Dari Sarasehan Hari Berbahasa Jawa di Sekolah-Sekolah
SURABAYA - Semangat melestarikan bahasa Jawa melalui penerapan Java Day di sekolah terus digelorakan. Kemarin (28/1). Dinas Pendidikan (Dispendik) Surabaya melaksanakan sarasehan bertema Komunikasi dengan Bahasa Jawa di Lingkungan Sekolah sebagai Upaya Melestarikan Budaya Adiluhung Bangsa.
Saresahan yang dilaksanakan di SMA Petra 1 itu diikuti sekitar 800 kepala SD, SMP, SMA, dan SMK negeri/swasta se-Surabaya. Hadir sebagai pembicara, Prof Setyo Juwono dari Fakultas Sastra dan Seni Unesa, Suko Widodo (direktur Pusat Penelitian dan Komunikasi Unair), dan Suparto Broto dari majalah Penjebar Semangat.
Sejak awal, acara sarasehan itu berlangsung cair dan diwarnai ger-geran. "Sugeng rawuh para ndase sekolah (selamat datang para kepala sekolah, Red)" kata Cak Pendik, pembawa acara, mengawali pembicaraan. Pernyataan pelawak itu pun disambut tawa peserta yang hadir.
Karena dianggap ngawur, lontaran Cak Pendik itu pun diprotes rekannya, Cak Supali, yang juga bertindak sebagai pembawa acara. "Ingkang leres niku, sugeng rawuh para muspika wiyata (selamat datang para kepala sekolah, Red)," kata Cak Supali membenarkan.
Sambutan Kepala Dispendik Sahudi juga sempat mengundang tawa. Beberapa kali dia mengungkapkan bahasa Jawa yang gado-gado (campuran, Red). "Ingkang kula hormati bapak-ibu ingkang rawuh ten parasehan ini," ujarnya. Tentu saja, yang dimaksud parasehan adalah sarasehan ini.
Menurut Sahudi, penerapan hari berbahasa Jawa di sekolah-sekolah sejatinya bukan persoalan instruksi. Dia menyatakan, instruksi tersebut lebih diilhami untuk mengingatkan generasi saat ini agar memiliki tanggung jawab melestarikan bahasa daerah.
Selain itu, sebagai follow-up Kongres Bahasa Jawa 2006 yang dilaksanakan di Semarang. "Setelah sekian lama, kami baru bisa menerapkan. Ini setelah ada pembicaraan dengan pak wali kota," ungkapnya.
Dia mengungkapkan, salah satu tujuan pendidikan adalah tranformasi kebudayaan. Yakni, melestarikan bahasa daerah sebagai kebudayaan yang ada. "Ketika nilai-nilai budaya tak bisa dipertahankan, itu menjadi kesalahan pakar pendidikan," tegasnya.
Sementara itu, menurut Juwono, sekarang terjadi banyak paradoks. Dia mencontohkan, sangat jarang ada orang yang mau mengikuti seminar berbahasa Jawa. "Ironisnya, karena jarang, jika ingin ikut kegiatan itu, kita harus ke Jogjakarta atau Leiden, Belanda. Bahkan, perpustakaan bahasa Jawa terlengkap itu ada di Lampung," ujarnya.
Kunjungan Kabaret Does dari Suriname dan rombongannya beberapa waktu lalu, kata dia, seharusnya memberikan pelajaran bagi masyarakat Surabaya. Yakni, Kabaret Dos dan rombongan yang berasal dari negeri seberang saja bisa berbahasa Jawa dengan baik.
Yuwono menyatakan, semua berawal dari tekad. Di ITB, misalnya, banyak yang menggunakan bahasa Sunda. Toh, dalam tempo setahun, banyak warga dari daerah lain yang juga bisa berbahasa itu. Yang penting, kata dia, Dispendik harus mampu mengarahkan supaya hari berbahasa Jawa bisa diterapkan dengan niat dan hati yang senang. Soal siap atau tidak siap, itu masalah kebiasaan. "Jadi, bukan hanya sekolah yang mendorong, tapi juga termasuk keluarga serta masyarakat," tegasnya.
Suko Widodo menjelaskan, masyarakat metropolis merupakan masyarakat yang heterogen. Terdiri atas para urban dan orang asli Surabaya. Di tengah heterogenitas itu, butuh alat komunikasi yang cepat, sebuah bahasa yang egaliter. "Bahasa Jawa mengalami kesulitan dalam mencapai strata itu. Sebaliknya, bahasa Indonesia mampu menghegemoni sebagai alat komunikasi," ujarnya.
Namun, kata dia, mempertahankan bahasa Jawa sangatlah penting. Sebab, menurut catatan UNESCO, setiap tahun ada sepuluh bahasa daerah yang punah. "Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang terancam," katanya.
Karena itu, dia menyarankan agar di sekolah-sekolah dibentuk kelompok guru yang nanti bisa menyusun pelajaran bahasa Jawa. Pelajaran tersebut disesuaikan karakteristik masyarakat Suroboyo-an. "Selama ini kan banyak sekolah yang memakai buku dari Solo semua," jelasnya. (kit/hud)
0 comments:
Post a Comment