Di tengah-tengah usaha memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Indonesia), di dalam arus deras globalisasi, kita memang harus semakin berhati-hati membicarakan tema etnis. Berbicara tentang etnis Jawa, misalnya tentang bahasa Jawa, rawan tergelincir ke dalam semangat etnosentris, kedaerahaan, sukuisme, yang gampang menarik tuduhan: menghambat upaya pengembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Teriakan-teriakan yang berupa usulan hingga yang terasa sebagai tuntutan agar bahasa Jawa mendapatkan porsi yang memadai sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah (di wilayah Jawa) dari tingkat SD hingga SMP, bahkan tingkat SMA, tak kunjung reda. Terakhir, teriakan-teriakan seperti itu muncul di dalam sarasehan yang dihadiri para guru SMP se-Kabupaten Bojonegoro dan para pengarang sastra Jawa dari berbagai wilayah di Jawa (Taman Wisata Dander, Bojonegoro, 28 – 29 Agustus 2004). Seperti biasanya, para ’’penuntut’’ itu pun puas ketika ada pejabat yang memberikan harapan dengan kata-kata, ’’Akan mengupayakan agar pelajaran bahasa Jawa mendapat kesempatan yang layak di sekolah-sekolah,’’ dan kemudiaan kembali merasa nelangsa, kecewa, dan bahkan ngigit-igit ketika apa yang mereka harapkan tak kunjung jadi kenyataan.
Tetapi, orang-orang yang merasa prihatin dengan nasib bahasa dan kebudayaan Jawa tak juga bosan bermimpi. Ibarat orang yang hidupnya ’’kesrakat’’, mimpi mereka pun sering aneh-aneh. Lewat sebuah artikelnya yang pernah dimuat harian Jawa Pos, pengarang Suparto Brata mengusulkan agar televisi lokal yang bermunculan di Jawa menyulihsuarakan tayangan sinetron maupun film asing seperti Betty La Fea dengan bahasa Jawa. Bukan hal yang mustahil, walaupun tantangannya tentu akan sangat berat. Persoalan pertama yang harus dihadapi adalah bahwa bahasa Jawa memlikiki sekian banyak dialek dan bahkan subdialek. Televisi lokal seperti JTV yang jangkauan primernya adalah wilayah Jawa Timur, misalnya, harus berhadapan dengan masyarakat pemakai sekian banyak dialek/subdialek bahasa Jawa. Ada dialek Using (walau orang Banyuwangi sendiri menganggapnya sebagai bahasa tersendiri), ada dialek Jawa Timur yang terbagi menjadi beberapa subdialek: Malang, Surabaya, dan sebagainya. Seandainya JTV hendak menyulihsuarakan sinetron dengan bahasa Jawa, maka bahasa Jawa dialek mana yang hendak dipakai?
Persoalan banyaknya dialek/subdialek bahasa Jawa itu juga menimbulkan persoalan di sekolah yang hendak mengajarkannya. Sekarang ini yang diajarkan di sekolah-sekolah di Jawa Timur adalah bahasa Jawa ’’Mataraman’’ atau ragam bahasa Jawa seperti yang dipakai masyarakat Solo – Jogja. Bisa dibayangkan betapa susahnya mengajarkan bahasa Jawa ’’Mataraman’’ itu kepada anak-anak yang bahasa ibu mereka adalah bahasa Jawa subdialek Surabaya atau bahkan bahasa Padalungan (paduan Jawa-Madura) seperti yang berlaku di wilayah Jember, Probolinggo, Pasuruan. Jika mau adil, setiap wilayah dialek/subdialek itu harus membuat ’’kurikulum’’ bahasa daerahnya masing-masing.
Ada lagi pendapat bahwa bahasa Jawa itu tidak perlu dilindungi. Ia bukan satwa langka, karena jumlah penduduk Jawa hampir seratus juta jiwa. Selain itu, siapakah yang mampu mengamban tugas semulia dan seberat itu? Sebagai pelindung? Apakah ia seorang dewa? Atau sebuah lembaga yang tidak bisa kita bayangkan bagaimana bentuknya? Yang seharusnya dilakukan bukanlah mengayomi atau melindungi, tetapi membiarkannya tumbuh dan berkembang secara alamiah. (Pertanyaan: Dapatkah mengalokasikan waktu untuk pembelajaran bahasa daerah di sekolah itu dipandang sebagai hal yang alamiah?).
Menanamkan kecintaan terhadap bahasa daerah sendiri bukanlah upaya untuk mengurangi kecintaan terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Mencintai bahasa daerah sendiri dengan menggunakannya secara baik pada saatnya, adalah bukti kesadaran akan jatidiri, adalah upaya untuk meningkatkan kualitas diri, dan pada akhirnya meningkatkan pula penghargaan terhadap etnis dan budaya lain. Susah dibayangkan, bagaimana orang bisa menghormati etnis dan budaya lain jika ia tidak memahami dengan baik dan apalagi menghormati budayanya sendiri.
Kecintaan terhadap bahasa daerah (Jawa) seyogyanya juga tak perlu dibuktikan dengan tindakan aneh-aneh seperti menyulihsuarakan sinetron Betty La Fea dengan bahasa Jawa. Niat untuk mempopulerkan bahasa Jawa itu bisa saja suatu saat justru akan menghancurkan citra bahasa Jawa sendiri. Banyak perilaku dalam film dan sinetron asing (Barat) itu yang tidak sesuai dengan sopan-santun Jawa, dan oleh karenanya akan jadi lucu, misalnya, ketika orang mengatakan, ’’Maturnuwun,’’ sambil menerima pemberian dengan tangan kiri.
Pada akhirnya, biarlah bahasa Jawa dipakai orang Jawa, tidak perlu menyaingi bahasa Indonesia, tidak perlu menjadi bahasa internasional. Justru dengan begitu orang Jawa bisa berbangga dengan ke-jawaan-nya. Kalau semua orang berbahasa Jawa, tidak ada lagi istimewanya orang Jawa, seperti dikatakan salah seorang sahabat saya yang sudah mendatangi hampir semua pelosok bumi, ’’Suatu saat Amerika pun merasa gerah ketika mendapati kita telah jadi lebih Amerika daripada mereka sendiri.’’ (bonari nabonenar)
Pernah dimuat Jawa Pos
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment