Tuesday, May 18, 2010

KONGGRES BAHASA JAWA, RELEVANKAH?

Oleh W HARYANTO


Sebagai ‘bahasa yang memiliki jumlah pemakai yang terbesar’, ternyata bahasa Jawa tidak lebih dari souvenir abad 21—bahasa ini hanya ‘masa lampu’ dan tak punya masa depan yang kongkret. Inilah persepsi yang menumbuhkan euphoria tentang masa ‘kejatuhan’ Bahasa Jawa, kelak. Tetapi, indikator ‘kejatuhan’ tak tampak jelas—karena sesungguhnya, Bahasa Jawa terus tumbuh lewat pelbagai manifestasi. Bahasa ini berkembang (dan sekaligus) menuju sebuah komunikasi rasional, bukan lagi berkumbang bahasa ‘platonis’.


Ferry Salim dalam film Chau Bau Kan (novel Remy Sylado) melahirkan konstruksi ‘Jawa-Cina’ yang khas. Di tahun 1980an, Hilman dalam novel populernya ‘Lupus’ telah mengganti kata ‘tidak’ jadi kata ‘nggak’, dan seri populer ini mewabah menjadi pencitraan remaja Indonesia saat itu. Juga, dalam beberapa sequelnya sinetron SCTV, timbul gejala ‘pen-Jawa-an’ bahasa Indonesia lewat dialog dan karakter aktor-aktornya. Tentu cukup unik, ketika di tengah-tengah dialog muncul pengucapan begini, ‘ojo ngono tho, dhuk’ (tanpa adanya transliterasi) di saat bersamaan audiens Indonesia sedang dihanyutkan ke dalam tindak fiksi yang berbasis Bahasa Indonesia. JTV, dan sejumlah Radio berbahasa Jawa, masih intens memakai Bahasa Jawa sebagai komunikasi interaktifnya. Juga, Majalah Jaya Baya dan Panjebar Semangat melintasi beberapa dekade terus mendenyutkan Bahasa Jawa. Sementara, jauh di ranah yang primordial, misalnya pada malam-malam tertentu di area parkir Makam Bung Karno Blitar—muncul kelompok Campur Sari yang membangun siklus dengan berbagai generasi. Maka, sungguhlah naïf, euphoria tentang kejatuhan ‘Bahasa Jawa’.

Bahasa, bukanlah sebatas media komunikasi, ia juga psikologi massa yang mempengaruhi suatu komunitas mempersepsikan dirinya, mendefinisikan dirinya, mempolakan pelbagai relasi dalam ‘alam faktual’. Dan, lewat bahasa pula, manusia (atau sebuah komunitas) mendewasakan dirinya dari ‘bayi’ yang tak punya konstruksi bahasa yang komplet, menuju fragmentasi manusia yang konstruktif kebahasaannya. Bahasa (dalam konteks kedaerahan) adalah perekat, sekaligus memperkuat energi kulturnya di tengah dinamika budaya.

Sebuah ungkapan Jawa menyebut, “Jawa mati ketika orang Jawa kehilangan Ke-Jawa-an”. Konteks kehilangan ‘Ke-Jawa-an’ ini, adalah terputusnya proses kebahasaan dalam perkembangan perwatakan seorang Jawa. Memang, kondisi mutakhir dari kebudayaan kita, muncul, (i) Karakter anti-Jawa di kalangan orang Jawa. Aspek ke-Jawa-an yang termaktub dalam konstruksi filosofis bahasa Jawa, tidak tercerna lagi dalam perwatakan orang Jawa, misalnya, ‘huruf yang dipangku’ maknanya ‘mati’—makna filosofisnya, orang Jawa akan mati jika dipuji, diberi anugerah, diberi pengakuan. Tapi kenyataan dewasa ini, orang Jawa justru haus pengakuan, gila hormat(!)

(ii) Bahasa Jawa juga dipersepsikan sebagai alat kekuasaan dan penguasaan. Rezim Suharto memakai bahasa Jawa sebagai medium untuk menghantam ‘potensi perlawanan’ dalam bahasa Indonesia normatif (baca: kramanisasi bahasa). Fakta ini pun berlawanan dengan perwatakan Jawa.

Deformasi perwatakan Jawa ini, hampir tidak kita disadari. Bahkan, sebagian ‘orang Jawa’ cenderung ‘kurang-nJawa-ni’ ketika tenggelam dalam arus birokrasi. Maka, muncul fenomena, bahasa Jawa yang perlu di-Konggres-kan dan hanya menghasilkan beberapa kalimat rekomendasi yang bersifat ‘sloganistik’ yang tak mengakar dan tak menjawab tantangan zaman. Alih-alih, untuk pengembangan Bahasa Jawa —tetapi, dibalik itu muncul motivasi memperalat Bahasa Jawa untuk kepentingan temporer.

Kritik Tirto Suwondo dalam tulisan ‘Konggres Bahasa Jawa V’ (Jawa Pos, 21 Maret 2010) cukuplah faktual, antara lain, dengan menyebut ‘aktualisasi dan apresiasi aset budaya local sebagai ujud kearifan lokal belum tampak hasilnya’. Kritik ini, sesungguhnya adalah pertanyaan fundamental. Pertanyaan ini belumlah terjawab. Sejumlah fenomena aktual yang diajukan Tirto Suwondo, memang terjadi—katakanlah, hasil rekomendasi KBJ IV, bahkan tak terdengar gaungnya di Jawa Timur. Cukup aneh, karena Pemda Jawa Timur turut pula terlibat dalam KBJ IV di Semarang. Pertanyaan kita sekarang, masih relevankah Konggres Bahasa Jawa? Ketika hasil Konggres bahkan tidak diketahui, oleh seorang Jawa (baca: pengguna Bahasa Jawa) yang saban mengayuh becak di area Pemandian Sumber Udel Blitar.

Sebuah Konggres, apapun bentuknya, seyogyanya adalah ‘stimulan’ dari arah kebudayaan yang jelas dan terarah. Jika hasil Konggres tidak aplikatif, maka Konggres itu berawal dari “nol” menuju ke “nol”—semacam absurditas. Padahal, nasib kebudayaan ‘Jawa’ dipertaruhkan di ajang Konggres. Karena di sanalah, para pemikir budaya Jawa, birokrat, sastrawan Jawa, dan pecinta budaya Jawa—berkumpul, memformulasikan, dan membentuk program pengembangan. Maka, rekomendasinya harus ditindaklanjuti usai Konggres berakhir, dan dievaluasi sebelum Konggres berikutnya berlangsung. Di sinilah, dinamika budaya Jawa (secara khusus Bahasa Jawa) bisa terlihat.

Konggres Bahasa Jawa, pengertiannya sangat luas, tak cukup—hanya dipersepsikan sebagai pelembagaan Bahasa, tetapi juga menyangkut sejauhmana pelembagaan itu mengikat secara emosional dengan seluruh pengguna Bahasa Jawa. Karena, menyangkut pula penguatan identitas, pemberdayaan, juga pelbagai gagasan yang menjadikan Bahasa Jawa—bukan, sebatas Bahasa Teoritis yang dimensinya hanya tercapai oleh segelintir ahli, dan perajin Bahasa. Cukup ironis ketika siswa sekolah kita mengganggap Bahasa Jawa tidak lebih dari pelajaran hapalan, bukan materi kultural. Di sisi lain, guru-guru Bahasa Jawa tidak menguasai anthropologi dan filsafat Jawa, hingga makna bahasa direproduksi lewat acuan referensial—bukan modifikasi karakter dan kandungan filosofi Jawa. Alangkah lebih baik, jika Konggres ini memilih segmentasi persoalan yang lebih kongkret, dan katakanlah menjadi Konggres Guru Bahasa Jawa, Konggres Sastrawan Jawa, atau Konggres Macapat. Segmentasi inilah yang memungkinkan aspek pengembangan Bahasa Jawa tidak bersifat abstrak.

Sebagai bahan perbandingan, Bahasa Perancis memiliki tradisi tahunan bernama Francophonic, yang berlangsung di semua Negara pemakai Bahasa Perancis. Tradisi ini bukan berujud konggres, tetapi lebih ‘mirip’ Grebek Suro—semua masyarakat pengguna Bahasa Perancis membentuk ikatan emosional lewat kreasi, sastra, musik dan lainnya. Di sini pula, muncul pelbagai pengucapan—yang tak terlembagakan, sebuah kreol Perancis yang kaya warna. Maka, efek populisnya adalah tentulah menguatnya identitas Perancis di berbagai kawasan dunia (di ranah bekas Jajahan Perancis), di sisi lain, Bahasa Perancis jadi lebih dinamis.

Ada atau tidaknya Konggres Bahasa Jawa—sesungguhnya tidak berpengaruh terhadap Bahasa Jawa. Bahasa ini, lewat pelbagai perwujudannya, ternyata jauh melebihi persepsi ahli Bahasa Jawa. Sesungguhnya, bahasa ini telah menjawab tantangan zaman, lewat pelbagai medium, menjadikan Bahasa Jawa menjadi lebih kritis dan resisten terhadap gejala ‘kurang-nJawa-ni’ yang mulai menggerogoti masyarakat Jawa. Bahasa Jawa pun jadi lebih 'nylekit' (baca: menyakitkan) ketika dalang Ki Sunaryo menyindir perilaku korupsi pejabat-pejabat Negara.[]


W. Haryanto, eseis, Ketua Forum Alumni Unair Independent (FAUNA), penyunting sejumlah buku penyair-penyair muda Jawa Timur, antara lain, Permohonan Hijau (Festival Seni Surabaya, 2003), Antologi Penyair Jawa Timur (Festival Seni Surabaya, 2004), Kepada Mereka yang Katanya Dekat dengan Tuhan (Dewan Kesenian Jawa Timur, 2007), Pasar yang Terjadi Pada Malam Hari (Dewan Sastra Jawa Timur, 2008), dan dua buku penulis muda Jawa Timur lain yang sedang dipersiapkan untuk cetak, Penulis Muda Jawa Timur Bicara Sastra (esei), dan Konstruksi Bunyi dan Taman Benda-benda (puisi). Sekarang juga menjadi Komite Sastra Kabupaten Blitar.


Radar Surabaya, Minggu, 16 Mei 2010

0 comments: