Oleh:….?
MALAM itu terasa sangat dingin. Penduduk dusun Kedungasem pada umumnya tertidur lelap merenda mimpi. Empat hari yang lalu, bertepatan hari Selasa-Kliwon, Mbah Kijan meninggal dunia karena sakit tua; usianya mencapai sekitar sembilan puluh tahun. Isteri Mbah Kijan sudah mendahuluinya sepuluh tahun lalu.
Dusun Kedungasem termasuk wilayah desa Mranggi, yang seluruhnya terdiri dari delapan dusun. Masyarakat Kedungasem kebanyakan bekerja sebagai nelayan. Ketika Mbah Kijan masih muda, dia pun menjadi nelayan. Mbah Kijan punya seorang anak laki-laki, Kiman namanya, kini menjadi juragan ikan. Kiman menjadi kaya bukan karena warisan orang tuanya, melainkan lantaran mencari pinjaman ke sana-kemari sebagai modal usaha. Sekarang Kiman tinggal di desa Klatak, arah tenggara desa Mranggi, dekat dengan tempat pelelangan ikan (TPI) Nglebonsari.
Suasana dingin mencekam pada malam itu juga merambah lokasi kuburan Kedungasem, tempat peristirahatan terakhir Mbah Kijan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, siapa pun yang meninggal pada hari Selasa-Kliwon, rohnya bakal mendatangi warga dusun. Itulah sebabnya pada malam itu warga dusun Kedungasem memilih tidur lebih awal daripada biasanya.
Kuburan Kedungasem tampak sunyi. Tetapi, diam-diam 4 pemuda melekan di kuburan itu. Mereka menjaga kuburan Mbah Kijan untuk mengantisipasi pencuri mayat. Mayat Mbah Kijan jadi rawan pencurian karena, menurut kepercayaan sementara orang, kepalanya bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan pesugihan. Konon, siapa pun yang berhasil mencuri kepala mayat orang yang meninggal pada hari Selasa-Kliwon bakal menjadi kaya raya. Adapun caranya, kepala mayat itu harus dipenggal dengan cara digigit, tidak boleh menggunakan peralatan apa pun.
Empat pemuda yang menjaga kuburan Mbah Kijan itu ialah Amir, Kasan, Wardoyo, dan Sukamat. Kasan dan Sukamat masih terhitung kerabat Mbah Kijan. Sedangkan Amir sekadar tetangga yang dipercaya oleh Pak Kiman untuk turut menjaga kuburan orang tuanya. Pak Kiman memilih Amir sebab pemuda itu sangat pemberani. Sudah 4 malam Amir terus-terusan ikut menjaga kuburan Mbah Kijan dengan upah dari Pak Kiman.
Menjelang tengah malam, keempat pemuda itu membuka bungkusan berisi keripik singkong, bekal dari Pak Kiman. Dengan kopi kental agak-pahit, makanan kecil itu ludes dalam sekejap. Mereka berempat kekenyangan. Akibatnya, rasa kantuk datang menyerang. Mereka makin sering menguap. Tiba-tiba hujan turun, makin lama kian deras. Beruntung, keempat pemuda itu sudah mendirikan tenda sekitar 10 meter dari kuburan Mbah Kijan.
Tak lama kemudian, tiga orang yang masih kerabat almarhum Mbah Kijan itu pun tertidur. Dalam hati Amir bersorak, kenyataan ini berjalan sesuai rencana. Anak janda Daliyem itu telah lama mimpi jadi orang kaya. Sejak kecil ia selalu hidup kekurangan. Hidup jadi nelayan, tiap hari menyetorkan perolehan ikan ke juragan Kiman, hasilnya cuma pas-pasan untuk makan sederhana. Beberapa hari yang lalu Amir mencoba mendatangi Ki Patrem untuk minta petunjuk bagaimana caranya agar bisa menjadi kaya.
“Cobalah kau cari kepala mayat orang yang meninggal dalam usia tua pada hari Selasa-Kliwon. Ingat, jangan orang yang mati karena kecelakaan atau bunuh diri,” Ki Patrem memberi petunjuk. Selanjutnya, dukun klenik itu menjelaskan, kepala mayat itu kemudian dijemur hingga kering lalu dibungkus dengan kain kafan dari jenasah yang sama. Seterusnya diletakkan di kamar tengah, diberi bunga dan wewangian setiap hari Selasa-Kliwon sebagai hari kematiannya, serta dijaga jangan sampai ketahuan orang.
Dan malam ini, Amir siap melaksanakan rencana itu.
Setelah yakin bahwa ketiga temannya tidur lelap, Amir pun segera bergerak. Beruntunglah bahwa hujan deras tak segera berhenti. Ini membantu kerja Amir sebab ia tidak boleh menggunakan perlatan untuk mendapatkan kepala mayat itu. Kata Ki Patrem, untuk menggali tanah hingga memotong leher mayat hanya boleh dilakukan dengan menggunakan tangan dan mulut.
Makam Mbah Kijan pun tergali, kini tinggal membuka papan penuntupnya saja. Sebentar-sebentar Amir melongok ke luar, takut kalau-kalau ada yang mengetahui perbuatannya. Lampu di tenda kelihatan masih hidup, ketiga temannya masih terlelap. Amir kembali masuk ke dalam liang lahat. Menyingkirkan papan, membuka kain kafan, hingga mayat Mbah Kijan tampak terbujur telanjang bulat. Amir mengangkat kepala si mayat lalu dipangkunya. Kulit leher yang sudah mulai membusuk itu digigitnya sedikit demi sedikit. Setelah tinggal tulang leher lalu diputarnya hingga kepala itu terlepas. Amir hampir muntah lantaran bau busuk, tapi dia berusaha untuk bertahan. Amir ingat pesan Ki Patrem, ’’Jika kau sampai muntah saat menggigit kepala mayat itu, maka kasiatnya sebagai pesugihan akan hilang….’’
Setelah berhasil mendapatkan kepala mayat, dengan tergesa-gesa Amir mengembalikan papan kayu ke tempatnya semula. Begitu pun ketika dia menguruk kembali liang lahat. Begitu acak-acakan.
Amir pulang ke rumah. Di tengah hujan deras itu, Amir memanjat pohon kelapa yang tak ada buahnya di belakang rumah. Tujuannya untuk menyimpan kepala mayat agar tak ketahuan orang. Lantas Amir kembali ke kuburan yang jaraknya sekitar setengah kilometer, bergabung dengan ketiga orang temannya.
Kasan, Wardoyo dan Sukamat terjaga.
Amir pura-pura mengigau. Seperti orang kesurupan, Amir berlari menuju kebon di dekat kuburan itu. Amir mencebur ke dalam selokan hingga tubuhnya belepotan lumpur. Ketiga orang temannya mencarinya. Di dalam kegelapan itu, Wardoyo dan kedua kawannya memberi pertolongan. Amir mereka gotong untuk diantar pulang ke rumah.
Ketika teman-temannya bertanya apa yang sesungguhnya terjadi, Amir bercerita bahwa ia bermimpi diuber-uber arwah Mbah Kijan. Amir berlari ketakutan hingga tercebur ke dalam selokan.
Cerita Amir tak urung membikin geger dusun Kedungasem. Seorang warga mendramatisir cerita Amir dengan mengatakan bahwa Mbah Kijan hidup lagi. Mendengar kabar itu, Pak Kiman dan Mbah Modin Kedungasem diikuti sejumlah warga sekitarnya datang ke keburan Mbah Kijan. Di situ mereka mendapati kenyataan bahwa kuburan Mbah Kijan telah berantakan. Dari pembicaran spontan, mereka sepakat untuk menggalinya. Penggalian dipimpin oleh Mbah Modin. Ketika itulah diketahui bahwa kain kafan dan kepala almarhum Mbah Kijan telah lenyap.
Pak Kiman meminta agar mayat orang tuanya itu, yang sudah tanpa kepala, dibungkus kain kafan baru dan dikubur kembali.
[]
Sejak saat itu Amir tergolek di pembaringan. Kata Mbok Saliyem, Amir sakit setelah bermimpi dikejar-kejar arwah Mbah Kijan.Teman-teman Amir pun datang menjenguk. Begitu pun Pak Kiman.
Beberapa hari lamanya Amir tak doyan makan. Setiap kali mau makan, hidungnya selalu mencium bau busuk luar biasa. Bau mayat. Bau itulah yang membikin dia mau muntah.
Pada suatu malam, ada peristiwa dramatis. Udara terasa dingin. Angin berhembus menerobos dinding bambu rumah Amir. Dari kejauhan terdengar suara anjing menggonggong tiada henti. Mbok Saliyem sudah tidur sejak sore. Amir masih terjaga sendirian. Ketika itulah pintu rumah Amir tiba-tiba terbuka, padahal sudah dikunci dengan selonjor kayu. Tentu saja Amir kaget bukan kepalang.
“Oh, tidak mungkin,” kata Amir dalam hati. “Tak mungkin pintu yang terkunci dapat membuka sendiri.”
Amir yang badannya lemah karena kurang makan itu beranjak bangun untuk mengunci pintu kembali. Tiba-tiba dia melihat sebuah kepala tanpa tubuh tergolek di lantai. Ternyata kepala Mbah Kijan yang dicurinya beberapa hari lalu!
Amir ketakutan. Dia mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba kepala Mbah Kijan melayang-layang ke arah Amir. Darah kental menetes-netes dari leher, berceceran di lantai. Bau anyir memenuhi rumah. Dalam situasi panik, dengan sekuat tenaga Amir menonjok kepala mayat itu hingga terpental jatuh ke lantai.
Amir segera berlari ke ruang tamu.
Kepala itu menggelinding lalu melayang-layang mengejarnya.
Sekali lagi kepala itu ditonjoknya, terpental ke atas, menyangkut di bawah genteng. Darah yang mengucur makin deras. Sekonyong-konyong kepala itu seperti jatuh terlempar, tepat menimpa dada Amir sehingga dia terjerembab. Amir menjerit mengaduh.
Mbok Saliyem yang tertidur lelap terbangun karena jeritan Amir. Perempuan itu mendapati anaknya terkapar di lantai.
“Mengapa cuma kamu yang dikejar-kejar arwah Mbah Kijan, Nak?” keluh Mbok Saliyem setelah mendegar penuturan Amir.
Amir cuma mendesah.
[]
Esoknya para tetangga berdatangan, lantaran mendengar cerita Mbok Saliyem tentang kejadian yang dialami Amir semalam. Di antara orang-orang itu tampak juga Pak Kiman dan Mbah Modin beserta kepala dusun Kedungasem.
’’Ketahuilah, Mir, kepala Mbah Kijan memang telah lenyap dari kuburan sejak engkau mengingau dan terjerembab di parit sekian hari yang lalu,’’ kata Pak Kiman dingin.
’’Oh, lalu ke mana kepala itu, Pak?’’ Amir bertanya, pura-pura kaget.
Belum lagi Pak Kiman menjawab pertanyaan Amir, mendadak ada barang jatuh di atas meja. Glodak!
’’Lho, ini kan kepala Mbah Kijan?’’ orang-orang kaget.
Orang-orang semburat ke luar rumah. Mereka ketakutan. Tetapi tak lama kemudian Pak Kiman dan Mbah Modin kembali ke dalam rumah. Anehnya, kepala Mbah Kijan sudah tak ada di tempatnya. Mbah Modin dan Pak Kiman hanya mendapati darah segar yang menggenang di atas meja. Baunya sangat busuk.
Orang-orang berkesimpulan, bahkan menuduh, bahwa Amir-lah yang telah mencuri kepala Mbah Kijan. Mendengar tuduhan itu, Amir jatuh pingsan.
Judul asli: Cumplung
Panjebar Semangat No. 11, 12 Maret 1994
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment