Triyanto Triwikromo
SIAPA pun Anda pasti tidak ingin terperosok ke dalam dosa. Namun, terus-terang, saya justru mengajak para sastrawan Jawa agar melakukan dosa kultural pada Kongres Sastra Jawa II yang digelar di Semarang, beberapa waktu lalu. Seruan subversif itu saya lontarkan karena risi pada istilah pertobatan sastra yang diungkapkan oleh Kang Tohari untuk menggambarkan upaya heroik sastrawan itu menerjemahkan ke dalam bahasa Jawa novel Ronggeng Dukuh Paruk dan Bekisar Merah menjadi Srinthil dan Jegingger. "Ya, pertobatan ini saya lakukan setelah Profesor Henk Maier mengingatkan mengapa saya tidak menulis dalam bahasa ibu."
Pertobatan, kita tahu, memang berkesan sebagai tindakan indah dan membuncahkan kesan religiusitas yang dalam. Pertobatan juga identik dengan perjalanan sunyi penuh makna setelah sepanjang waktu seseorang merayakan berbagai nafsu angkara dengan penuh kegairahan. Dalam novel Siddharta karya Herman Hesse yang inspiratif, pertobatan adalah perjalanan Siddharta menuju suwung setelah ia hidup dalam hiruk pikuk duniawi. Pertobatan, dengan demikian, adalah jalan menuju surga, nirwana yang tak terpermanai. Ia adalah jalan menuju pembebasan. Tapi pertobatan kultural justru melumpuhkan.
Saya tak hendak menghalang-halangi para sastrawan Jawa -Suparto Brata yang santun, Arswendo Atmowiloto yang trendi, Lanang Setiawan yang kreatif, dan Bonari Nabonenar yang heroik- untuk menerjemahkan novel, cerpen, dan puisi menjadi roman, cerkak, atau geguritan dalam bahasa Jawa. Saya tidak ingin menghalang-halangi "pertobatan" indah mereka.
Akan tetapi "pertobatan kultural" semacam itu bagi saya justru melumpuhkan kaki dan ruh sastra Jawa yang telah melesat ke medan yang lebih jembar lewat Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi AG), Para Priyayi, Canting (Arswendo Atmowiloto), dan karya-karya religius-kejawen Kuntowijoyo atau Danarto.
Saya juga tidak bisa membayangkan, atas nama pertobatan, teks-teks puisi multilingual Darmanto Jatman yang telah mengglobal harus dihunjamkan lagi ke rahim bahasa ibu.
"No!" kata Bilung.
"Nehik!," kata Bunga.
"Ogah!" teriak Ciprut.
Karena itu, kalau diberi kesempatan melakukan kloning bagi perkembangan manusia Jawa, justru manusia semacam Darmanto Jatman-lah yang akan saya gandakan sebanyak-banyaknya. Ia orang yang tidak pernah menangisi Jawa lampau. Ia justru menggunakan keterbatasan dan kekurangan Jawa untuk bergaul dengan dunia global yang memang meniupkan semangat multikulturalisme. Ia adalah penyair yang dalam "Main Cinta Model Kwang Wung" bilang, "siang-malam, musnahlah beda kalian, laut-darat, musnahlah beda kalian, laki-perempuan, musnahlah beda kalian...hal korean, half chinese hawaiian american maiden -satus persen wong lanang jawa yogya-indonesia, musnahlah beda kalian!"
Ya, kebangsaan, kejawaan, jelas hanya fiksi.
"Hanya komunitas yang dibayangkan (imagined community)," kata Benedict Anderson.
"Hanya sesuatu yang berada dalam tanda kutip," kata Franz Magnis Suseno.
"Hanya dunia yang hadir karena kutipan-kutipan. Hanya sesuatu yang dibangun oleh intertekstualitas," seru Julia Kristeva.
"Jadi, dekonstruksi saja. Hancurkan! Kontruksi kembali sesuai keinginan! Jangan percaya pada mitos leluhur!" teriak Derrida tak henti-henti.
Saya tak ingin menghilangkan suara-suara yang pasti akan dianggap ajakan setan untuk melakukan dosa kultural terhadap sastra -atau katakanlah kebudayaan- Jawa itu. Saya justru membiarkan segala "bisikan gaib" itu bertabrakan dengan identitas kejawaan kita yang kian kabur. Tabrakan, benturan, kecelakaan, dan pukulan-pukulan terhadap perilaku kejawaan kita yang pudar itu, justru saya harapkan melahirkan identitas kultural yang baru, identitas yang tidak menghamba kepada kejayaan masa lampau, ke-adiluhungan yang tidak pernah bisa dijangkau oleh anak-anak kandung kebudayaan masa kini.
"Karena itu, mari saya ajari kalian berdosa. Jangan pernah bertobat. Jangan kembali kepada sesuatu yang justru melumpuhkan. Pertobatan, kau tahu, tak pernah membebaskan. Ia akan cenderung melumpuhkan," kata saya dalam hati ketika saya rasakan para leluhur manusia Jawa memelototkan mata.
Itu berarti, sesungguhnya saya hanya hendak menyatakan, identitas sastra Jawa memang harus dipertanyakan ulang. Misalnya saja kita bisa bertanya: apakah sastra Jawa harus ditulis oleh orang Jawa dengan bahasa Jawa dan berisi kejawaan? Apakah ia bisa berupa identitas yang dikenakan secara longgar? Bisakah, misalnya, orang Australia yang menulis masalah-masalah Aborigin dengan bahasa Jawa dianggap telah menghasilkan sastra Jawa?
Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi jika kita bersepakat dengan Ki Suryomentaraman (mulur mungkret), James Baldwin, (mengenakan identitas secara longgar) atau Kristeva (menggugat identitas secara terus menerus), maka saya berani mengusulkan kemunculan "sastra Jawa gaul" sebagai ideologi baru penciptaan sastra Jawa. Gaul atau katakanlah mengglobal adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Gaul bukan semata-mata menggunakan bahasa anak-anak muda yang bisa dijinjing ke mal-mal, diungkapkan sebagai yel-yel dalam pertandingan basket, tetapi juga bersentuhan dengan kemasakinian: laptop, dugem, sex toys, dunia virtual, dan lain-lain.
Saya membayangkan dalam sastra Jawa yang gaul akan muncul teenlit atau chicklit berbahasa Jawa atau bernuansa kejawaan yang kental. Dalam teks mereka, tak lagi muncul lu gue yang sangat mbetawi, tetapi inyong, ingsun, aku, kowe, gedhe, banget, abot, pisan, dan idiom-idiom Jawa yang tak kalah unik.
Bagaimana menyosialisasikan teks-teks semacam itu? Tidak ada cara lain harus menggunakan "jembatan sosiologis" berupa media-media masa kini. Media masa kini itu bisa berupa koran berbahasa Indonesia atau Inggris (dalam perspektif kebahasaan), bisa berupa media televisi, internet, atau radio (dalam perspektif wahana siar). Jembatan semacam itu penting karena ia akan mengajak kita manusia Jawa dalam tanda kutip mengarungi hutan pemaknaan sastra Jawa yang juga berada di dalam tanda kutip. Jika tidak, akan ada jarak penafsiran yang menganga lebar sebab antara kejawaan dan keindonesiaan misalnya terbentang tabrakan tafsir yang luar biasa. Karena itu media massa semacam berbahasa Indonesia yang telah menerbitkan teks-teks sastra Jawa sesungguhnya telah memfungsikan dirinya sebagai jembatan tafsir. Sebuah jembatan yang sangat diperlukan ketika sebuah entitas kebudayaan tak mampu dengan tenaga sendiri menyeberangkan makna kepada komunitas yang sulit disentuh atau dijangkau lagi. Ini bukan pekerjaan gampang. Hanya dengan melakukan dosa kultural, kita akan menentukan kebermaknaan sastra Jawa yang kini terpuruk di kegelapan. []
Sumber: d'Gareng
nggalek.co
8 years ago
0 comments:
Post a Comment