Sambutan atas Gagasan Sugeng Wiyadi
Oleh: Daniel Tito
Paling tidak, ada dua main stream dari tulisan Sugeng Wiyadi yang berjudul “Merangsang Novel Jawa” (Jawa Pos, 19/1). Pertama, sebagai pengarang dan dosen sastra Jawa, ia ingin menunjukkan betapa besar kepedulian dan kecintaannya terhadap sastra Jawa (kalau tidak cinta dan peduli ya kebangeten namanya, wong hidupnya dari situ). Kedua, menurut hasil pengamatannya, para pengarang muda tak becus bikin novel (apalagi novel yang “sastra”). Terbukti novel-novel yang ada, yang notabene memenangkan hadiah Rancage justru lahir dari para pengarang sepuh macam Esmiet, FC Pamudji, Satim Kadaryono, dan Suharmono Kasiyun yang, waduh (!), juga sudah ikut digolongkan sepuh.
Ditilik dari substansi permasalahannya, barangkali tulisan itu sendiri tak terlalu istimewa. Tapi bagi saya menjadi menarik justru karena Sugeng Wiyadi mencoba menyeret arus pemikirannya ke wilayah libido sensualis yang terkait erat dengan soal rangsang-merangsang. Ini, serta-merta mengingatkan saya pada sosok Inul Daratista.
Siapakah Inul? Ia wanita pedangdut paling spektakuler dewasa ini. Paling heboh, paling digandrungi, sekaligus paling dimusuhi. Dengan goyang ngebor yang mulai ia perkenalkan dari kampung ke kampung, kemudian menyebar luas lewat VCD bajakan, nama Inul kini melambung tinggi menyejajari kepopuleran para bintang dangdut ibu kota.
Siapa mengira bahwa wanita beranama asli Ainurrahimah ini akan menjadi begitu terkenal? Bahkan dirinya pun sempat tak percaya (baca: Gugat No. 216, Tahun V, 3 – 9 Peb 2003). Tentu diperlukan babak perjalanan yang panjang untuk mencapai kondisi seperti sekarang. Diperlukan keteguhan hati, daya juang tanpa kendur, dan tak kenal rasa bosan ketika sering kali gagal dalam uji coba. Tanpanya, mungkin, Inul sekarang hanyalah penyanyi rock dan pop – jalur musik di awal kariernya – tidak terkenal, yang namanya tak akan disebut di koran-koran. Atau, bahkan, siapa tahu, hanya menjadi seorang ibu rumah tangga biasa.
Gaya erotik dengan memutar-mutar pinggul dari atas ke bawah, dari bawah ke atas, bak ulat kepanasan yang disebutnya sendiri oleh Inul sebagai goyang ngebor telah memberikan rangsangan yang kuat pada publik penikmatnya. Penontonnya pun jadi ketagihan, VCD bajakannya yang diproduksi secara asal-asalan diburu orang. Honor pentasnya meloncat drastis.
Lepas dari soal setuju dan tidak setuju, etis tidak etis, tapi Inul telah membuktikan kemampuan dirinya dalam menjelajahi kemungkinan yang terbaik bagi dirinya. Inilah yang pantas dicatat. Inilah sebuah terobosan.
Inilah sebuah keedanan! Lalu apa hubungannya dengan novel Jawa? Hubungan langsung jelas tak ada. Tapi berbicara soal rangsang-merangsang sebagaimana yang ditawarkan Sugeng, apa yang dilakukan Inul bisa dijadikan renungan. Barangkali guna merangsang pertumbuhan novel Jawa yang kini loyo dan nyaris stagnan juga diperlukan terobosan yang sama, keedanan yang sama. Tentu, tak sembarang ngedan, tapi keedanan yang positif dan bermartabat.
Bentuk rangsangan yang ditawarkan oleh Sugeng dengan meminta Balai Bahasa Surabaya menyelenggarakan lokakarya penulisan novel Jawa dengan insentif Rp 100.000,00 (Seratus Ribu Rupiah) pun sebenarnyalah sudah satu bentuk keedanan. Hanya saja, keedanan yang konyol alias edan temenan.
Pantas saja jika RM Yunani Prawiranegara “mencak-mencak” karena nilai uang segitu memang tidak layak untuk biaya persalinan sebuah novel. Apalagi kalau tuntutannya adalah novel Jawa yang berbobot “sastra” dengan S besar. Ia hanya pantas bagi sebuah cerpen tanpa embel-embel apapun.
Kendati begitu saya juga tak bisa menyalahkan Sugeng. Saya tahu, Sugeng cuma sedang dijangkiti lelara anyel maka ia lontarkan jurus “ejekan”. Ia masygul, sakit hati, dan geram. Sejak dulu, sejak jaman kongres-kongresan, sarasehan-sarasehanan, sikap pemerintah, birokrat, cuma begitu-begitu saja, itu-itu saja. Perlawanan Sugeng terhadap ketidakadilan yang dirasakannya gampang sekali ditengarai sebagai perlawanan khas wong cilik. Kalau tidak mampu memukul ya cukup mengejek saja.
Tapi percayalah, dua-duanya, baik memukul maupun mengejek, alhasil sama sia-sianya. Pemerintah tak akan goyah oleh pukulan, karena sudah cukup kuat berkat rajin latihan saling pukul antar sesama kawan. Pun tak akan merasa malu oleh sekadar ejekan karena sudah kebal dan terbiasa saling ejek, juga dengan sesama kolega.
Pada hemat saya, mengharapkan datangnya sumbangan pemikiran ke arah terobosan-terobosan baru, keedanan-keedanan baru, dari siapapun, dari manapun, jauh lebih masuk akal dan piguna ketimbang bermimpi menanti datangnya petinggi yang tiba-tiba menjilma jadi sinterklas. Apa yang pernah saya lakukan saat menerbitkan buku Kembang Campursari yang berisi biografi ringkas para penyanyi campursari, bolehlah ikut disebut sebagai contoh keedanan itu. Waktu itu, karena kesulitan mencari penerbit, akhirnya saya tempuh dengan menjual sebagian halaman untuk iklan. Nyatanya berhasil terbit. Nyatanya ada yang mau membeli. Walau tak selaris CVD bajakan Inul, tapi sudah mbatheni. Sekurang-kurangnya tidak merugi.
Bila perlu kita terbitkan novel Jawa dengan dukungan sejumlah iklan.
Jika koran atau majalah boleh hidup dengan iklan kenapa novel Jawa tidak? Yeah, memang belum lazim novel yang sebagian halamannya ditempati sejumlah iklan dijual di toko-toko. Resiko pertama dari penerbitan model demikian ialah soal tampilan artistik yang pasti akan mengganggu. Resiko lainnya, munculnya pandangan miring seperti: tidak profesional, amatiran, atau bahkan tudingan sebagai “kurang bermutu” oleh sementara calon pembeli yang belum terbiasa.
Tapi apa salahnya kalau harga jadi lebih murah? Dan yang tak kalah penting adalah ide menerbitkan buku yang tadinya terasa tidak mungkin itu menjadi mungkin. Soal kelaziman pada gilirannya hanyalah soal kebiasaan saja. Lambat-laun, yang belum terbiasa akhirnya akan menjadi biasa. Seperti koran dan majalah yang penuh iklan. Seperti sinetron yang selalu diseling pesan sponsor. Seperti malam pertama bagi perkawinan yang baru ditempuh. Seperti penonton yang merasa kaget, gerah, girab-girab, waktu baru pertama kali nonton goyangan versi Inul. Ah, lagi-lagi Inul. Goyang terus, Nuuul!
*) Penulis adalah penggembira sastra Jawa, tinggal di Sragen.
Dikopas dari Jawa Pos
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment