Jagad Sastra Jawa bertubi-tubi dirundung duka, dengan meninggalnya para tokoh/sastrawannya. Dalam beberapa tahun belakangan, sejak kematian Bene Sugiharto, penggurit asal Ngawi yang menetap di Surabaya, Sastra Jawa harus kehilangan pula Suripan Sadihutomo (Surabaya), Poer Adi Prawoto (Solo), Muryalelana (Ungaran), Yes Ismie Suryaatmaja (Blora), dan terakhir Esmiet (Banyuwangi) yang meninggal pada Senin, 4 Agustus 2003. Mereka adalah ikon-ikon Sastra Jawa.
Dengan meninggalnya Esmiet yang beberapa tahun belakangan memang telah menderita diabet dan stroke, praktis Sanggar Parikuning yang dipimpinnya pun ikut “meninggal”, termasuk gagasannya untuk menerbitkan sebuah majalah dengan tiga bahasa: Inggris, Belanda, Jawa. Sekarang akan sangat sulit, kalau tidak boleh dibilang mustahil, menemukan sosok yang memiliki vitalitas sedemikian hebat plus kegilaan terhadap sastra dan budaya Jawa semacam Esmiet. Kalau soal vitalitas, Suparto Brata-lah (yang juga sangat produktif mengarang dengan bahasa Indonesia) “jago”-nya Sastra Jawa. Tetapi dalam hal kegilaan, hanya Esmiet!
Oleh karenanya, tampaknya “pesta” ulang tahun ke –26 Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) yang akan dimeriahkan dengan sarasehan tentang Sastra Pedalangan dan “pembacaan” crita cekak (cerpen) yang belum sempat ditulis oleh pengarang nyentrik Djayus Pete (akan digelar di Deteksi Room, Grahapena Lt 3, Kamis, 14 Agustus 2003, pukul 12.00) nanti tampaknya belum cukup untuk menghapus kesedihan Sastra Jawa, yang semakin terpinggirkan, semakin “dibuang” dari sekolah, dan makin jauh dari masyarakatnya sendiri itu. Tulisan-tulisan tentang bahasa dan sastra Jawa hampir selalu bernuansa sedih. Banyak orang yang dengan lisan atau tulisan berteriak-teriak mencemooh pihak yang meratapi nasib Sastra Jawa, pada akhirnya justru ikut-ikutan menangis. Ah!
Jangan menangis. Bukankah kini sedang ramai-ramainya atau sedang hangat-hangatnya kesadaran atas pentingnya penghargaan terhadap nilai-nilai lokal, yang antara lain kemudian tecermin pada kebijaksanaan otonomi daerah? Orang sadar bahwa persatuan Indonesia bukannya makin kokoh deangan penyeragaman, satu warna satu rasa (bahkan sepatu pun dulu pernah mau diseragamkan, sehingga ada sepatu nasional (untuk anak-anak sekolah).
Maka, ada rasa baru yang secara politis, kultural, dan strategis sangat berfaedah ketika televisi lokal baru (Televisi Bali dan kemudian disusul JTV) menayangkan siaran berita dengan bahasa setempat, Televisi Bali dengan bahasa Bali, JTV dengan bahasa Jawa Surabaya-an. Kebijakasanaan menggunakan bahasa lokal untuk siaran lokal itu patut kita sambut dengan gembira.
Bukan karena romantisme kedaerahan atau fanatisme kesukuan atau apa, tetapi siaran-siaran lokal di radio maupun televisi yang menggunakan bahasa lokal, dengan muatan budaya lokal akan menghindarkan masyarakat dari penyeragaman-penyeragaman yang ternyata justru sering tidak menguntungkan itu.
Salah satu konsekuensi dari globalisasi dan pasar bebas adalah dominasi kekuatan industri. Dengan kekuatanya yang mahadahsyat, industri telah menggiring masyarakat ke dalam perilaku konsumtif, dan bahkan hedonis. Industri telah sedemikian memanjakan masyarakat, tetapi sekaligus juga mengeringkan jiwa. Orang-orang pun bibikin mabuk, memuja materi, sampai mampus! Mungkin juga bukan salah siapa kalau anak-anak sekolah menengah di Pacitan atau Trenggalek tiba-tiba cas-cis-cus berbahasa Betawi, karena pengaruh sinetron atau pikiran bahwa untuk disebut anak gaul harus menggunakan bahasa Betawi atau bahasa Jakarte, bahwa bahasa Betawi atau bahasa Jakarte lebih “berwibawe”, lebih bergengsi! Maka, bisa ditebak, secara kultur akan jadi apa mereka kelak. Ya, jadi manusia setengah jadi. Jadi manusia Jawa tidak, Betawi juga kurang, jadi manusia Indonesia juga tidak jelas, lha wong bahasa Indonesia-nya saja tak karuan pola gramatikalnya.
Tetangga saya di Trenggalek mengaku menyukai siaran berita lokal yang disiarkan JTV dengan bahasa Surabaya-an, yang bisa ditangkap di Trenggalek dengan antena yang telah diperkuat daya terimanya. Padahal, sehari-harinya tetangga saya itu tidak menggunakan bahasa Jawa Surabaya-an (bahasa Jawa dialek Surabaya) melainkan menggunakan bahasa Jawa Mataraman, yang lebih dekat dengan bahasa Jawa gagrag Surakarta atau Jogjakarta. Itu salah satu bukti bahwa bahasa Surabayaan terasa lebih dekat di hati mereka daripada bahasa Indonesia, dan/atau siaran berbahasa Jawa Surabayaan itu dirasakan sebagai selingan yang menarik. Setidaknya, ini bisa jadi pelajaran bagi daerah-daerah yang akan membangun atau selama ini sudah memiliki stasiun televisi sendiri, untuk mengakomodasi budaya lokal, termasuk bahasanya.
Dalam kasus siaran berita berbahasa Jawa Surabaya-an, pada tahap awal memang tampak ada hambatan teknis. Persoalan timbul karena selama ini bahasa Jawa dialek Surabaya tidak memiliki tradisi tulis yang baik. Ada rubrik Surabaya-an di majalah berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya (Jaya Baya dan Panjebar Semangat), tetapi dua majalah dengan oplah “sedikit” itu lebih banyak dibaca justru oleh masyarakat di luar Surabaya. Karena tidak memiliki tradisi tulis yang baik itu, masyarakat Surabaya (lebih khusus lagi presenter dan pembaca berita berbahasa Surabaya-an di JTV) tampak masih sering nunak-nunuk (baca: meraba-raba) ketika harus berhadapan dengan kode aksara atau tulisan bahasa Jawa Surabaya-an. Secara fisik/material pembaca tidak mengetahui bawa presenter/pembaca berita itu membaca teks. Tetapi sangat terasa bahwa mereka cukup “menderita” karena sering tersandung-sandung di sepanjang teks (bahasa tulis) yang dihadapinya. Saya tidak tahu bagaimana redaksi menuliskan kata bake trek untuk materi siaran berita dengan bahasa Jawa Surabaya-an itu, apakah, “bake trek” atau “ba¢e truk, atau “bak-e trek” yang semuanya potensial disalahbacakan. Penderitaan presenter atau pembaca berita berbahasa Jawa Surabayaan itu juga mengakibatkan lagu kalimat-kalimat bahasa Jawa Surabaya-an itu hampir tak berbeda dengan lagu kalimat bahasa Indonesia. Tetapi yakinlah, ganjalan-ganjalan teknis itu tak akan berlangsung lama. Seperti ilmu orang belajar naik sepeda, kalau sudah lancar akan terasa enaknya, berbeda dengan ilmu pengantin: makin lancar makin tidak enak!*
Jawa Pos, Minggu, 10 Agustus 2003
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment