TAKUT MENYUSUL SURIPAN DAN MURYALELANA
Setya Yuwana Sudikan
Djayus Pete, sebagai penerima hadiah Sastera “Rancage” yang ke-9 untuk pengarang sastra Jawa modern tidak merasa ‘dirinya sebagai seniman besar’ seperti halnya penerima penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur. Bagi Djayus Pete, justru ada beban moral untuk berkarya lebih baik. Penerima hadiah sebelumnya, yaitu: F. C. Pamudji (untuk novelnya Sumpahmu Sumpahku (1994), untuk tahun 1995 kosong karena tidak ada buku sastra Jawa yang terbit, Satim Kadaryono (untuk novelnya Timbreng) (1996), Djaimin K.(untuk kumpulan guritannya Siter Gadhing) (1997), Esmiet (untuk novelnya Nalika Langite Obah) (1998), Suharmono Kasiyun (untuk novelnya Pupus kang Pepes) (1999), Widodo Basuki untuk kumpulan puisinya Layang saka Paran (2000), Suparto Brata (untuk kumpulan cerpennya Trem) (2001), dan Djayus Pete (untuk kumpulan cerpennya Kreteg Emas Jurang Gupit) (2002).
Dilihat dari komposisi penerima hadiah sastra “Rancage” untuk pengarang sastra Jawa modern, delapan dibanding satu. Delapan orang untuk pengarang yang berasal dari Jawa Timur, dan satu orang pengarang berasal dari Daerah istimewa Yogyakarta, sedangkan pengarang dari Provinsi Jawa Tengah belum ada yang beruntung. Ada suara-suara sumbang mengenai penjurian hadiah sastra “Rancage” bagi pengarang sastra Jawa modern. Suara-suara sumbang tersebut berasal dari para pengarang yang berasal dari Provinsi Daerah istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Mengapa pemenangnya selalu pengarang yang berasal dari Jawa Timur?
Pusat sastra Jawa memang ada di Jawa Timur. Buktinya, majalah berbahasa Jawa Jaya Baya dan Panyebar Semangat tetap eksis, sedangkan Mekar Sari telah berubah menjadi halaman khusus di surat kabar Kedaulatan Rakyat dan Djaka Lodhang ‘hidup segan mati tak mau’. Selain itu, kegiatan sanggar sastra Jawa di Jawa Timur dapat dijadikan barometer pertkembangan sastra Jawa, di antaranya: Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS), Sanggar Sastra Triwida yang bermarkas di Tulungagung, Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro, dan Sanggar Sastra Parikuning yang bermarkas di Banyuwangi. Para pengarang sastra Jawa yang berasal dari Jawa Timur selalu berusaha meningkatkan kualitas karyanya, yang dibahas dalam diskusi rutin maupun sarasehan-sarasehan yang sifatnya informal. Oleh sebab itu, layaknya apabila penerima hadiah sastra “Rancage” lebih banyak berasal dari Jawa Timur.
Ironi
Pemberian hadiah sastra Rancage dimaksudkan untuk meningkatkan apresiasi sastra masyarakat terhadap sastra dan untuk merangsang pasra sastrawan untuk meningkatkan mutu karya-karyanya. Sebab hanya dengan ramainya kegiatan menerbnitkan buku saja pembinaan apresiasi sastra dapat dilaksanakan. Tanpa buku, bagaimana mungkin kita mengajak anak-anak supaya gemar membaca? Karena itu sebagai langkah awal dalam pembinaan minat baca adalah lebih dulu menyediakan buku-buku yang akan dibaca. Kegiatan penerbitan buku memang tidak mudah karena menyangkut berbagai kegiatan dalam bidang lain, di antaranya: percetakan, toko buku, dan perpustakaan. Tapi kegiatan yang pertama justru dimulai oleh pengarang, karena penerbit baru mungkin melakukan kegiatan penerbitan buku kalu terlebih dulu ada naskah dari pengarang yang akan diterbitkan.
Tahun 2002 Hadiah sastra “Rancage” diberikan yang ke-14 kalinya untuk sastra Sunda, yang ke-9 kalinya untuk sastra Jawa, dan yang ke-5 kalinya untuk sastra Bali. Namun, ironisnya pemberian hadiah sastra “Rancage” yang sudah kesembilan kalinya untuk pengarang sastra Jawa, tidak merangsang pengarang untuk berkarya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, Ayip Rosidi, berlainan dengan sastra Sunda dan sastra Jawa, ternyata Hadiah Sastra “Rancage” untuk sastera daerah Bali telah merangsang para sastrawan Bali untuk lebih aktif berkarya dan berusaha untuk menerbitkan karya-karyanya. Hal itu tampak bahwa pada tahun 2000 buku karya sastra Bali yang terbit berlipat-lipat daripada tahun-tahun sebelumnya.
Kehidupan sastra daerah Bali mempunyai kemungkinan lebih mudah berkembang karena di sana ada lembaga banjar, yang di Jawa dan Sunda tidak ada. Melalui lembaga banjar tersebut anak-anak Bali dapat dibina dan dikembangkan aspesiasinya terhadap sastra bahasa daerahnya. Sedangkan dalam masyarakat Sunda dan Jawa, tidak ada lembaga yang menjadi tempat pemupukan minat terhadap sastera bahasa daerahnya. Pendidikan melalui sekolah merupakan satu-satunya kemungkinan yang tersedia, tetapi di Jawa Timur kita tahu bagaimana keadaan pengajaran apresiasi sastra bahasa daerah di sekolah-sekolah sampai sekarang, kurikulum muatan lokal bahasa Jawa dihilangkan, kekurangan guru yang memiliki kompetensi, kekurangan buku sastra untuk dibaca peserta didik.
Di balik itu, ada fenomena sosial pengarang yang telah mendapatkan hadiah sastra “Rancage” belum tentu karyanya dapat dijadikan barometer. Itulah sebabnya, saya mengamati ada sesuatu yang ‘tidak beres’ dalam kehidupan sastra Jawa modern, khususnya proses penjurian hadiah sastra “Rancage” untuk pengarangh sastra Jawa.
Mimpi
Pengarang sastra Jawa banyak yang suka ‘bermimpi’. Dalam sarasehan sastra Jawa di Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Gentengkali 85 Surabaya, 28 Juli 2002, dalam rangka ulang tahun PPSJS ke-25 dengan menampilkan pembicara Djayus Pete dan Bonari Nanobenar terungkap bahwa di antara pengarang sastra Jawa, ada yang patut menerima hadiah sastra Nobel.
Dalam kesempatan yang terpisah Djoko Pitono, penulis buku Seabad Pemenang Nobel Sastra, mengatakan bahwa persyaratan untuk menerima hadiah novel sangat mudah yaitu pengarang yang bersangkutan diajukan oleh seorang guru besar sastra yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Oleh sebab itu, Djayus Pete atau Suparto Brata layak untuk diajukan.
Persoalannya tidak semudah itu. Hadiah Nobel Sastra diberikan kepada pengarang yang karyanya memiliki kekhasan dan jangkauan tanpa batas (ras, bangsa, dan bahasa). Selama satu abad penerima Hadiah Nobel Sastra dari Asia, hanyalah Yasunari Kawabata (pengarang dari Jepang) dan Rabindranath Tagore (pengarang dari India). Dan Pramoedya Ananta Toer, yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam lebih 10 bahasa asing karena kedasyatan imajinasinya dengan hal-hal yang bersifat kemanusiaan, filosofis, dan historis selalu gagal untuk dipertarungkan.
Di pihak lain, Esmiet pengarang gaek dari Banyuwangi selalu mengumandangkan ketongan kematian sastra Jawa modern, pada awal tahun 2004. Akankah sastra Jawa asing bagi masyarakat pendukungnya?
Pengadilan Penerima Hadiah Rancage
Beberapa pengarang sastra Jawa mengusulkan kepada panitia pelaksana penerimaan hadiah sastra Rancage 2002, yang secara kebetulan gabungan antara warga Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, PPSJS, dan para peneliti dari Balai bahasa Surabaya; agar diselenggarakan pengadilan penerima hadiah sastra Rancage untuk pengarang sastra Jawa.
Benang kusut di balik penjurian hadiah sastra “Rancage” yang ditengarai bernuansa KN (Kolusi dan Nepotisme) patut untuk diurai, sebab ada penerima yang dipandang belum waktunya. Acara pengadilan sastra tersebut, akan diselenggarakan pada tanggal 30 Agustus 2002 bertempat di pendapa Taman Budaya Jawa Timur, Jalan Getengkali 85 Surabaya. Sebagai terdakwa F. C. Pamudji, Satim Kadaryono, Djaimin K., Esmiet, Suharmono K, Widodo Basuki, Suparto Brata, dan Djayus Pete. Bertindak sebagai hakim ketua, Rama Sudiatmono (Semarang), sedangkan hakim anggota Daniel Tito (Sragen), Sri Widati-Pradopo (Yogyakarta) dan Danu Priyo Prabowo (Yogyakarta). Jaksa penuntut umum, Suwardi Endraswara (Yogyakarta), Bagus Putu Parto (Blitar), Budi Palopo (Surabaya). Sedangkan yang bertindak sebagai pembela Tjahyono Widarmanto (Ngawi), Bonari Nanobenar (Surabaya), dan Tengsoe Tjahyono (Surabaya). Saksi yang meringankan Aming Aminudhien (Mojokerto), Yunani Prawironegoro (Gresik), dan Titah Rahayu (Surabaya). Dan saksi yang memberatkan Sri Wahyuni (Yunani) dari Surabaya, Sugeng Adipityo (Surabaya), Sunarko Sodrun (Tulungagung), dan Ardhini Pangastuti (Semarang). Dimeriahkan monolog Sanggar Ranggowarsito dari Yogyakarta.
Selain itu, panitia juga menyelenggarakan seminar kebudayaan Jawa dengan tajuk “Membangun Kembali Citra Budaya Jawa”, pada tanggal 29 Agustus 2002 bertempat di Graha Pena, Jalan A. Yani No. 88 Surabaya; dengan menampilkan pembicara: Arswendo Atmowiloto (Jakarta), Drs. Darmanto Yatman, SU (Semarang), Dr. Setya Yuwana Sudikan, MA. (Surabaya), Dr. Sindhunata dan Dr. Damarjati Supajar (Yogyakarta). Seminar ini dilandasi oleh pemikiran bahwa tidaklah adil apabila budaya Jawa dijadikan kambing hitam keterpurukan Indonesia pada rezim Suharto, karena dalam sistem pemerintahan Suharto ada penyimpangan-penyimpangan yang patut untuk dibongkar.
Setelah upacara pemberian hadiah sastra “Rancage” di Auditorium Universitas Negeri Surabaya, 31 Agustus 2002, diadakan seminar bertajuk “Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Daerah pada Era Otonomi Daerah” dengan menampilkan pembicara K.H. Farqan Siraj (Bupati Sumenep), Drs. Soetrisno, R., M.Si. (Bupati Nganjuk), Drs. E. Yonohudiyono (Dekan FBS Unesa), Dr. I Made Suastika, M.Hum (staf pengajar Pascasarjana Udayana), Drs. Iskandar Wasid (staf pengajar FBS UPI Bandung), dan Lalu Gde Suparman (budayawan Sasak, Mataram, Nusa Tenggara Barat).
Siapa Menyusul
Para pemerhati sastra Jawa merasa ‘ogah’ untuk menjadi juri hadiah sastra “Rancage” tahun depan, karena takut menyusul Suripan Sadi Hutomo dan Muryolelono (Doyosantosa). Sebagaimana diketahui Suripan Sadi Hutomo telah 8 tahun (8 kali) dipercaya oleh Ayip Rosidi menjadi juri hadiah sastra “Rancage” bagi pengarang sastra Jawa, dan Muryolelono setahun (satu kali) dipercaya oleh Ayip Rosidi.[]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment