersebut berasal dari para peserta macaan yang sedang berlatih di rumah tersebut.

Bulan Februari 2010 ini sedang berlangsung pelatihan macaan selama delapan hari berturut-turut. Latihan macaan itu berlangsung sejak tanggal 17 hingga 24 Februari 2010.

Koordinator pelatihan macaan, Adi Purwadi mengatakan, pelatihan itu bertujuan untuk melestarikan kebudayaan di Banyuwangi. Pelatihan ini sudah dilaksanakan selama dua tahun berturut-turut di Desa Kemiren. "Alhamdulillah, peminatnya lumayan banyak," ujar pria berusia 50 tahun itu.

Purwadi menargetkan, para peserta sudah harus bisa membaca selama delapan hari latihan. Pelatihan itu biasanya dimulai pukul 19.00 sampai 23.00. Sesekali, acara tersebut baru selesai pada tengah malam. Kali ini, peserta pelatihan berjumlah 15 orang. Semua peserta tercatat sebagai warga Desa Kemiren. ''Yang menjadi peserta adalah orang yang belum pernah belajar macaan,'' ujar Purwadi.

Peserta pelatihan macaan itu sama sekali tidak dipungut biaya. Mereka yang berminat, tinggal datang ke rumah Purwadi. Meski begitu, peminat kesenian yang satu ini pun masih terbatas.

Sementara itu, lontar di Banyuwangi tidaklah sedikit. Tetapi, yang biasa dibaca oleh warga Desa Kemiren adalah Lontar Yusuf. Moco lontar diyakini oleh masyarakat mengandung hal-hal yang magis. Ada doa dan mantra tertentu dalam setiap lontar. Oleh karena itu, lontar sering dibaca pada momen tertentu sebagai doa. Salah satunya, lontar Yusuf yang sering dibaca pada acara pernikahan, khitanan, dan acara lain. Ada juga Lontar Ahmad yang biasa dibaca pada acara melahirkan. Masyarakat meyakini, Lontar Ahmad dapat berfungsi sebagai doa untuk menolak musibah dan kesialan.

Di Desa Kemiren, kelompok macaan dibagi menjadi dua, yaitu kelompok Reboan dan Saptuan. Menurut Purwadi, sebenarnya banyak daerah yang memiliki kelompok macaan lontar, misalnya Desa Tamansuruh, Desa Kampung Anyar, Desa Glagah, Desa Bakungan, termasuk wilayah Kecamatan Songgon. Namun, basis macaan lontar terbanyak memang di Kecamatan Glagah.

Selama ini, macaan lontar memang banyak dilakukan oleh kaum lelaki. Padahal, tidak ada aturan yang melarang kaum perempuan untuk ikut macaan. Menurut Purwadi, hal ini mungkin disebabkan oleh kesibukan kaum perempuan dalam mengurus rumah tangga. Sementara itu, macaan lontar juga dijadikan sebagai muatan lokal di SMA Negeri 1 Giri. Kegiatan di sekolah itu diikuti banyak pelajar perempuan.

Membaca lontar memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Pasalnya tulisan pada lontar menggunakan hurup Arab, sedangkan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno. Cengkok atau lagu yang digunakan adalah tembang khas Desa Kemiren, yaitu cengkok bahasa Using. Oleh karena itu, Purwadi sangat salut kepada para pembaca lontar. "Meski banyak warga Kemiren yang menganggap saya sudah senior, tapi sebenarnya ilmu saya masih rendah," ujarnya.

Selama pelatihan tersebut, peserta tidak hanya diajarkan cara membaca lontar. Peserta juga diajarkan cara melantunkannya menggunakan cengkok bahasa Using. Tenaga pengajarnya adalah warga-warga senior di Desa Kemiren yang memang memiliki kemampuan membaca lontar. Mereka dengan sukarela datang membagikan ilmu membaca lontar setiap hari. Menurut Purwadi, tenaga pengajar ini tidak memperoleh bayaran atau imbalan. "Saya sangat bersyukur, mereka mau membantu dengan cuma-cuma," katanya.

Seorang pengajar macaan lontar, Sutaman, mengaku sudah mampu membaca lontar sejak 25 tahun lalu. "Saya ikhlas membagi ilmu di sini. Supaya tradisi ini tidak punah," ujar pria berusia 60 tahun tersebut. Sutaman mengaku ikut kelompok macaan lontar Reboan di Kemiren. Dia merasa terpanggil karena selama ini memang senang membaca lontar. "Rasanya tenang saat membaca kalimat-kalimat tersebut," tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Awang Setya Kiaji, anggota termuda kelompok macaan lontar di Desa Kemiren. Siswa kelas 4 SDN 1 Kemiren itu sudah mampu menguasai seni moco lontar. Bocah berumur sepuluh tahun itu sudah belajar moco lontar sejak tahun 2009. Gurunya adalah ayahnya sendiri, yaitu Adi Purwadi.

Awang memulai kegiatan itu karena iseng membaca lontar milik ayahnya. Lantaran senang, akhirnya dia semangat untuk belajar. Dia mengakui, moco lontar itu awalnya sangat sulit. Namun, ketika sudah terbiasa, dia justru merasa senang. "Kadang-kadang saat tidak ada jadwal les, saya ikut macaan lontar Reboan dan Sabtuan," ujarnya.

Menurut Purwadi, jarangnya peminat macaan dikarenakan kegiatan itu murni kesenian, tanpa ada keuntungan materi. Meski jumlah peminat macaan lontar semakin berkurang, dia berharap dapat melestarikan tradisi tersebut. Macaan lontar merupakan salah satu kebudayaan Banyuwangi yang harus dilestarikan. Dia berharap, pelatihan semacam itu dapat diadakan lagi. Sehingga, macaan lontar dapat bertahan turun-temurun. "Saya hanya berharap, semoga macaan lontar tetap akan menjadi seni. Tanpa ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain," tambahnya. (bay)

Radar Banyuwangi, Rabu, 24 Februari 2010

0 comments: