Sebuah Teladan Kesetiaan terhadap Sastra Jawa
Pada tanggal 3 Juni 2002 lalu Muryalelana meninggal dunia dengan damai. Kukatakan damai karena wajahnya dihiasi senyum ketika ia dipanggil Tuhan. Itu kusaksikan lewat tayangan videonya. Tampak tidak ada rasa sakit sebagaimana yang tertoreh pada raut mukanya, tenang, teduh, dan temaram. Muryalelana atau Dojosantosa atau aku menyebutnya Pak Murya, pulang meninggalkan jagad sastra Jawa dengan segala perjuangannya.
Pengarang ini dilahirkan di Salatiga pada 331 Desember 1930. Lulus sarjana muda IKIP Kristen Satyawacana Salatiga pada tahun 1975. Ia pernah bekerja sebagai pegawai negeri (guru) hingga memasuki masa pensiunnya.
Pada tahun 1947 (Clash I) Dojosantosa pernah ditawan Belanda di Salatiga, Semarang, Pekalongan, dan akhirnya dibuang ke Nusakambangan. Tahun 1950 ia dibebaskan setelah selesai penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia oleh Belanda. Pada tahun 1955 – 1956 menjadi guru SRL/SGB Negeri Pacangan Jepara. Tahun 1956 – 1959 menjadi guru SGB Negeri Jepara. Tahun 1959 – 1968 menjadi guru SGB Puri/SMP Negeri Ungaran dan Pimpinan SMEP Negeri Ungaran. Tahun 1968 – 1983 menjadi guru SMEA Negeri I Semarang dan diserahi tugas sebagai Pimpinan Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Daerah Jawa Tengah sert disampiri tugas menjadi anggota tim screaning Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah. Tahun 1983 – 1992 menjadi kepala SMP Negeri 24 Kodya Semarang dan akhirnya pensiun. Walaupun demikian ia tetap aktif dalam dunia tulis-menulis. Mulai tahun 1984 ia menjadi guru Pawiyatan Panatacara dan Pamedhar Sabda di Lembaga Permadani (Lembaga ini mempunyai cabang di Ngawi, Nganjuk, Magetan, Madiun, Ponorogo, Tulungagung).
Kegiatan Dojosantosa dalam dunia sastra Jawa dimulai tahun 1950-an. Ia sudah menulis di majalah Tjrita Tjekak berupa esai dan geguritan. Pada tahun-tahun berikutnya ia bersama dengan Susilomurti, Sudharma KD, Widi Widayat, Hardjana HP, E. Suharjendra, N. Sakdani Darmopamoedjo, dan lain-lain mendirikan Organisasi Pengarang Sastra Jawa di Ratawijayan, Jogjakarta.
Pada tahun 1968, Dojosantosa bersama dengan N Sakdani Darmopamoedjo, Andjar Any, Arswendo Atmowiloto, Moch. Nursyahid Purnomo, membuat kalawarti Darma Kandha/Darma Nyata di Surakarta. Pada tahun 1979, ia membuat majalah Pustaka Candra atas biaya pemerintah Dati I Provinsi Jawa Tengah. Aktivitasnya dalam kebudayaan dan sastra Jawa telah memberinya penghargaan (1) Bupati KDH Kabupaten Semarang, 1975, (2) Javanologi Jogjakarta, 1983, (3) Gubernur KDH Provinsi Jawa Tengah, 1990, (4) Pusat Lembaga Kebudayaan Jawa Surakarta, 1994, dan (5) Yayasan Kebudayaan Rancage Bandung, 1996.
Dojosantosa menulis cerita pendek Jawa, puisi Jawa, artikel dalam bahasa Jawa dan dalam bahasa Indonesia. Karya-karyanya dimuat di berbagai media masa, seperti: Panjebar Semangat, Jaya Baya, Kekasihku, Tjrita Tjekak, Gotong Royong (Surabaya), Darma Kandha, Darma Nyata, Panakawan, Jawa Anyar, Tjandra Kirana, Gumregah (Surakarta), Praba, Mekar Sari, Kembag Brayan, Djaka Lodang, Tjendrawasih (Jogjakarta), Medan Bahasa Bahasa Jawi, Kumandhang, Sekar Jagad (Jakarta), dan Pustaka Candra (Semarang).
Beberapa karya Dojosantosa yang dapat dicatat dan sudah dibukukan yaitu: Penggalang Bahasa Indonesia (TB Pak Roes Semarang, 1989), Unsur Religius dalam Sastra Jawa (Aneka Ilmu, Semarang, 1989), Taman Sastrawan (aneka Ilmu, Semarang, 1990), Sejarah Ngrembakaning Kasusastran Jawi (Permadani Semarang, 1992), Widaya Basa 1,2,3 (Erlangga, Jakarta, 1993), Apresiasi Sastra Jawa (Kanwil Depdikbud Prov. Semarang, 1994).
Aktivitas Dojosantosa tidak terbatas pada penulisan karya kreatif dan kritik, tetapi juga aktif memberikan makalah pada berbagai seminar tentang sastra Jawa. Walaupun kemudian tidak aktif lagi dalam dunia pendidikan, ia masih terus menulis sastra Ajwa, khususnya geguritan.
Dojosantosa aktif dalam kepengarangan sastra Jawa tanpa mengenal berhenti. Aktivitasnya dalam Organisasi Pengarang Sastra Jawa (OPSJ) ternyata sangat besar manfaatnya bagi perkembagan sastra Jawa di akhir tahun 1960-an ke atas. Lewat organisasi itu kehidupan sastra Jawa modern dicoba untuk didinamisasikan oleh Dojosantosa dan temannya. Setelah pada akhir 1960-an sastra Jawa cenderuung mengalami penurunan dalam publikasinya. Penurunan itu disebabkan oleh munculnya sistem politik yang terjadi (dari Orde Lama ke Orde Baru). Dengan kehadiran OPSJ walaupun tidak pernah mengadakan kegiatan, gaung dari organisasi itu ternyata mampu memberikan dorongan bagi dinamika sastra Jawa. Hal itu tampak hasinya ketika pada akhir tahun 1970-an muncul kelompok-kelompok pengarang dan sanggar-sanggar yang bergerak dalam sastra Jawa modern. Dalam sistem kepengarangan Dojosantosa selalu memberikan rangsangan lewat kritik-kritik yang ditulisanya kepada pengarang baru yang muncul melalui sanggar-sanggar atau grup-grup yang ada. (dhanu priyo prabowo)*
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment