Hasil Kongres Bahasa Jawa IV (Semarang, 11 – 14 September 2006) yang disosialisasikan Biro Mental/Spiritual Pemprov Jatim di Tretes (15 – 16 November 2006) antara lain mengingatkan kembali –jika tak boleh disebut menegaskan-- perlunya lembaga yang bernama Dewan Bahasa Jawa (selanjutnya disingkat DBJ). Benarkah DBJ sebegitu mendesaknya dibentuk di Jawa Timur?
SAYA tidak begitu paham, variabel apa saja yang memunculkan gagasan untuk membentuk DBJ di Jawa Timur. Secara samar-samar, saya mendengar bahwa Jawa Tengah telah memiliki DBJ, tetapi beberapa kawan, baik dari kalangan akademisi maupun pengarang/penyair Jawa di wilayah Jawa Tengah menilai, nyaris tidak ada yang dilakukan DBJ Jateng itu bagi perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Kongres Bahasa Jawa IV yang dilaksanakan di Semarang itu pun penyelenggaranya adalah Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Jogjakarta, dan Jawa Timur. Maka, untuk menjalankan proyek senilai hampir Rp 5 milyar itu panitia intinya adalah orang-orang di sekitar Sekretariat Pemprov Jateng (sebagai tuan rumah), dan kita tidak melihat peran DBJ Jateng, termasuk juga Balai Bahasa Semarang. Di antara tiga orang Panitia Pengarah dari Jawa Timur pun tidak nyantol nama Amir Machmud (Kepala Balai Bahasa Surabaya) karena ketiganya adalah para akademisi dari Unesa, Unair, dan Unjem (Universitas Negeri Jember). Tetapi, bukan di situ persoalan pokoknya.
DBJ agaknya diharapkan bisa menjadi lembaga yang memiliki posisi tawar untuk mendesak pemerintah setempat agar lebih memerhatikan bahasa Jawa baik di ranah pelestarian, pengembangan, maupun pewarisannya kepada generasi yang lebih muda. Itu bukan harapan yang buruk. Tetapi, kini hampir setiap provinsi memiliki lembaga bahasa yang bernama Balai Bahasa. Provinsi Jawa Timur memiliki balai bahasa, namanya Balai Bahasa Surabaya. [Saya juga agak bingung dengan nama itu. Wilayah operasionalnya di seluruh Jawa Timur, mengapa tidak dinamakan Balai Bahasa Jawa Timur?] Walau ia berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, Balai Bahasa Surabaya tampaknya juga tidak begitu ’mesra’ dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jatim, karena berada di bawah komando langsung Pusat Bahasa. Pekerjaan pokok lembaga ini, agaknya adalah ’penelitian.’
Kita mestinya boleh berharap, balai bahasa yang ada di daerah-daerah itu lebih memerhatikan bahasa-bahasa lokal, bahasa-bahasa etnik di wilayah kerjanya. Justru amanat itulah yang memberi cukup alasan perlunya membangun gedung kantor di daerah-daerah. Jika hanya mau mengurusi bahasa Indonesia, cukuplah dilakukan dari Jakarta. Toh, di daerah-daerah sudah ada Dinas Pendidikan, Subdinas Kebudayaan, Jurusan Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi, ada sekolah-sekolah dan para gurunya. Dalam kaitan inilah saya ingin mengatakan bahwa fungsi DBJ itu seharusnya diambil oleh Balai Bahasa yang ada di wilayah-wilayah yang sebagian besar masyarakatnya pemakai bahasa Jawa.
Hal lain yang tak boleh dilupakan adalah kenyataan bahwa di Jawa Tengah, apalagi di Daerah Istimewa Jogjakarta hanya ada satu bahasa etnik, yakni bahasa Jawa. Jika kita sebut bahasa Banyumas, bahasa Tegal, dan sebagainya, itu adalah dialek saja, semuanya masih berada di dalam wilayah bahasa Jawa. Berbeda halnya dengan Jawa Timur yang memiliki pula bahasa Madura dan bahasa Osing selain bahasa Jawa. Oleh akademisi, bahasa Osing dipandang sebagai salah satu dialek bahasa Jawa, tetapi masyarakat Osing sendiri bersikukuh bahwa bahasa Osing adalah bahasa Osing, bahkan mereka telah membuat kamusnya sendiri. Maka bayangkanlah, jika Pemerintah Provinsi Jawa Timur membiayai (tentu tidak cukup hanya dengan sedikit dana) pembentukan Dewan Bahasa Jawa, masyarakat Madura, barangkali juga masyarakat Osing, tentu berhak pula dapat kucuran dana untuk membentuk Dewan Bahasa mereka.
Sejak keruntuhan Majapahit, kiblat budaya Jawa bergeser ke barat, ke wilayah Jawa Tengah, sehingga kini orang menyebut Surakarta dan Jogjakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa. Tetapi, jangan pula lupa, Surakarta maupun Jogjakarta sekarang ini tidak memiliki satu pun media cetak berbahasa Jawa sekaliber majalah mingguan Jaya Baya maupun Panjebar Semangat (keduanya terbit di Surabaya). Anehnya, seolah tidak ada sedikit pun rasa bangga dari para pemimpin, termasuk kepala departemen terkait, terhadap keberadaan lembaga penerbitan media yang setidak-tidaknya bisa dipandang sebagai semacam cagar budaya itu.
Di Jawa Timur juga ada beberapa sanggar dan komunitas penggiat sastra Jawa, di antaranya: Sanggar Triwida (Tulungagung), Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (Bojonegoro), Kostela (Lamongan), Sanggar Sastra Jawa Banyuwangi (Banyuwangi), dan Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (Surabaya), termasuk komunitas-komunitas kesenian tradisional yang memakai bahasa Jawa sebagai media ekspresi. Komunitas-komnitas, terutama sanggar-sanggar itu selalu saja disebut-sebut sejak Kongres Bahasa Jawa I (Semarang, 1991) sebagai komunitas yang patut diperhatikan, dan dihargai atas peran mereka terhadap upaya-upaya pelestarian dan pengembangan bahasa Jawa. Tetapi, itu semua hanya omong besar. Tupoksi Subdinas Kebudayaan Provinsi (Jawa Timur) pun tidak menyebut-nyebut pembinaan seni sastra di masyarakat, apalagi sastra Jawa. Dinas Pendidikan apalagi, tampak sudah sebegitu pusing memikirkan angka buta aksara yang sebegitu tinggi, kurikulum yang tak kunjung tepat walau sekian kali diperbaharui, anak-anak sekolah yang berkembang jadi anak-anak nakal, dan para guru yang setiap saat mengeluh dan bahkan meneriakkan tuntutan kesejahteraan mereka.
Dalam situasi yang demikian, saya kira hanya para proyektor (orang-orang yang pintar mencari dan mengeruk untung dari proyek ke proyeklah) yang sebegitu bersemangat membentuk DBJ di Jawa Timur ini. Mereka memang menaruh harapan mereka sendiri. Sedangkan para tukang kentrung, pemain ludruk, juru tembang macapat, pengarang dan penyair Jawa, mati-matilah sendiri! [BN]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment