Sunday, March 2, 2008

Banaspati

Oleh: Supardi Sastrodiharjo

BOLEH jadi tulisan-tulisan kisah makhluk halus yang sering kupublikasikan di majalah “diperhatikan” oleh obyek yang kutulis. Isteriku sering bilang padaku dengan nada bergurau. Katanya, “Semoga sampeyan ditemui dan diprotes makhluk halus!”



Aku cuma tertawa. Dalam hati aku berkata, “Itu tidak mungkin!” Bukannya sombong, aku biasa berpuasa Senin-Kamis, biasa membaca ayat-ayat suci, dan sering melakukan salat malam. Itu semua dapat menamengi diriku dari godaan makhluk halus. Dan, tamengku berlapis-lapis. Seperti yang diyakini orang Jawa pada umumnya, makhluk halus tak kuasa mendekatiku. Barangkali aku termasuk golongan yang disebut dhemit ora ndulit, setan ora doyan. Artinya makhluk jahat tak akan mendekati, apalagi menggodaku. Sebab, dengan laku puasa, membaca ayat suci, dan rajin melakukan salat malam, tubuhku memancarkan hawa panas. Itulah yang membuat aku tak pernah merasa khawatir, apalagi takut.

[]

Tanggal 28 Juli 1999 aku pergi ke Purwodadi untuk menghadiri hajatan seorang teman. Aku berangkat sendirian seusai magrib, mengendarai sepeda motor. Sengaja aku berangkat malam hari, sebab aku ingin ikut menikmati hiburan musik campursari. Di daerah Todanan, Blora, tempat tinggalku, hiburan jenis ini lagi naik daun.

Sebelumnya, temanku yang punya hajat itu bercerita bahwa grup musik campursari yang ditanggapnya itu memiliki penyanyi cantik. Konon, penyanyi itu cabutan dari Semarang dan Solo. Rugi kalau aku sampai tidak melihat. Maka kuputuskan untuk menyaksikan pertunjukan itu hingga usai.

Ternyata temanku tidak berbohong. Penyanyi-penyanyi yang ditampilkan memang cantik-cantik. Hanya satu hal yang membuatku kecewa, para penyanyi itu tampil dengan pakaian sangat minim, dan transparan pula. Hampir telanjang. Lekuk-lekuk tubuh mereka pun terlihat jelas. Lelaki mana yang masih bisa membanggakan keteguhan imannya saat melihat kemolekan tubuh wanita seperti itu?

Sebenarnya aku sangat benci erotisme dan hal-hal yang vulgar. Tetapi, ternyata dadaku ikutan pula bergetar. Bagaimanapun, aku laki-laki normal. Hiburan musik campursari itu pun kunikmati hingga selesai.

Karena malam sudah sangat larut, temanku mencegah aku pulang. Aku disarankan untuk menginap dan pulang pagi-pagi.

“Sebaiknya kautunggu sampai subuh sekalian, Mas. Malam sepi begini, kan gawat kalau pulang sendirian? Terus-terang aku mengkhawatirkan keselamatanmu,” kata temanku itu.

“Tak usah khawatir. Aku percaya tak akan terjadi apa-apa. Bukankah aku tak pernah bikin ulah dan menyakiti orang?”

Malam itu kuputuskan untuk pulang. Kulirik jam tanganku. Oh, sudah pukul satu! Sebelum aku duduk di atas sadel sepeda motor, tak lupa kubaca Surat Ikhlas tiga kali. Pelan-pelan sepeda motor mulai meninggalkan tempat hajatan itu.

Keluar dari halaman rumah temanku, keadaan masih ramai. Orang-orang yang baru pulang menonton pertunjukan berjalan memenuhi jalan. Terpaksa sepeda motor kukendarai pelan-pelan. Barulah ketika melewati jalan sepi, kendaraan kularikan dengan kencang. Hawa dingin dini hari terasa menampar-nampar mukaku, menerobos jaket, dan menggerayangi seluruh tubuhku. Aku menggigil, menahan udara dingin yang makin menggila.

Sampai di desa Nggetas sepi makin mencekam. Di sepanjang jalanan aku sama sekali tak berpapasan dengan orang atau kendaraan lain. Di pertigaan jalan yang biasanya dipenuhi para pemuda, malam itu juga sepi. Sejenak sepeda motor kuhentikan. Aku memandang ke sekeliling. Sekonyong-konyong timbul perasaan ragu-ragu. Bahkan takut. Kuteruskan atau tidak perjalanan ini. Perasaanku tak enak. Temanku sudah mengingatkan agar aku pulang pagi-pagi saja. Ah, mengapa tidak kuhiraukannya? Jika saja aku tahu akan menghadapi situasi seperti ini tentu akan kuturuti anjuran temanku itu.

Tapi kemudian rasa ragu dan khawatir itu kubuang jauh-jauh. Sudah terlanjur berpamitan, aku harus memberanikan diri pulang. Malu jika harus kembali. Aku tak mau dicemooh. Selain itu, bukankah sejak semula aku sudah yakin bahwa bangsa jin dan makhluk jahat tak akan berani mendekatiku? Aku pun meneruskan perjalanan di bawah rembulan tanggal 14. Langit kemarau tampak biru, elok, membuat malam menjadi sangat berseri. Cukuplah itu menambah keberanianku.

Tangan kananku memegang stir sementara tangan kiriku mendekap dada. Beberapa desa pun terlewati. Desa Mayahan, lalu Njono, Tawangharjo, Sambirejo, Wirosari, Pengkol, Trowolu, Bandungsari, kemudian melewati bulakan menuju desa Ngaringan. Ketika melewati bulak panjang itulah mataku yang semula sudah terasa ngantuk, tiba-tiba terbelalak. Di tengah sawah kulihat ada orang menyalakan api. Api menyala-nyala membuat area di sekitarnya menjadi terang benderang. Oh, siapakah melakukan bakar-bakaran di tengah malam begini? Lalu apa yang dibakar? Biasanya yang dibakar di tengah sawah adalah batang padi. Batang padi? Ah, tentu bukan. Sebab seingatku, tanaman padi daerah irigasi itu belum dipanen. Kalau tidak salah, tanaman padi di areal persawah ini baru berumur sekitar satu setengah bulan. Jadi masih segar menghijau.

Aku mencoba mengamati sawah di sekitar jalan yang kulewati untuk mencari pembanding. Menoleh ke utara, oh, di sana juga ada api menyala-nyala. Aku kembali menoleh ke arah api yang kulihat kali pertama. Lhoh, ternyata sudah tak ada. Aku menoleh lagi ke utara. Oh, api itu juga sudah hilang. Aku yakin bahwa ini semua ulah makhluk halus yang sengaja menggodaku. Wah, gawat.

Ketika aku sedang memikirkan makhluk halus berupa api sebesar bola itu, tiba-tiba kudengar suara gemuruh. Kontan saja aku menoleh ke belakang. Dan, masya allah! Ada api sebesar bola mengejarku. Suaranya seperti kobaran api besar membakar pepohonan. Aku benar-benar takut. Jantungku seolah berhenti berdetak. Darahku pun seperti beku.

Aku menoleh ke kiri. Lhoh, kulihat juga api sebesar bola mengejarku. Ah, ini pasti sebangsa Banaspati. Bukankah Banaspati dapat membunuh? Bagaimana jika dia mencucup ubun-ubunku?

Aku benar-benar panik. Aku sudah tidak bisa berpikir lagi apa yang harus kuperbuat. Aku masih berada di atas sepeda motor yang melaju kencang. Aku juga tidak sempat berpikir apakah jalan di depanku berlubang, atau motorku terlalu menepi. Tangan yang bertugas memegang stir dan kaki yang sesekali harus menginjak rem, semua berjalan secara otomatis. Seperti tak dikendalikan otak. Segenap daya, pikiran, seolah-olah hanya mengurusi pergerakan leher dan kepalaku. Menoleh ke kiri, ke kanan, ataupun ke belakang. Aku ingin berteriak, tapi ternyata untuk bersuara pun sangat susah. Tapi aku terus berusaha agar bisa berteriak. Untunglah usahaku berhasil.

“Tolong! Tolong!” sepanjang jalan aku berteriak.

Aku semakin takut. Sebab api sebesar bola itu masih terus melayang-layang mengejarku. Tiba-tiba aku merasa sadel sepeda motorku basah. Oh, ketakutan itu telah membuatku terkencing-kencing.

“Tolong! Tolong!”

Aku geregetan. Mengapa tak ada yang menghiraukan teriakanku. Mungkin tidak ada orang yang mendengar. Mungkin tak ada yang bersedia menolongku. Sungguh keterlaluan. Apakah orang-orang sudah kehilangan solidaritas sosialnya? Aku terus berteriak-teriak.

“Tolong! Tolong!” agaknya itulah teriakanku yang terakhirku.

Tiba-tiba api sebesar bola yang mengejarku berubah wujud menjadi kera sangat besar. Sangat menakutkan. Mulutnya menganga lebar. Gigi-giginya runcing. Sepertinya kera itu siap menerkamku. Tiba-tiba aku merasa kehabisan suara untuk berteriak minta tolong.

Kudengar suara adzan. Kubuka mataku perlahan. Aku beranjak bangkit, duduk. Ternyata aku sudah terjatuh dari sepeda motor. Tak ada yang mengetahui. Sepedaku pun terkapar.

Aku berdiri. Badanku terasa sakit semua. Tulang-tulangku terasa nyeri. Rasa pedih dan perih terasa merata di seluruh tubuhku. Aku mencoba melangkah dengan susah payah ke arah motorku. Kaca lampu depannya pecah, reating putus. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, kudorong sepeda motor itu ke tepi jalan.

[]

Ketika lukaku sudah sembuh dan sepeda motor sudah selesai kuperbaiki, istriku masih sempat tersenyum-senyum menggodaku.

“Gimana, Mas? Doaku terkabul kan? Tukang bikin cerita tentang makhluk halus, akhirnya ketemu makhluk halus beneran. Makanya, sekarang jangan cuma bikin cerita makhluk halus saja. Kukira Mbah Ripan sudah menunggu-nunggu kiriman cerita pendek dan cerita bersambung sampeyan. Mas, lihatlah majalah terbaru itu! Itu Pakde Esmiet menulis cerita bersambung. Apa sampeyan nggak kepengin?”


Judul Asli: Geni Sak Padha Bal
Panjebar Semangat No. 40, 30 September 2000

0 comments: