Thursday, February 28, 2008

Mesti Ada Hadiah Sastra Jawa

Menyongsong Kongres III Bahasa Jawa (Yogyakarta, Juli 2001)


Seperti dinyatakan Bonari Nabonenar dalam tulisannya yang dimuat di Jawa Pos edisi Minggu, 26 Desember 2000, Menyongsong Kongres III Bahasa Jawa (Yogyakarta, Juli 2001) Menggiring Bahasa Jawa ke Museum?-- tradisi 5 tahunan itu rasanya memang terlalu boros untuk ukuran bahasa Jawa. Saya segera teringat Pak Dhe saya di desa, yang ngotot memeriahkan pernikahan Tiwuk dengan wayangan dan tayuban sepekan suntuk. Begitu pesta usai, pasangan pengantin yang masih sama-sama berstatus pengangguran itu hanya bisa tolah-toleh. Aset yang mestinya bisa mereka gunakan untuk membuka usaha malah amblas ditelan pesta.


“Kongres Bahasa Jawa hendaknya dilaksanakan secara sederhana. Baik dalam hal biaya maupun tema. Soalnya, persoalan-persoalan bahasa Jawa pada dasarnya juga sangat sederhana. Ibarat manusia, masih harus sibuk dengan persoalan lapar dan dahaga. Sibuk urusan perut! Karenanya, jangan berbicara ndakik-ndakik atau muluk-muluk. Bicaralah yang simpel-simpel saja, yang langsung menyentuh persoalan mendasar bahasa Jawa.” Demikian tulis Bonari Nabonenar. Saya kira itu memang benar.

Dan urusan perut bahasa Jawa itu, antara lain adalah sangat lemahnya tradisi kritik dalam sastera Jawa. Kesusasteraan tanpa kritik, tentu tidak sehat. Dan sastera Jawa sekarang ini, memang tidak, atau, sekurang-kurangnya kurang sehat. Karena itu banyak yang kagum ketika beberapa waktu lalu Widodo Basuki dan Djayus Pete –masing-masing penyair dan cerpenis Jawa—membacakan puisi dan cerpen mereka di TMII. Kekaguman itu timbul karena dalam sastra Jawa yang kurang sehat itu masih bisa lahir puisi-puisi Widodo Basuki dan cerpen-cerpen Djayus Pete yang secara kualitas bisa disejajarkan dengan puisi-puisi dan cerpen-cerpen berkualitas dalam sastera Indonesia. Jadi, kita masih boleh memimpikan lahirnya karya-karya yang lebih hebat lagi dalam kasanah sastera Jawa, seandainya kehidupan sasetra Jawa dibangun dengan tradisi yang sehat.

Rancage

Pemberian hadiah kepada pengarang berprestasi –yang boleh dianggap sebagai salah satu ujud kritik-- juga berjalan tersendat-sendat. Memang ada hadiah Rancage yang diberikan tiap tahun. Tetapi itu hanya merupakan “belas kasihan” Sastera Sunda, mungkin, dalam hal ini adalah Ajip Rosyidi sebagai penanggung jawab utamanya. Ya, syukur-syukur masih ada Rancage, yang setiap tahun memberikan kesempatan kepada dua orang dari sastera Jawa untuk mendapatkannya.

Dua orang dari sastera Jawa yang berhak mendapatkan hadiah Rancage adalah: seorang yang dipandang berjasa dalam usaha pengembangan dan pelestarian sastera Jawa (dinilai ketokohannya) dan seorang lagi yang dinilai telah menunjukkan karya terbaiknya dalam bentuk buku. Persoalannya, penerbitan buku dalam sastera Jawa modern belum menjadi tradisi. Akibatnya, bisa saja terjadi, hadiah Rancage tidak jatuh ke tangan sasterawan Jawa yang telah menghasilkan karya terbaik.
Maka, idealnya, memang, setiap tahun ada penyair, cerpenis, novelis, dan kritikus sastera Jawa yang menerima hadiah. Seharusnya sastra Jawa memiliki tradisi penghargaan atau penganugerahan hadiah-nya sendiri.

Hadiah Triwida

Sanggar sastera Triwida*) pernah pula memberikan hadiah kepada para pengarang dan penyair sastera Jawa. Secara nominal penghargaan yang diberikan memang jauh di bawah Rancage. Tetapi itu merupakan sebuah usaha yang tak boleh dipandang sepele, mengingat Triwida sendiri boleh dikatakan sanggar pinggiran dalam sastera (Jawa) yang tergolong pinggiran. Sebagian besar anggota sanggar Triwida tersebar di tiga wilayah: Blitar, Trenggalek, dan Tulungagung. Dana untuk hadiah itupun digali dari para donatur perorangan di wilayah itu, dan dari media berbahasa Jawa.
Dalam hal sistem penilaian, berbeda dengan hadiah Rancage, hadiah Triwida mengambil karya-karya terbaik meliputi: guritan (puisi), crita cekak (cerpen), dan crita sambung (novel) yang pernah dimuat media berbahasa Jawa dalam kurun 5 tahun terakhir.

Sayang, karena kesulitan dana, tampaknya hadiah Triwida itu kini sedang mengalami kemacetan.

Hadiah Panjebar Semangat

Setiap bulan September, majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat memberikan peghargaan untukpenulis crita cekak atau penggurit atau penulis esai terbaik. Jadi setiap tahun hanya seorang penulis saja yang diberi penghargaan, biasanya plus beberapa orang yang diberi penghargaan "hiburan", biasanya berupa langganan gratis majalah Panjebar Semangat untuk beberapa bulan.
Setidak-tidaknya hadiah Panjebar Semangat telah menambah semarak dan mengisi semacam kekosongan dalam tradisi pemberian hadiah dalam sastera Jawa. Tetapi untuk disebut representatif, rasanya juga masih sangat kurang.

Hadiah Lain

Mungkin bisa dimasukkan ke dalam ktegori "hadiah lain" dalam sastera Jawa adalah hadiah-hadiah yang diberikan dengan mengadakan lomba atau sayembara penulisan geguritan, cerpen, atau novel, yang biasanya dilaksanakan secara insidental.

Balai Bahasa Yogyakarta dengan Sanggar Sastera Jawa Yogyakarta-nya (SSJY), adalah lembaga yang selama ini boleh dibilang paling aktif mengadakan lomba/sayembara sastera Jawa.

Tampaknya belakangan ini sanggar-sanggar sastera Jawa yang lain semakin kesulitan meneruskan tradisi pemberian hadiah maupun mengadakan lomba, karena kehidupannya sendiri semakin kritis. Ada yang sekarat, bahkan banyak di antaranya yang tinggal "nisan" alias papan namanya saja!

Hadiah Jurnalistik

Jangan menangis. Tapi, cobalah persoalan-persoalan seperti itu kita pecahkan dalam forum yang sangat mewah yang bernama Kongres Bahasa Jawa itu. Jadi, jangan jadikan Kongres Bahasa Jawa sebagai forum yang terlalu ilmiah, jangan hanya digunakan sebagai arena untuk membacakan hasil penelitian seperti yang dikatakan Bonari Nabonenar itu.

Hadiah sastera Jawa, bukan impian yang terlalu tinggi, jika menilik bahwa hajatan sangat meriah bernama Kongres Bahasa Jawa yang semahal itupun bisa dilaksanakan. Syaratnya, memang, para penggagas dan pembuat kebijaksanaan Kongres Bahasa Jawa itu jangan hanya punya pikiran sekaliber Pak Dhe saya. Cintailah sastra Jawa itu dengan cinta yang sederhana saja, jangan dengan cinta gila-gilaan yang malah tak masuk di akal orang-orang waras!

Akan lebih baik lagi jika, dan bahkan seharusnya, ada pula tradisi pemberian hadiah untuk karya jurnalistik berbahasa Jawa. Semacam Pulitzer-nya wong Jawa, begitulah! Percayalah, ini bukan sekadar impian, jika orang Jawa punya niat, dan. Buktinya, dana bisa dihimpun untuk Kongres I dan II yang tergolong sangat mewah itu.

Persoalannya kembali kepada orang Jawa sendiri. Mau yang lebih berorientasi kepada asas manfaat ataukah hanya mau bergagah-gagah, menghambur-hamburkan dana miliaran rupiah untuk menggiring bahasa dan sastera Jawa ke dalam museum! []

0 comments: