Oleh W Haryanto
Mencermati amanat UUD 1945 tentang perlindungan bahasa daerah konsekuensi inilah yang harus dijadikan momentum pemerintah untuk menjadikan bahasa sebagai identitas nasional. Maka, diperlukan kebijakan yang jelas dan tepat fungsi, bukan slogani(sasi) atau kebijakan jangka pendek yang menyerap dana miliaran rupiah. Tentu sesuatu yang sia-sia ketika persepsi kita terhadap pemberdayaan bahasa daerah hanya sebatas proyek temporer.
Faktanya, pemerintah kita tak punya kalkulasi yang matang. Hal ini tampak pada Kongres Bahasa Jawa V yang rencananya berlangsung di Surabaya tahun 2011. Seperti halnya Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang, megaproyek yang melibatkan tiga pemerintah provinsi (DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur) ini ternyata hanya menghasilkan rekomendasi yang tak berbunyi di tengah pengguna bahasa Jawa yang meliputi wilayah administratif tiga provinsi.
Terkecuali, DI Yogyakarta yang telah mengimplementasikan dalam kebijakan, yakni intruksi pemakaian bahasa Jawa pada hari Sabtu di berbagai instansi. Ini tentu saja tidak sebanding dengan besarnya anggaran yang terserap, pemberdayaan bahasa Jawa kurang memadai.
Pemberdayaan bahasa Jawa menyangkut dua aspek. Pertama, formalisasi di dunia pendidikan, yakni menempatkan bahasa Jawa tidak sebatas pelajaran tambahan. Sebagai bahasa kultural, bahasa Jawa memiliki kepentingan dalam pembentukan watak siswa (pengguna Bahasa Jawa). Ironisnya para pengajar bahasa Jawa tidak dibekali penguasaan antropologi dan filsafat Jawa. Karena kekuatan bahasa Jawa bukan pada sebatas struktur kebahasaannya, juga dimensi filsafat Jawa.
Kedua, pemberdayaan komunitas yang turut membentuk siklus penyebaran bahasa Jawa. Faktanya, institusi formal seperti pemerintah dan universitas (yang memiliki program studi bahasa Jawa) ternyata kurang berfungsi sebagai instrumen penyebaran bahasa Jawa. Patut diakui bahwa siklus bahasa Jawa justru bertumpu pada pelembagaan di luar pemerintah. Media massa seperti Jaya Baya, Panjebar Semangat, JTV, dan sejumlah radio rutin mendenyutkan bahasa Jawa sebagai media komunikasinya.
Kongres Bahasa Jawa sebatas upaya menjadikan bahasa Jawa sebagai benda budaya, bukan subyek budaya. Secara etimologi, bahasa Jawa dan masyarakat Jawa melekat secara historis dan doktrinal. Bahasa Jawa mencirikan evolusi dan konsekuensi kekuasaan di pulau Jawa. Kongres Bahasa Jawa berawal dari persepsi untuk membentuk birokrasi, pengaturan, regulasi, dan mengenali bahasa Jawa sedang dalam kondisi kritis. Eksistensi bahasa Jawa pun dikenali sebatas aspek kebendaannya, bukan subyek yang dibiarkan menjadi dewasa. Bahasa Jawa seakan dilekatkan pada krisis historis (terdesak oleh proses kapitalisasi). Faktanya indikator krisis ini tampak sebagai paradoks. Kongres Bahasa Jawa hanya kehendak kolektif untuk membangkitkan kembali doktrin politik Mataram karena tak adanya grand design yang konkret.
Masyarakat Jawa (pengguna bahasa Jawa) cenderung sebagai produk politik, maka manifestasi bahasa Jawa pun tidak lebih dari alat politik. Patut diingat rezim Soeharto membentuk intimidasi "kramanisasi" (penjawaan) terhadap bahasa Indonesia. Siklus kramanisasi ini menyintesakan lagu pengucapan bahasa Jawa ke dalam struktur Bahasa Indonesia dan proses ini bersifat politik kekuasaan. Proses ini mirip dengan pandangan Kasian Tejapira tentang represi pemerintah Thailand terhadap basis perlawanan komunitas China yang berhaluan kiri, yakni dengan menasionalisasi istilah-istilah "kaum kiri" yang merujuk pada perlawanan dengan bahasa Thailand. Evolusi ini secara psikologis melemahkan pemberontakan kelompok Marxist Thailand.
Seiring runtuhnya rezim Soeharto, logika kramanisasi turut melemah. Namun, basis Bahasa Jawa justru menemukan relevansi pada berbagai unsur modern. Bahasa Jawa sekaligus kandungan falsafahnya dimanfaatkan sebagai komunikasi rasional.
Penulis-penulis seperti Linus Suryadi AG, Darmanto Jatman, YB Mangunwijaya, atau Ahmad Tohari membentuk dimensi lain tentang sintesa Jawa dalam kesadaran modern. Media berbahasa Jawa, Jaya Baya dan Panjebar Semangat, turut pula memperkuat status quo bahasa Jawa di tengah modernitas.
Ancaman utama bahasa Jawa bukanlah modernitas, tetapi proses kebahasaan yang terjadi di dunia pendidikan. Ketika persepsi pendidikan bahasa Jawa hanya didasarkan pada bagaimana kita bisa mewarisi bahasa Jawa secara normatif.
Kongres Bahasa Jawa. Kongres ini harus mendorong pembentukan sumber daya manusia pendidik yang mampu mentransformasikan intisari bahasa Jawa. Perlu dipikirkan bagaimana mengubah model pengajaran bahasa Jawa dari sekadar pelajaran hafalan (pelengkap) menjadi proses perwatakan Jawa. Kembali pada pengertian guru, yakni digugu dan ditiru (diteladani), di sinilah para pendidik bahasa Jawa dituntut membangun faktualisasi antara Bahasa Jawa sebagai warisan normatif dan sikap konsumtif siswa terhadap produk modernitas. Dengan demikian, terbangun konsep pewarisan Bahasa Jawa yang kreatif dan terarah.
W Haryanto Penyair, Esais, Komite Sastra Dewan Kesenian Kabupaten Blitar
Kompas Jatim, Jumat, 9 April 2010
nggalek.co
9 years ago






0 comments:
Post a Comment