Suparto Brata, Sastrawan Peraih SEA Write Award dari Kerajaan Thailand
Sastrawan Suparto Brata kembali meraih prestasi membanggakan. Dia mendapatkan SEA (South East Asia) Write Award 2007 yang diserahkan pada 12 Oktober di Bangkok, Thailand.
DINARSA KURNIAWAN
Mungkin bagi orang yang kurang memperhatikan karya sastra, nama Suparto Brata hanyalah angin lalu. Tapi, bagi para pencinta sastra, terutama sastra Jawa, pria kelahiran Surabaya, 23 Februari 1932 itu adalah salah seorang sastrawan yang layak ditempatkan di garda paling depan.
Ya, nama Suparto Brata kembali mengukir prestasi Indonesia di bidang tulis-menulis di dunia internasional. Tak sembarang sastrawan mampu meraih prestasi tersebut. Hanya sastrawan-sastrawan yang punya dedikasi dan integritas tinggi terhadap karya yang layak mendapatkan penghargaan dari SEA Write Organising Committee yang dipimpin Sukhumbhand Paribatra dari Thailand. Tahun lalu penghargaan itu diberikan kepada penyair Indonesia Sitor Situmorang.
Suparto tidak menyangka akan mendapatkan penghargaan tertinggi bagi sastrawan di Asia Tenggara itu. “Beberapa bulan lalu, saya diberi tahu Pak Prih Suharto dari Pusat Bahasa di Jakaera bahwa saya dinominasikan sebagai penerima penghargaan ini,” ujarnya beberapa saat sebelum terbang ke Bangkok Minggu lalu (7/10). “Terus terang saya terkejut. Wong, penghargaan tingkat nasional saja saya belum pernah dapat, ini langsung meraih penghargaan tingkat Asia Tenggara,” tambahnya.
Suparto mengungkapkan, tahun ini awalnya ada tiga nama penulis Indonesia yang masuk unggulan. Namun, setelah diseleksi Pusat Bahasa, Suparto-lah yang terpilih sebagai penerima award dari Indonesia. “Saya tidak hafal peraih award dari negara lain,” ujar penulis novel Kremil itu.
Untuk tahun ini, penghargaan yang dilangsungkan sejak 1979 itu akan diterimakan di Royal Ballroom Oriental Hotel, Bangkok, Jumat (12/10). Suparto sudah berangkat ke Thailand Minggu (7/10) didampingi putranya, Tenno Singgalang Brata. Penghargaan akan diserahkan Sirivannavari Nariratana, putri raja. Biasanya, upacara itu juga dihadiri para kerabat Kerajaan Thailand karena memang penghargaan tersebut digagas Kerajaan Thailand.
Meski usianya sudah 75 tahun, Suparto dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Dia juga sangat peduli dengan pengembangan bahasa Jawa. Jadi, selain dalam bahasa Indonesia, bapak empat anak itu menulis karya sastranya dalam bahasa Jawa. Wajarlah kalau dia cukup dikenal sebagai sastrawan Jawa. Bahkan, berkat ketekunan dan dedikasinya terhadap bahasa Jawa, Suparto pernah mendapat penghargaan Rancage, penghargaan tahunan untuk sastrawan Sunda, Jawa, dan Bali, yang diberikan lembaga pimpinan sastrawan Ajip Rosyidi.
Salah satu karya monumental Suparto adalah trilogi novel Gadis Tangsi, Kerajaan Raminem, serta Mentari di Ufuk Timur Indonesia. Trilogi tersebut mengisahkan perjalanan hidup tokoh Teti dan Raminem yang mengambil setting pada masa pendudukan tentara Dai Nippon di Nusantara. Beberapa karya lain, Aurora, Dom Sumurup ing Banyu, Saksi Mata, dan Kremil.
Sastrawan yang tergabung dalam Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu juga menulis buku berjudul Suparto Brata’s Omnibus. Buku itu berisi tiga novel berbahasa Jawa, yakni Astirin Mbalela, Clemang-Clemong, dan Bekasi Remeng-Remeng, plus esai tentang ketiga novel itu oleh Darni Ragil Suparlan, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Sastra, Unesa.
Terbitnya buku tersebut sekaligus menjadi alat untuk menduniakan bahasa Jawa seperti yang menjadi obsesinya. “Saya meniru format konsepnya seperti di Amerika dan saya akan menjualnya di luar negeri untuk mempromosikan bahasa Jawa,” tegas sastrawan yang pernah diundang secara khusus oleh Konsulat Jenderal Amerika di Surabaya, setelah mengusulkan alih bahasa Jawa untuk telenovela-telenovela dari Amerika Latin yang dulu banyak diputar di TV-TV Indonesia itu.
Suparto merasa prihatin dengan perkembangan bahasa Jawa yang semakin ditinggalkan penggunanya. “Wah, pokoke ciloko. Basa Jawa wis ora dianggep maneh karo wong Jawa dewe (Wah, pokoknya celaka. Bahasa Jawa sudah tidak diperhatikan lagi oleh orang Jawa sendiri, Red),” ujar pensiunan pegawai Pemkot Surabaya itu.
Menurut Suparto, sebagian masyarakat sekarang menganggap bahasa Jawa sudah ketinggalan zaman. “Orang menilai bahasa Jawa itu ndeso,” cetus pengarah yang tinggal di daerah Rungkut Asri tersebut.
Padahal, kata dia, banyak orang asing, terutama dari Eropa, yang berkeinginan mempelajari bahasa Jawa. Orang asing itu mempelajari, lantas menuliskannya sebagai ilmu pengetahuan di negaranya. “Orang-orang kita, jangankan menulis, wong membaca saja males,” tuturnya.
Selain menulis buku sastra, Suparto produktif menorehkan ide-idenya dalam cerita untuk anak-anak dan cerita rakyat Jatim. Buku-buku itu terinspirasi dari cerita-cerita kepahlawanan seperti pertempuran 10 November 1945, Monumen Mayangkara, dan cerita-cerita rakyat Jawa Timur. Produktivitasnya tak perlu diragukan. Sepanjang 2007 ini saja, Suparto melahirkan 12 buku cerita anak dan cerita rakyat Jawa Timur.
Jauh sebelum karya-karya itu lahir dari buah pikirannya, Suparto menjalani masa kecilnya dengan tidak mudah. Pada 1950, alumnus SMPN 2 Surabaya tersebut sempat menjadi loper koran Jawa Pos. “Waktu itu saya memang harus bekerja untuk membiayai sekolah. Kalau tidak, saya tidak akan bisa lulus SMP,” kenangnya.
Pada tahun itu pula, dia mulai menulis. Awalnya hanya cerita-cerita pendek, namun kemudian berkembang menjadi novel.
Hubungan penulis buku Donyane Wong Culika itu dengan dunia tulis-menulis semakin intim dari tahun ke tahun. Salah satu di antaranya adalah keputusannya menjadi penulis lepas untuk sejumlah media, seperti Surabaya Post dan Jawa Pos. “Sejujurnya, Jawa Pos selalu mengawal perjalanan hidup saya. Pernah jadi lopernya, menulis di sana juga pernah, sampai sekarang diwawancarai sama Jawa Pos,” selorohnya lalu tertawa.
Karya pertamanya dimuat di majalah Garuda pada 25 Oktober 1953 dengan cerpen Miss Rika di Angkasa. Petualangannya sebagai sastrawan Jawa berawal dari tulisan-tulisannya di majalah Panjebar Semangat. Majalah berbahasa Jawa itu juga memberinya anugerah saat sayembara penulisan cerita bersambung pada 1959. Cerita bersambung karya Suparto dikonversi dalam bentuk novel dengan tajuk Lara Lapane Kaum Republik. Novel tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Suparto menjadi Kaum Republik. Uniknya, sebelum terkenal seperti sekarang, Suparto kerap menggunakan nama samaran, seperti Eling Jatmiko dan Peni.
Meski sangat mencintai dunianya sebagai penulis, sejak dulu Suparto memiliki pekerjaan tetap. Tercatat, dia pernah bekerja di Kantor Dagang Negara Jaya Bhakti. Tapi, kemudian dia mengundurkan diri karena tidak senang dengan “pemaksaan” untuk masuk menjadi anggota Golkar.
“Waktu Orde Baru, semua pegawai di Jaya Bhakti diharuskan mencoblos Golkar. Tapi, karena saya tidak mau mengikuti perintah itu, saya keluar. Saya tidak mau terlibat di politik,” bebernya.
Lalu dia bekerja di Kantor Pos Besar Kebon Rojo dan akhirnya pensiun sebagai PNS di lingkungan Pemkot Surabaya.
Untuk mengisi hari-hari tuanya, dia tidak mau hanya berdiam diri. Sejak pagi buta dia bangun dan melakukan aktivitas rutinnya, yakni membaca buku. Lantas, pukul 07.00, aktivitas membaca diganti dengan kesibukan menulis yang berlangsung hingga menjelang magrib. “Membaca dan menulis sudah menyatu dengan darah saya,” tandas pengarang besar yang ke mana-mana senang naik angkutan untuk mendapatkan ide tulisan itu. (*)
Jawa Pos, Rabu, 10 Okt 2007
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment