Sunday, March 2, 2008

Jadi Pemakalah di Kongres Bahasa Jawa IV: Walikota Bambang DH mau Bilang Apa?

Beberapa waktu lalu saya mendapati nama Walikota Surabaya Bambang DH di mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya, Panjebar Semangat, sebagai salah seorang pemakalah di Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV (Semarang, 11 – 14 September 2006. Ini benar-benar membuat saya penasaran: apakah gerangan yang hendak dipaparkan penguasa lokal [Surabaya] asal Pacitan itu di perhelatan ’budaya’ yang menelan biaya Rp 5 milyar (konon dipotong Rp 750 juta setelah Panitianya dipanggil Komisi E DPRD Jateng) itu?


Beberapa tahun lalu, dalam sebuah diskusi yang digelar oleh Lembaga Kajian Budaya Jawa Pos seorang wali murid mengadu: anaknya yang bersekolah (SD) di wilayah Karah tidak diberi pelajaran bahasa Jawa. Tetapi, ketika datang musim ujian semester, si anak harus mengerjakan soal-soal untuk matapelajaran bahasa Jawa! Apakah kabar buruk semacam ini bisa dibanggakan?

Surabaya adalah kota tempat 2 di antara 4 majalah mingguan berbahasa Jawa yang ada terbit: Jaya Baya dan Panjebar Semangat. Yang disebut terakhir, bahkan selalu mengingatkan kepada sejarah perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan karena didirikan oleh Dr Soetomo Mahaputra, yang juga Pendiri Budi Oetomo. Dua majalah berbahasa Jawa lainnya adalah Djaka Lodang (Jogjakarta) dan Damar Jati (Jakarta). Apakah Bambang DH akan membanggakan Jaya Baya dan Panjebar Semangat yang notabene memakai bahasa Jawa ragam Solo-Jogja dan paling banter hanya satu atau bahkan setengah halaman setiap edisinya yang disediakan untuk bahasa Jawa Subdialek Surabaya itu? Lagi, walau keduanya terbit di Surabaya, jumlah eksemplar yang terserap oleh masyarakat Surabaya sendiri juga sangat sedikit. Lebih dari itu, adakah yang telah dilakukan Pemkot Surabaya, bahkan juga Pemprov Jatim, untuk dua buah media yang boleh disebut sebagai ’’cagar budaya’’ Jawa itu?

Sejauh ini, sebatas yang saya tahu, telah terbit 2 buah buku sastra berbahasa Jawa Subdialek Surabaya, keduanya karya Trinil Sri Setyowati, Sarunge Jagung (novel) dan Donga Kembang Waru (kumpulan guritan/puisi). Mungkin Trinil kenal Pak Bambang dahulu ketika keduanya masih bersekolah. Tetapi, pertanyaan kita, apakah Pak Bambang mengenal Trinil dengan baik sebagai pengarang kedua buku tersebut? Dan, apakah di Ultah-nya bulan Juli lalu, misalnya, Pemkot Surabaya telah memberikan tempat yang layak bagi kedua karya termasuk kreatornya?

Ada lagi Suparto Brata yang selain ngetop sebagai pengarang yang memakai bahasa Indonesia juga adalah salah satu ikon Sastra Jawa dan pelopor pemakaian bahasa Jawa Subdialek Surabaya untuk karya-karya sastra modern. Mantan pegawai Pemkot Surabaya itu telah mengantongi Penghargaan Seniman Jatim dan beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Pemkot Surabaya. Tetapi, penghargaan dari Pemkot Surabaya itu diberikan pada zaman pemerintahan walikota sebelum era Bambang DH. Suparto Brata adalah pemegang rekor: telah 3 kali menerima penghargaan Rancage. Ia juga banyak dicari oleh para peneliti dari luar negeri. Apakah Pemkot Surabaya tidak punya niat: suatu saat ’memamerkan’ aset budaya bernama Suparto Brata dan memberangkatkannya ke Leiden (Belanda) dan/atau Suriname, misalnya?

Di Surabaya juga ada yang namanya Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS). Sama-sama tanpa diminta, seorang Suparto Brata telah mendonasikan berjuta rupiah (pernah sekali beri Rp 3 juta) kepada PPSJS, sedangkan Pemkot Surabaya, setahu saya, belum pernah memberikan apa-apa. Bisa jadi itu disebabkan oleh ketidaktahuan Pemkot bahwa di Surabaya ada PPSJS.

Ada lagi satu ’cagar bahasa’ [bahasa Jawa Subdialek Surabaya] bernama ’’Pojok Kampung’’ (salah satu program tayangan berita JTV). Saking ’kreatif’-nya orang-orang di balik ’’Pojok Kampung’’ itu, suatu ketika KPID (Komisi Penyiaran Indonesia Daerah) memanggil para awak-nya, dari produser hingga presenter (bahkan diikuti pula oleh salah seorang ’’orang penting’’-nya, yang kini menjadi Wawalikotsur (Wakil Walikota Surabaya): Arif Afandi.

KPID Jatim mengatasnamakan masyarakat yang mengadukan kegelisahan mereka akibat bahasa ’’Pojok Kampung’’ yang meraka nilai sering memakai istilah-istilah kasar dan jorok, melakukan teguran dan meminta penjelasan. Perdebatan tidak berlangsung lama. Kru ’’Pojok Kampung’’ sukses dengan argumentasi-argumentasinya, dan bahkan mendesak KPID untuk berada di barisan depan: mendesak Pemkot Surabaya menyusun (semacam) Kamus Bahasa Jawa Subdialek Surabaya. Tetapi, hingga sekarang, proyek penyusunan kamus itu tak terdengar lagi kabar-beritanya. Yang jelas, kini tampak bahwa ’’Pojok Kampung’’ lebih sakti daripada KPID Jatim, masih on air hingga sekarang, sedangkan KPID Jatim justru morat-marit tak karuan. Maka, saya juga penasaran: Mau bilang apa Pak Bambang nanti jika ada yang bertanya tentang bahasa ’’Pojok Kampung’’ yang belum juga punya (semacam) kamus dan (semacam) tatabahasanya itu?

Bupati Banyuwangi (yang juga disebut-sebut akan jadi salah seorang pemakalah di Semarang boleh menepuk dada karena Banyuwangi telah memiliki Kamus Bahasa Osing-nya, para pengarang sastra yang menggunakan media bahasa Osing juga difasilitasi, terbukti telah ada kumpulan puisi tiga bahasa yang diterbitkan dengan dana dari Pemkab Banyuwangi. Beberapa Bupati dari wilayah Jawa Tengah, misalnya, boleh juga berbangga, karena telah ada hari-hari tertentu yang ditetapkan sebagai hari-hari digunakannya bahasa Jawa di instansi-instansi pada jam kerja resmi.

Maka, jika betul Jadi berangkat ke Semarang sebagai pemakalah di Kongres Bahasa Jawa IV nanti, Pak Bambang DH mau bilang apa, ya?*

[Bonari Nabonenar, Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya]

pernah dimuat di halaman Metropolis [Jawa Pos]

0 comments: