Berbuat baik dengan niat baik tak selalu gampang. Begitulah, kru Pojok Kampung (sebuah siaran berita berbahasa Jawa Subdialek Surabaya yang disiarkan JTV) harus memenuhi panggilan Komisi Penyiaran Daerah (KPID) Jawa Timur (Kamis, 27 Januari 2005) –walaupun yang secara resmi diundang hanyalah produser dan penulis naskahnya saja. Ketua KPID Jatim Dra Sirikit Syah MA mengatakan bahwa KPID Jatim menerima banyak keluhan pemirsa berkaitan dengan penggunaan bahasa ’Suroboyoan’, terurtama menyangkut pemilihan kata-kata yang dirasa kasar oleh para pengeluh itu, misalnya: matek (meninggal), mbidheg (pura-pura tidak mendengar/tahu), dan lebih-lebih kosakata ciptaan ’’Pojok Kampung’’ (selanjutnya disingkat PK): pistul gombyok (penis), dan empal brewok (vagina).
Masih menurut Sirikit, setelah mendapatkan sekian banyak keluhan dari masyarakat, KPID Jatim lalu mengundang beberapa orang pakar bahasa –tidak dirinci, siapa saja mereka. Lebih kurang, pakar bahasa itu menilai, ada persoalan kesantunan berbahasa yang ’dilanggar’ para awak PK. Sayangnya, KPID Jatim –pada pertemuan itu, yang sempat saya ikuti bersama dua orang teman dari Balai Bahasa Surabaya— tidak memberikan secara rinci, kosakata mana saja yang dianggap kasar selain yang telah saya sebut pada bagian awal tulisan ini, dan yang tak kalah pentingnya, kosakata mana yang direkomendasikan oleh para pakar bahasa itu untuk menggantikannya.
Penilaian kasar dan halus atas bahasa Jawa Subdialek Surabaya (selanjutnya disingkat BJSS) didasarkan hanya pada pernyataan sekelompok orang yang mengajukan komplain, baik melalui KPID Jatim maupun langsung ke JTV. Padahal, mengingat PK memiliki rating tertinggi di antara program siaran lainnya di JTV, berarti jauh lebih banyak jumlah orang Surabaya yang menyukai dan tidak mempersoalkan kekasaran bahasa PK. Dan lagi, siapakah para pengomplain itu? Benar-benar orang Surabayakah? Sebagai kota metropolis, Surabaya dihuni juga oleh banyak urban dari wilayah ’Mataraman’, dari buruh pabrik hingga pejabat, yang walau berpuluh tahun tinggal di Surabaya tetap saja hidup dengan pola pikir dan pola rasa ’Mataraman’.
Mereka yang telanjur memakai pola rasa ’Jawa Mataraman’ pasti akan menilai kata-kata seperti matek, ngencuk, dan mbidheg, sebagai kata-kata yang kasar. Asal tahu saja, pola rasa Mataraman itu tampaknya bukan hanya dimonopoli mereka yang berasal dari wilayah ’Mataraman’ (misal: Tulungagung, Pacitan, Ponorogo, Madiun, Trenggalek, Blitar). Bukan hal yang mustahil pola rasa ’Mataraman’ itu berkembang pada sebagian orang asli Surabaya, sebab Pelajaran Bahasa Jawa di sekolah-sekolah (dari SD hingga SMP) di Jawa Timur selama ini adalah seragam, adalah Bahasa Jawa ’Mataraman.’ Coba bayangkan, betapa ’tersiksanya’ anak-anak Pedhalungan (yang tinggal di Jember, Probolinggo, dan sekitarnya, misalnya) ketika harus belajar bahasa Jawa Mataraman, lengkap dengan ragam ngoko dan krama-nya? Itu bukan bahasa ibu mereka. Dan kalau dipaksakan disebut sebagai muatan lokal, lalu lokal yang mana? Adalah kejanggalan, jika kita menganggap yang interlokal sebagai lokal! (PT Telkom pun bisa bangkrut, jika penentu kebijakannya berpola pikir seperti itu!)
Tragisnya lagi, BJSS sejauh ini belum memiliki kamusnya sendiri (seperti saya tulis di koran ini beberapa waktu lalu), belum punya gramatikanya sendiri, dan bahkan belum memiliki tradisi tulis. Oleh karena itu, PK sebetulnya patut mendapatkan penghargaan sebagai semacam laboratorium pelestarian, dan bahkan pengembangan aset budaya yang bernama BJSS itu. Sing kebacut itu kan Pemkot-nya, atau siapa ya? Bahasa Osing (Bahasa Jawa Dialek Banyuwangi) sudah punya kamus, dan dalam waktu dekat (sekarang dalam proses penyusunan) akan disusul oleh Kamus Bahasa Madura.
Di arena Kongres Bahasa Jawa II (Malang, 1996) seorang penyair Jawa Poer Adhie Prawoto melontarkan guyonan begini: ’’Untuk apa sebenarnya kita meributkan anak-anak kita yang kita anggap tidak lagi kenal unggah-ungguh itu? Kita lupakan dululah soal kasar-halus itu, yang penting kita ajari mereka untuk jujur. Misalnya, jangan persoalkan mereka mengatakan: --Bapak turu atau sare, atau tilem, atau ngliker— (semuanya berarti: tidur) asal pada konteks itu si bapak benar-benar sedang tidur, bukannya mengajari si anak untuk berbohong, dengan mengatakan: --Bapak sare-- padahal kenyataannya kita hanya sedang tidak mau diganggu penelepon.
Dalam bahasa Indonesia, kita juga sering melakukan ’kebohongan’ dengan istilah: ’mengamankan’ untuk maksud ’menahan’ seseorang, ’studi banding’ untuk maksud ’piknik’. Ketidakjujuran kita, pada tahap tertentu, juga tecermin pada penghalusan-penghalusan dengan istilah-istilah seperti: golongan ekonomi lemah (miskin), negara berkembang (tertinggal), penyesuaian (naik) harga, dan naik (penyesuaian) gaji. Jika identitas budaya Surabaya yang egaliter dan suka berterus-terang hendak dipertahankan, tentu masyarakatnya harus pula berani menolak ’kebohongan-kebohongan’ seperti itu.
Yang paling konyol, pernah ada semacam kampanye untuk mengganti istilah wanita tunasusila (WTS) dengan ’wanita harapan’. Seandainya Pemerintah saat itu mau meminta pendapat pakar bahasa, tentulah kekonyolan seperti itu terhindarkan. Bentukan istilah itu (untungnya tidak memasyarakat) jelas-jelas mengacaukan pola Bahasa Indonesia, sebab ada bentukan-bentukan sejenis: tunas harapan (tunas atau generasi muda yang diharapkan), negeri impian (negeri yang diimpikan), dan seterusnya. Dengan merestui dan bahkan menganjurkan pemakaian istilah ’wanita harapan’, bukankah Pemerintah telah berpola pikir-rasa sebagai laki-laki pezina?
Ning Vestin, presenter PK yang ternyata adalah juga seorang dokter itu telah pula memberikan penjelasan sangat bagus, misalnya berkaitan dengan pemakaian kata ngencuk (bersenggama). Itulah kata yang hidup di tengah-tengah masyarakat Surabaya. Lalu, bagaimana orang tua akan menerangkan kepada anaknya yang masih kecil yang menanyakan arti kata ngencuk itu? Nah, apakah pertanyaan yang sama akan menjadi lebih gampang dijawab ketika kata ngencuk itu diganti bercinta, em-el (making love), bersenggama, lambangsari, campursari, saresmi, atau sacumbana?
Menurut salah seorang kreator di balik penciptaan kosakata khas JTV, Abdul Muis, PK telah beberapa kali mengganti istilah ngencuk itu, dengan: laki, kenthu, nggebleh, tetapi tetap saja ada yang mengomplain. Dan tak seorang pun di antara para pengomplain itu menawarkan solusi atau menyodorkan kata yang dianggapnya paling tepat. Mereka hanya menuntut agar berita PK tidak lagi menyebut kata-kata yang dianggapnya kasar itu. Lhadalah! Itu akan jadi korupsi juga, lho!
Kata atau istilah pistul gombyok segera mengingatkan saya kepada masa kecil dulu, di tengah masyarakat Jawa Mataraman, ketika itu saya sudah sangat akrab dengan cangkriman, ’’Miri gandhok mikul towok kuwi apa?’’ (Kemiri kembar memikul tombak, apakah itu?) Jawabannya adalah konthol. Kurang lebih ya pistul gombyok itulah! Penyebutan ’barang’ milik perempuan (dengan status kepemilikan hak guna pakai) yang dititipkan kepada laki-laki itu dengan istilah lain untuk maksud memperhalus sering justru ’mengacaukan’ bahasa. Misalnya diganti ’manuk’, maka suatu saat akan lahir kalimat, ’’Manuke Budi dicokot semut ndhuk pasar manuk. (Burung Budi digigit semut di pasar burung).
Maka, pakailah saja kata ngencuk, diencuk, sebab itu lebih terasa ’Suroboyo’-nya, yang artinya sama dengan laki, nglakeni, dilakeni, (Jawa Mataraman). Mau lebih halus, ya ngencukipun! Nah, justru ndhak karu-karuan! Bagaimana halnya dengan istilah digitik? Pengarang Kremil Suparto Brata pernah mengatakan bahwa laki-laki Surabaya susah dapat jodoh putri Solo. Pasalnya, begitu menghadap bakal calon mertua ia langsung mendapatkan pesan, ’’Iya ta, angger padha senenge. Mung wae, yen ana rembug dirembug, wong wadon kuwi ora kena dikasar, aja nganti digitik.’’ (Baiklah, asal suka sama suka. Hanya saja, jika ada masalah dibicarakan saja, perempuan itu tidak boleh dikasari, jangan dicambuk.’’ Gara-gara terlalu terburu-buru menelan mentah-mentah istilah digitik, laki-laki asal Surabaya itu memutuskan untuk tidak datang apel ke Solo lagi. ’’Lah yok opo? Mosok bojo kok gak entuk digitik!’’ sungutnya. ’’Kalau jadi perempuan tak mau digitik suami sendiri, ya biar digitik ninja, tak iye!’’ timpal kawannya.
Perdebatan soal bahasa kasar dan bahasa halus berkaitan dengan pemakaian kata (dengan pengertian yang sejujur-jujurnya) pada akhirnya terasa tak kurang dan tak lebih sebagai perdebatan soal kilafiah saja. Asal tahu saja, ada persoalan yang lebih ’gawat’ menyangkut pemakaian bahasa, bahkan bahasa Indonesia, yakni yang berkaitan dengan pola kalimat atau struktur, atau tatabahasa. Dari dulu hingga kini, kita selalu saja masih dapat menemukan (terutama sekitar tanggal 17 Agustus) spanduk bertuliskan, misalnya, ’’Dirgahayu Republik Indonesia ke-59’’ padahal para pakar bahasa sudah menyarankan bahwa seyogyanya begini: ’’Dirgahayu Indonesia’’ atau, ’’Dirgahayu Indonesiaku’’, atau, ’’Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-59.’’
Jangan lupa, itu pemakaian bahasa Indonesia yang sudah distandarisasi, yang notabene sudah punya kamus besar dan tatabahasanya sendiri. Tetapi, masih juga ada yang lebih fatal lagi, benar secara struktur, tetapi salah total secara logika. Ingatkah Anda dengan spanduk dengan tulisan begini, ’’Udara bersih berawal dari kendaraan Anda.’’ (?) Bagaimana Anda akan menjelaskannya kepada putra-putri Anda yang masih polos?
Begitulah. Pepatah bilang, ’’Bahasa menunjukkan bangsa. Jadi, kalau bahasanya pun sudah banyak di-korup dan banyak pula bohongnya, maka … selanjutnya terserah Anda! (Bonari Nabonenar)
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment