Oleh Mashuri
PERISTIWA yang menyerupai Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir yang diselenggarakan Yayasan Arena di Aula Universitas Parahyangan, Bandung, pada 8 September 1974, kembali terjadi. Kali ini terjadi di Ruang Sawunggaling, Taman Budaya Jawa Timur pada 30 Agustus 2002, yang dilakukan oleh sejumlah sastrawan Jawa. Tetapi, terdapat perbedaaan mendasar di antara kedua pengadilan itu.
Kiranya mengomentari masalah pengadilan terhadap sejumlah sastrawan Jawa penerima hadiah Rancage memang sudah agak basi. Tetapi, ada beban moral bagi saya, jika saya tidak turun tangan dalam masalah ini, untuk sedikit memperingatkan pada generasi-generasi yang lebih dulu berkarya daripada saya. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab saya pada sejarah, sebab peristiwa yang terjadi merupakan pengkhianatan pada cita-cita kesenian.
Sementara itu, perbedaan kedua pengadilan dalam jagat sastra itu kiranya bukan mengarah pada masalah 'subjek' dan 'objek' yang diadili, tetapi lebih pada latar belakang terjadinya pengadilan itu. Jika pengadilan puisi di Bandung, Jaksa Penuntut Umum Slamet Sukirnanto mendakwa tentang kehidupan puisi Indonesia akhir-akhir ini (1974), tidak sehat, tidak jelas dan brengsek! Perbandingannya, jaksa penuntut dalam pengadilan yang dilakukan sejumlah satrawan Jawa lebih mempersoalkan pada masalah penerimaan hadiah Rancage untuk beberapa sastrawan Jawa. Isi tuntutannya pun menuntut untuk mengembalikan hadiah itu, dan meminta maaf pada masyarakat melalui media massa karena proses penilaiannya bernuansa kolusi dan nepotisme.
Terlepas dari adanya gurauan dalam proses pengadilan pada penerima hadiah Rancage, tetapi kejadian itu semakin membuka mata dan 'luka' sastra Jawa, bahwa untuk saat ini para penulis sastra Jawa memang dalam kondisi 'pengangguran'. Artinya, memang tidak ada usaha kreatif dari para penulis Jawa untuk lebih berkonsentrasi dalam berkarya. Sehingga mereka lebih memilih berpolemik daripada kerja kreatif. Dengan kata lain, ada semacam sinyalemen bahwa mereka memang kurang pekerjaan. Ironisnya, polemik yang mereka gulirkan sama sekali tidak mengarah untuk kehidupan sastra Jawa yang lebih kondusif.
Hal yang sama juga pernah dinyatakan Gunawan Moehamad dalam menanggapi pengadilan puisi di Bandung. Gunawan mengatakan, pengadilan puisi itu adalah pekerjaan penyair yang tidak lagi bisa menulis puisi. Orang-orang yang generasi tua, tetapi tidak lagi berkarya, sedangkan ada rekan segenerasinya yang masih berkarya. Dengan kata lain, para penggagas pengadilan itu 'iri'. Maka dengan sangat ironis Gunawan mengatakan, "Maka Pak tua, jangan menangis! Tak ada salahnya puisi itu hidup tanpa kita."
Bila belajar dari kasus Pengadilan Puisi, semoga saja pengadilan terhadap penerima hadiah Rancage memang bukan berasal dari kata dasar iri. Sebab, jika dilihat dari susunan terdakwa yang merupakan sastrawan Jawa yang pernah menerima hadiah Rancage, yaitu FC Pamudji (1994), Satim Kadaryono (1996), Djamin K (1997), Esmiet (1998) Suharmono Kasiyun (1999), Widodo Basuki (2000), dan Suparta Brata (2001), adalah tujuh orang yang pernah menerirma hadiah sastra dari Tanah Sunda dalam kurun 1994-2001. Adapun, yang menjadi jaksa penuntut adalah orang-orang yang selama ini tidak pernah mendapatkan hadiah itu, di antaranya Sabrot D Malioboro, Suwardi Endraswara, Budi Palopo, dan Muh Noersahid Pramono.
Kendatipun, Hakim Bonari Nabonenar mengatakan bahwa kedelapan terdakwa tidak bersalah dan hanya sebagai korban sistem sehingga dibebaskan dari terdakwa, tetapi nuansa yang dibawa sungguh tidak mencerminkan adanya 'jiwa seniman' yang mengedepankan nurani. Sebab, bagaimanapun kerja kesenimanan adalah kerja yang tidak hanya mengejar penghargaan. Jika kemudian, semua mengejar penghargaan, maka pengejaran pada pencapaian harkat kemanusiaan pun hanya sekadar omong kosong. Apalagi, dalam sebuah penghargaan, segalanya pun tergantung pada kewenangan juri. Jika adanya subjektivitas, hal itu kiranya lumrah. Hal yang sama juga berlaku dalam penghargaan nobel sastra sekalipun.
Asu Rebutan Balung
Jika isu yang diangkat masih seputar masalah penerimaan hadiah Rancage, bisa dikatakan bahwa penuntut umum dalam pengadilan itu memang hanya berkutat pada perebutan sesuatu yang tiada gunanya. Dengan istilah Jawa seperti asu rebutan balung. Artinya, memperebutkan sesuatu yang sia-sia.
Padahal bila melihat perkembangan sastra Jawa saat ini, ada pekerjaan besar yang harus digarap dan tidak hanya mempersoalkan sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu urgen.
Hal itu karena bila dibandingkan dengan sastra daerah lain di Indonesia, sastra Jawa mengalami ketertinggalan yang jauh. Apalagi, jika melihat dari latar belakang sejarah dan tradisinya. Maka yang tampak adalah adanya dekadensi dan kemerosotan estetika yang luar biasa.
Asumsi yang diungkapkan di sini bukanlah sebuah prasangka tanpa sebuah argumentasi. Pasalnya, berdasarkan konsepsi sastra, dalam sastra Jawa tidak ada ketegangan antara konvensi yang ada dan inovasi, yang merupakan hakikat dari sastra. Sehingga dalam tataran yang lebih luas, tidak ada yang bisa dilihat dari perkembangan sastra Jawa.
Sebagai bukti nyata, dapat dilihat pada beberapa hasil karya sastrawan Jawa kontemporer. Mereka tidak memberikan apa pun pada perkembangan sastra Jawa, karena tidak ada tawaran estetika yang telah mereka sumbangkan. Kerangka yang dibangun dalam hal ini adalah batasan sastra modern. Pasalnya, acuan yang dimaksud adalah sastra Jawa modern. Tak ada tawaran estetika yang lebih mengedepankan pada perkembangan sastra Jawa.
(Penulis adalah penyair, penggurit, dan aktif di Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya).
Media Indonesia, Kamis, 12 Desember 2002
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment