Wednesday, March 5, 2008

Hadiah Sastra Rancage 2004 Jalan Terus Meski Terpuruk

Sampai sekarang buku-buku bahasa daerah, umumnya masih diterbitkan karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional.

Penerbitan karya sastra bahasa-bahasa daerah boleh lesu. Peminatnya pun boleh terus merosot. Tapi, penghargaan Hadiah Sastera Rancage tak ikut-ikutan mogok. Penghargaan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa-bahasa daerah --Sunda, Jawa, dan Bali-- tetap bergulir. Para pemenangnya telah ditetapkan. Hadiah sastra Rancage 2004 --berupa piagam dan uang masing-masing sebesar Rp 5 juta-- bakal diserahkan Maret nanti di Universitas Pakuan, Bogor.



Hadiah Rancage tanpa terputus diberikan setiap tahun. Penghargaan untuk sastrawan yang menulis dalam bahasa daerah Sunda tahun ini merupakan yang ke-16 kalinya, dalam bahasa Jawa untuk yang ke-11 kalinya, dan dalam bahasa Bali menginjak yang ketujuh. Untuk setiap bahasa, tersedia dua macam hadiah, yaitu untuk karya dan untuk jasa.

Hadiah Rancage 2004 untuk karya diberikan kepada sasterawan yang pada tahun 2003 menerbitkan buku karya sastra yang dianggap paling berhasil. Sedangkan hadiah jasa disampaikan kepada orang atau lembaga yang dianggap besar jasanya dalam mengembangkan bahasa dan sastera daerah yang bersangkutan.

Di samping Rancage, disediakan pula hadiah Samsudi untuk pengarang yang menerbitkan buku bacaan anak-anak dalam bahasa Sunda yang baik yang terbit tahun sebelumnya. Sayang bahwa tak selalu ada buku bacaan kanak-kanak yang cukup baik yang terbit setiap tahun, sehingga kadang-kadang hadiah ini tak diberikan.

Dalam catatan Yayasan Kebudayaan Rancage, pemberi anugerah ini --dengan bantuan berbagai pihak, jumlah judul buku dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali yang diterbit tahun lalu mengalami penurunan. Buku bahasa Sunda yang pada 2002 terbit 27 judul, tahun 2003 hanya 16 judul; dalam bahasa Jawa tahun 2002 terbit 10 judul, tahun 2003 hanya 8 judul; sedangkan dalam bahasa Bali yang tahun 2002 terbit 19 judul, tahun 2003 hanya terbit 5 judul. Buku bacaan kanak-kanak yang terbit dalam bahasa Sunda tahun 2003 juga hanya ada 2 judul.

Rendahnya jumlah buku yang terbit dalam setiap bahasa daerah tersebut, menurut Yayasan Kebudayaan Rancage, masih sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diklaim sebagai penuturnya. Ini tanpa memerhitungkan jumlah-cetak buku-buku itu.

''Sampai sekarang buku-buku bahasa daerah, umumnya masih diterbitkan oleh para penerbit karena dorongan con amor dan tidak ditangani secara profesional, mungkin karena adanya semacam mitos yang mengatakan bahwa penerbitan (baik buku maupun pers -- dan usaha dalam bidang lain juga semisal radio atau televisi) dalam bahasa daerah tidaklah akan menguntungkan,'' tutur Ajip Rosidi, Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, pada pengantar keputusan pemberian Hadiah Sastera Rancage 2004.

Kondisi itu, menurut Ajip, menyebabkan, tidak ada pemodal yang mau mempercayakan uangnya dalam bidang tersebut. Padahal terobosan untuk mengatasi kelangkaan buku bahasa daerah, hanya dapat dilakukan melalui penanganan secara profesional. ''Mengharapkan bantuan atau uluran tangan dari pemerintah atau dari pihak lain yang selama ini sering bahkan selalu dilakukan, ternyata tak pernah menyelesaikan masalah, malah menimbulkan masalah karena jalan itu sering memberikan kesempatan untuk KKN,'' katanya.

Menurunnya penerbitan buku berbahasa daerah, khususnya Sunda, diakui oleh Prof Dr Edi S Ekajati, mantan Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ''Saya prihatin dengan kondisi itu. Bagaimana tidak akan menurun, banyak faktor yang menunjang terjadinya keterpurukan buku-buku bahasa daerah itu. Misalnya menurunnya minat baca masyarakat, lunturnya rasa cinta masyarakat terhadap budayanya, lemahnya perhatian pemerintah terhadap eksistensi bahasa daerah, dan minimnya pemodal yang berbisnis dalam penerbitan buku bahasa daerah,'' katanya.

Faktor-faktor itulah yang membuat bahasa daerah menjadi urutan terbelakang dalam perhatian masyarakat. Padahal, tambah Ekajati, pelestarian bahasa daerah itu merupakan tuntutan dari UUD 1945 dan UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam kacamata budayawan Yakob Sumardjo, perkembangan penerbitan bahasa daerah tergantung dari kondisi pasar yang ada. Kalau memang tidak memungkinkan untuk membaik pasti investor pun akan enggan terlibat. Memburuknya produk-produk buku berbahasa daerah, kata Yakob, tidak terlepas dari minat masyarakatnya. ''Kalau memang kebutuhan masyarakat menurun terhadap buku itu, maka akan sulit dipaksakan untuk menambah penerbitan.''

Adapun penyebab menurunnya kebutuhan masyarakat itu, menurut dia, kini kebanyakan masyarakat lebih cinta terhadap budaya luar. Akibatnya, budaya nenek moyangnya sendiri terlupakan. Kondisi ini diakibatkan kurang sadarnya masyarakat dan pemerintah terhadap pentingnya bahasa itu. ''Masyarakat lebih terbiasa berbahasa Indonesia dalam berkomunikasi dengan sesamannya. Pemerintah pun nyaris tidak menganggap penting terhadap bahasa tersebut,'' tambah Yakob.

Bagaimana dengan kemungkinan kurangnya inovasi tema dari pengarang buku? ''Bisa saja itu terjadi,'' jawab Ekajati. Namun yang jelas, katanya tema dari pengarang itu masih cukup beragam. Apalah artinya banyak tema apabila tidak diterbitkan. ''Saya yakin banyak tulisan buku pengarang yang tersimpan karena tidak diakomodasi oleh suatu penerbitan.''

Penerbit, kata Ekajati, pun akan berpikir ketika hendak mencetak seluruh karya buku bahasa Sunda. Kondisi saat ini, satu kali penerbitan tidak akan lebih dari 1000 eksemplar buku. Itu pun tidak akan habis dalam waktu satu tahun. ''Pokoknya dari kacamata bisnis sudah sangat terpuruk,'' jelas Ekajati.

Karya sastra Sunda hanya melejit pada tahun 1960-an. Dalam waktu 10 tahun ke depan, menurut dia, produk tulisan itu menurun hingga 50 persen. Jumlah buku, majalah, serta surat kabar saat ini bisa dihitung dengan jari. Penurunan produk buku itu terus menurun hingga sekarang. Dia khawatir nasib bahasa daerah akan terus memburuk bila tidak ada keinginan dari seluruh pihak untuk berupaya mempertahankannya.

Ekajati yang juga anggota Paguyuban Pangarang Sastera Sunda menilai penetrasi kebudayaan asing saat ini sangat kuat di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Kondisi itu membuat masyarakan 'terninabobokan' dengan budaya sendiri. Apalagi kecenderungan masyarakat selama ini menganggap bahwa budaya asing itu merupakan trademark dalam pergaulan. Paradigma itu secara tidak disadari akan membuat rasa cinta dan kepemilikan masyarakat terhadap budayanya meluntur. Sementara menurunnya minat baca masyarakat merupakan persoalan bangsa ini. Jangankan membaca bahasa daerah, mengkonsumsi bacaan informasi pun sudah sering ditinggalkan.

Dengan segala keprihatinan itu Yayasan Kebudayaan Rancage menetapkan para pemenang Hadiah Sastera Rancage 2004. Pemenang karya sastra bahasa Sunda diraih Penganten, sebuah roman karya Deden Abdul Aziz, terbitan PT Kiblat Buku Utama, Bandung. Pengarang kelahioran Cianjur 28 Agustus 1972 itu dinilai berhasil memperkaya khazanah sastra bahasa Sunda dengan karya yang otentik dan sangat sublim.

Sedangkan hadiah Rancage 2004 untuk jasa karena besar sumbangannya dalam pemeliharaan dan pengembangan bahasa Sunda jatuh pada Yayasan Cangkurileung. Yayasan yang didirikan Mang Koko (Koko Koswara) ini bergerak dalam bidang karawitan, terutama di lingkungan sekolah, walau aktif juga di luarnya. Apalagi dengan acara tetap setiap minggu (Taman Cangkurileung 2 kali, Bincarung 2 kali, dan Setia Putra sekali setiap bulan) di RRI Bandung, maka kegiatannya dikenal secara luas dalam masyarakat. Lagu-lagu yang digarapnya kebanyakan karya Mang Koko baik kawih, tembang (pupuh rancag) maupun sekar tandak. Lagu-lagunya adalah lagu-lagu Sunda dan mempergunakan bahasa Sunda, sehingga secara tidak langsung usaha Yayasan Cangkurileung ini merupakan usaha memelihara dan mengembangkan bahasa Sunda.

Setelah memperbandingkan lima buku kumpulan guritan bahasa Jawa, Hadiah Sastera Rancage 2004 untuk karya ditetapkan untuk Pagelaran, umpulan geguritan JFX Hoery, Penerbit Narasi dan Pamarsudi Sastra Jawi, Bojonegoro. Adapun pemenang untuk jasa diberikan kepada Moch. Nursyahid Purnomo, sastrawan dan wartawan media massa bahasa Jawa. Dia dinilai besar sumbangannya dalam mengembangkan bahasa dan sastera Jawa.

Karya sastra berbahasa Bali terbitan 2003 yang ditetapkan mendapatkan Rancage adalah Coffee Shop, karya I Dewa Gede Windhu Sancaya, terbitan Yayasan Paramasastra Bali, Denpasar. Sedangkan pemenang untuk jasa dalam mengembangkan bahasa dan sastera Bali ialah Nyoman Tusthi Eddy. Dia aktif mengamati, menulis dan membina sastera Bali modern sejak tahun 1970.
(san/is )

@ Republika Minggu, 15 Februari 2004

0 comments: