Oleh: Sugeng Wiyadi
DJAJUS Pete rupanya sependapat dengan Budi Darma bahwa bukan kehidupan ini yang absurd, melainkan manusianya. Cobalah simak cerpen-cerpen berbahasa Jawa Djajus yang terhimpun dalam kumpulan Kreteg Emas Jurang Gupit (Yayasan Pinang Sirih & Dewan Kesenian Jawa Timur, Surabaya, 2001); absurditas manusia dalam berbagai bentuknya hadir sangat kental.
Buku setebal 92 halaman ini berisi 10 cerpen pilihan dari sekian banyak karya Djajus yang sebelumnya dipublikasikan melalui majalah berbahasa Jawa. Sepuluh cerpen itu adalah: Bedhug, Dasamuka, Kadurjanan, Kakus, Kreteg Emas Jurang Gupit, Pasar Rakyat, Petruk, Rajapati, Setan-Setan, dan Tikus dan Kucing Penyair. Cerpen-cerpen itu dapat dijadikan acuan bahwa sastra Jawa modern bukan cuma berisi kisah-kisah panglipur wuyung (pelipur lara), cengeng, dan kampungan. Sebagai orang Purwosari, Bojonegoro, Djajus memang banyak menggunakan latar pedesaan untuk cerpen-cerpennya, tetapi tak serta-merta membuat cerpen-cerpen itu ndesani atau kampungan.
Dengan simbol-simbol, Djajus sangat cerdik mengemas pesan moral dan bahkan kritik sosial secara rapi dan apik. Muryolelono dalam bukunya Taman Sastrawan (Jawa, pen) menilai bahwa kendati Djajus sehari-harinya bekerja sebagai guru, cerpen-cerpennya sangat jauh dari kesan menggurui.
Kreteg Emas Jurang Gupit yang dipakai sebagai judul buku ini diambil dari judul cerpen yang memang pantas dijadikan maskot. Sebuah jembatan emas akan dibangun untuk menghubungkan daerah barat sungai yang subur dengan daerah timur sungai yang tandus. Sesuai dengan namanya, jembatan yang pembangunannya hendak ditangani PT Pribumi itu akan dilapisi emas.
“Kanthi wontenipun kreteg ing sanginggiling lepen menika, sampeyan tamtu mikir…. wah seneng, bisa nyabrang ngulon. Ngaten sedherek? (Dengan adanya jembatan di atas sungai ini, kalian tentu akan berpikir, wah senang, dapat menyeberang ke barat. Begitukah saudara?”)
Itulah pertanyaan yang diajukan Pak Lurah kepada rakyatnya, di sela-sela pidatonya. Si rakyat mengiyakan, ternyata jalan pikiran Pak Lurah justru tidak demikian. Menurut Pak Lurah, daerah itu akan menjadi ramai karena akan banyak orang berbondong-bondong untuk menyaksikan keelokan jembatan berlapis emas itu. Menurut Pak Lurah, itulah yang akan membuat rakyat desa terlepas dari penderitaan, menuju hidup sejahtera turun-temurun.
Bukankah rencana pendirian jembatan emas itu absurd, serupa mimpi? Tambah absurd lagi, karena sebenarnya jembatan itu tak pernah terujud. Pasalnya, bahan-bahan yang sudah didatangkan, termasuk batangan besi berlapis emas itu, habis dicuri orang.
Cerpen Dasamuka berkisah tentang pertunjukan wayang kulit yang tidak sesuai dengan pakem atau pedoman pakeliran. Dasamuka yang menculik Shinta ternyata malah berjaya, berhasil mengalahkan Hanoman dan Prabu Rama. Penonton pun protes. Bahkan hampir saja terjadi keributan. Tetapi dengan apik Djajus –lewat Darma Dipa, tokoh masyarakat desa yang disegani— menyampaikan pesan moral dan sekaligus kritik sosial-nya. Mengapa kita marah menghadapi Dasamuka, tokoh imajiner yang melanggar pakem itu, sementara dalam kehidupan sehari-hari begitu banyak aturan dilanggar?
Kiranya tak berlebihan, jika edisi pertama Sekarjawi (majalah sastra Jawa yang akan diterbitkan Daniel Tito dan kawan-kawan) memuat tulisan dengan judul seperti ini, “Kreteg Emas Jurang Gupit, Calon Pemenang Rancage 2002.” Dengan KEJG-nya, Djajus Pete yang kelahiran Ngawi 1 Agustus 1948 yang mulai berkarya sejak tahun 1970 itu memang layak mendapatkannya.*
*) Sugeng Wiyadi, Dosen Jurusan Bahasa Jawa Unesa
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment