Sunday, March 2, 2008

Bahasa dan Sastra Jawa, Kasihan Deh Lu!

NASIB Bahasa dan Sastra Jawa (BSJ) modern kembali dipertaruhkan. Melalui forum Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV yang diselenggarakan di Semarang, 5 - 10 Juli 2006, kehidupan dan masa depan BSJ diperbincangkan. para pakar BSJ, sebagai pelaku utama kongres, ditambah sejumlah kecil praktisi pengembangan BSJ selama lima hari akan berbusa-busa membicarakan nasib BSJ. Dana sebesar Rp 7 miliar dikucurkan oleh Pemda Tk I Jateng dan DIY untuk penyelenggaraan kongres budaya maha akbar tersebut.


Sebagaimana KBJ sebelumnya, dipastikan KBJ IV kali ini juga hanya akan berupa pentas makalah ilmiah tentang BSJ sekaligus ajang reuni para pakar dan sejumlah kecil penggiat BSJ. Materi yang dihasilkan, sudah dapat diduga, adalah sejumlah kesimpulan dan rekomendasi yang tidak bertaring. Artinya, hasil-hasil KBJ IV tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan di lapangan, yakni terhadap kehidupan BSJ. Yang dihasilkan hanyalah imbauan dan ajakan yang tidak memiliki daya paksa kuat.

Terhadap monotonistik KBJ, para penggiat Sastra Jawa Modern (SJM) sudah merasakannya sejak KBJ II di Jatim. Saat itu para praktisi SJM yang kebanyakan para pengarang SJM sudah merasakan, KBJ tidak memiliki pengaruh berarti terhadap kehidupan BSJ. Kalau memang memiliki pengaruh signifikan, hasil-hasil KBJ I di Semarang sesudah 5 tahun pastilah sudah terlihat dan dapat dirasakan. Kenyataannya, kehidupan BSJ tetap stagnan.

Bersamaan dengan KBJ III di Yogyakarta th 2001, sejumlah eksponen SJM yang merasa tidak tertampung aspirasinya mulai unjuk gigi, dengan menyelenggarakan Kongres Sastra Jawa (KSJ) di Solo. Dengan massa seadanya, KSJ mencoba mengkritisi arah pengembangan BSJ yang ditentukan oleh KBJ. Tahun ini, penggiat SJM kembali menyelenggarakan KSJ, mendahului penyelenggaraan KBJ.

KSJ secara terang-terangan menegasikan dirinya terhadap KBJ. Istilah politiknya sebagai oposisi terhadap KBJ. Dilihat dari segi plat yang dimiliki, bila KSJ merupakan forum plat hitam yang bersifat swasta penuh. Kalaupun di dalamnya terdapat oknum-oknum aparat pemerintah, seperti dosen dan guru negeri, maka keterlibatannya bersifat pribadi. Dengan biaya mandiri, forum KSJ digelar untuk membicarakan nasib dan kehidupan BSJ secara lebih realistik. Tak ada teori keilmuan dan wacana yang muluk-muluk. Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang dapat dilakukan, sekecil apapun.

Kehidupan BSJ dalam kurun waktu 30 tahun terakhir sesungguhnya ibarat pasukan yang jalan di tempat. Kalaupun ada perubahan, justru kemunduranlah yang terjadi. Bahasa Jawa memang masih dipergunakan sebagai percakapan sehari-hari, medium kesenian tradisional Jawa (wayang kulit, ketoprak, ludruk, campursari dsb) maupun bahasa upacara adat di kalangan etnik Jawa, baik di Pulau Jawa maupun di pulau-pulau luar Jawa. Tetapi fakta di lapangan juga menunjukkan, tiras media massa berbahasa Jawa terus menyusut, penerbitan buku-buku berbahasa Jawa tidak berkembang sebagaimana terjadi di era sebelum th 1975 dan pengajaran BSJ di jalur pendidikan formal tak juga kunjung berkembang.

Ketika th 1991 diselenggarakan KBJ I di Semarang, para penggiat BSJ termasuk para sastrawannya yang sudah sejak th 1978 rajin mengadakan pertemuan untuk membicarakan nasib BSJ atas sponsor Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) di Surakarta yang didedengkoti oleh almarhum Gendon Humardani menaruh harapan besar. Tetapi ternyata, harapan tinggal harapan. Kongres demi kongres, sejak Semarang hingga Semarang lagi, tak ada perubahan berarti. KBJ I - III hanya menghasilkan tumpukan makalah, kumpulan kesimpulan dan rekomendasi, serta produk yang bersifat elitis, seperti kamus dan buku tata bahasa Jawa yang peredarannya sangat terbatas. Hasil KBJ tidak pernah menyentuh akar rumput, penentu perkembangan BSJ di tingkat paling bawah, seperti murid pendidikan dasar, para guru, praktisi pengembangan BSJ yang ada di seantero Jateng, DIY dan Jatim, serta daerah yang memiliki kantong-kantong perkembangan BSJ (Lampung, Jambi, Sumsel, Riau, Sumut, Kalbar, Kaltim, Kalteng, Sultera, Sulteng dan Papua).

Bila kemudian para sastrawan SJM akhirnya memilih jalan sendiri dengan beroposisi terhadap para pakar dan penggiat BSJ yang setiap 5 tahun sekali menghambur-hamburkan dana negara (baca: uang rakyat), maka hal itu merupakan keniscayaan sejarah budaya Jawa. Pakar dan penggiat BSJ pro-KBJ tentu akan berkilah bahwa usaha untuk mengembangkan BSJ harus dilakukan secara konseptual. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah sebuah upacara untuk mengukuhkan bahwa negara memperhatikan kehidupan budaya etnik. Tak lebih dari itu. Sementara itu, para sastrawan dan penggiat SJM ingin menghindari pengukuhan perhatian negara terhadap kehidupan budaya etnik melalui upacara.

Bagi mereka, kalau negara memang menginginkan betul BSJ berkembang dinamis, maka aktivitas para seniman Jawa --termasuk para sastrawan-- dan para praktisinya harus di-support secara sungguh-sungguh, tidak hanya ada dalam wacana. Sebab merekalah yang sampai hari ini sungguh-sungguh, tidak hanya ada dalam wacana. Sebab merekalah yang sampai hari ini sungguh-sungguh menghidup-hidupkan BSJ, dalam bentuk bahasa lisan maupun khususnya-- melalui tulisan.

(Sarworo Suprapto)-s

Sunday, 02 July 2006, Rubrikasi – Budaya

Dikopas dari Kedaulatan Rakyat

0 comments: