Oleh P Ari Subagyo
Aksara Jawa Dihidupkan Lagi. Begitu kata Kompas beberapa waktu lalu. Kartu tanda pengenal pegawai instansi pemerintah DI Yogyakarta akan menggunakan aksara Jawa. Untuk tahap pertama, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga menerapkan bagi karyawannya, lalu diperluas di lembaga pendidikan. Sekolah-sekolah diimbau menamai ruang-ruang kelas dengan nama tokoh wayang yang ditulis dengan aksara Jawa.
Liputan berlanjut. Menurut Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Dikpora) DIY Suwarsih Madya, kebijakan itu untuk mengangkat kembali budaya Jawa demi mewujudkan multikulturalisme. Budaya Jawa termasuk bahasa dan aksaranya sarat akan makna filosofis toleransi dan penghargaan terhadap sesama.
Berita-berita tersebut seolah mengubur kekhawatiran Teguh Supriyanto dalam artikel Menunggu Perda Bahasa Jawa (Kompas, 30/3). Peraturan daerah (Perda) bahasa Jawa (di Jawa Tengah) belum dibuat. Padahal, anggota DPRD akan segera berganti. Kongres Bahasa Jawa IV tahun 2007 yang merekomendasikan perlunya perda dan menelan biaya lebih dari Rp 5 miliar menjadi sia-sia. Menurut Teguh, perda mendesak dibutuhkan sebagai payung hukum yang memungkinkan keberlangsungan bahasa, sastra, dan budaya Jawa di era global. Apalagi, Jawa Barat telah membuat perda bahasa Sunda tahun 2003, bahkan Bali melakukannya tahun 2002.
Berita dan artikel tersebut segera menerbitkan pertanyaan, apakah nasib bahasa Jawa tergantung perda?
Penting dicatat, sampai sekarang Pemerintah Provinsi DIY juga belum mengeluarkan perda bahasa Jawa. Maka, kebijakan Kepala Dinas Dikpora tentu sepengetahuan dan "seizin" Gubernur maupun DPRD DIY membuktikan, tanpa perda pun langkah dapat dibuat.
Hal itu mengingatkan peristiwa berikut. Gubernur Jateng saat itu Mardiyanto pada 23 Februari 2005 menerbitkan SK Nomor 895.5/01/2005 tentang Kurikulum Bahasa Jawa untuk SD, SMP, dan SMA. Berdasarkan SK tadi, bahasa Jawa diajarkan kembali sebagai muatan lokal. Namun, beberapa mahasiswa tetap menuntut perda pengembangan bahasa Jawa dengan "tapa pepe" di halaman kantor gubernur saat peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional 2006.
Menanggapi tuntutan, Gubernur menyatakan, "Buat apa peraturan tertulis jika pelaksanaannya tidak maksimal. Nanti yang disalahkan perdanya. Itu (pemeliharaan dan penggunaan bahasa Jawa) ada pada masing-masing kita, mari kita gunakan bahasa Jawa sebaik-baiknya." (Kompas, 22/2/2006).
Isi pernyataan itu gamblang. Perda bahasa Jawa (di Jateng) tidak perlu. Namun, pernyataan tersebut juga bisa ditafsirkan: yang penting pelaksanaannya, perda bisa menyusul. Artinya, kita jangan terjebak urusan legal-formal. Perda tentu perlu untuk payung hukum karena mengatur berbagai hal, termasuk pendanaan. Namun, yang lebih penting adalah meminjam istilah Cobarrubias (Ethical Issues in Status Planning, 1983) "perencanaan status". Pemberian status yang jelas membuat fungsi bahasa dalam masyarakat juga jelas.
Fungsi bahasa daerah termasuk bahasa Jawa telah dirumuskan dalam Seminar Bahasa Nasional 25-28 Februari 1975, yakni sebagai, pertama, lambang kebanggaan daerah; kedua, lambang identitas daerah; ketiga, alat perhubungan masyarakat daerah; keempat, pendukung bahasa nasional; kelima, bahasa pengantar di sekolah; dan keenam, alat pengembangan serta pendukung kebudayaan daerah. Jadi, fungsi bahasa Jawa sebenarnya sudah jelas. Dengan memahami pentingnya fungsi, pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa bisa berjalan tanpa perda.
Perbedaan situasi
Langkah proaktif pelestarian dan pengembangan bahasa (dan budaya) Jawa di DIY tidak melulu dilakukan Dinas Dikpora. Dinas Kebudayaan setiap tahun menggelar kegiatan-kegiatan yang melibatkan pelajar, seniman, budayawan, dan masyarakat umum. Sejak tahun 2004, setiap tanggal 20, Pemerintah Kabupaten Bantul menggunakan bahasa Jawa untuk acara kedinasan. Geliat berbahasa Jawa di kalangan masyarakat juga masih semarak lewat kelompok macapatan, kesenian kampung, hingga lembaga-lembaga kursus nirlaba.
Keraton Yogyakarta sebagai pusat budaya Jawa juga memberi atmosfer khusus. Apalagi, Sultan Hamengku Buwono X mengemban peran politis-formal sebagai gubernur. Maka, sekalipun tanpa perda, pelestarian dan pengembangan bahasa dan budaya Jawa lebih mudah dilakukan.
Mencermati hal tersebut, perlu disadari bahwa situasi DIY dan Jateng memang berbeda, termasuk situasi kebahasaannya. Di DIY yang wilayahnya lebih sempit hanya dijumpai satu dialek bahasa Jawa. Situasi kebahasaan yang relatif homogen juga ditemui di Jabar dan Bali. Di Jabar hanya ada satu bahasa daerah dengan dialek dominan, yaitu bahasa Sunda. Di Bali pun demikian. Maka, tidak heran Jabar dan Bali telah berhasil membuat perda bahasa daerah.
Adapun di Jateng, selain bahasa Jawa dialek "standar", ada dialek Banyumas dan Tegal yang jumlah penuturnya juga banyak. Jadi, tidak mudah membuat perda bahasa Jawa yang "adil" terhadap semua dialek di seluruh Jateng.
Situasi lebih rumit dihadapi Jawa Timur. Dijumpai dialek-dialek bahasa Jawa, ditambah bahasa Osing dan bahasa Madura yang selain di Pulau Madura penuturnya mengumpul di Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, dan sekitarnya.
Secara teoretis, perda bahasa Jawa di Jateng dan Jatim tidak mungkin berbasis provinsi, melainkan berbasis kabupaten/kota. Perda di Kota Surakarta, misalnya, akan lain dengan perda di Kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Tegal. Di Jatim, namanya lebih elok perda bahasa daerah, bukan perda bahasa Jawa yang terkesan eksklusif.
Kompas (1/4) kembali menyodorkan liputan Motivasi Memakai Bahasa Jawa Makin Tiada. Nasib bahasa (dan aksara) Jawa memang tidak tergantung perda, tetapi di tangan para pemakainya, termasuk media massa.
Menapa Kompas sumadya ndherek nguri-uri kanthi mbikak rubrik basa Jawi? Temtu murakabi saha nyawabi!
P Ari Subagyo Dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Sekretaris Bebadan Basa lan Kabudayan "Nataharsana" (Bebana), Yogyakarta
Sumber; Kompas [Senin, 6 April 2009 | 10:01 WIB]
nggalek.co
9 years ago






0 comments:
Post a Comment