Menimbang Kembali Tantangan Harmoko
OTONOMI daerah sejauh ini masih terasa beroperasi di ranah politik dan ekonomi, dan belum sepenuhnya menjiwai program-program serta kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam ranah yang lebih luas, kebudayaan, termasuk kesenian, lebih-lebih berkaitan dengan bahasa dan sastra daerah. Tulisan ini hanya berisi gagasan mengenai salah satu formula untuk memelihara, melestarikan, dan mengembangkan salah satu aset budaya bangsa yakni bahasa daerah, termasuk di dalamnya potensi seni sastranya (lebih khusus lagi bahasa dan sastra Jawa): bikin harian berbahasa Jawa (selanjutnya disingkat HBJ).
Di awal tahun 1990-an, Menteri Penerangan Harmoko menantang para pemilik modal untuk menerbitkan HBJ. Asal tahu saja, saat itu menerbitkan surat kabar bukan urusan gampang, terutama menyangkut pengurusan SIUPP-nya. Selain memeras tenaga, biayanya juga sangat besar. Tetapi, Harmoko waktu itu siap menggratiskan SIUPP untuk siapapun yang berani menerima tantangannya: bikin HBJ. ’’Katakan ya, maka SIUPP-nya akan kukeluarkan sekarang juga!’’ begitu lebih-kurang tantang Harmoko.
Bisa dibayangkan, betapa indahnya jika di suatu daerah media cetak berbahasa Indonesia dapat berdampingan dengan media cetak berbahasa etnik setempat. Apalagi, jika hal demikian tidak saja terjadi di Jawa, tetapi juga di daerah-daerah lain di seluruh Nusantara. Kini sudah bukan lagi zamannya menuduh kecintaan terhadap jatidiri budaya, seni, bahasa, dan sastra lokal sebagai bibit primordialisme, sukuisme, dan sebagainya, sebagaimana kita juga tidak sedikit pun menaruh curiga terhadap anak bangsa yang giat mempelajari bahasa asing: Inggris, Jepang, Jerman, Perancis, China, sebagai individu yang luntur dan bahkan hilang rasa nasionalismenya.
Penerbitan HBJ itu bisa menjadi proyek kebudayaan yang ditanggung bersama oleh setidaknya Pemprov Jatim, Pemprov Jateng, dan Daerah Istimewa Jogjakarta yang selama ini memiliki hajat besar lima tahunan, yang tiap-tiap kali menghabiskan dana miliaran rupiah, yakni Kongres Bahasa Jawa, yang boleh juga dipandang sebagai bukti bahwa sebenarnya masih ada kepedulian terhadap bahasa, sastra, dan budaya Jawa.
Secara fungsional, HBJ dapat dipandang sebagai media informasi, sebagai ’laboratorium’ bahasa Jawa, sebagai media ekspresi dan sekaligus sebagai taman persemaian sastra Jawa.
Sebagai media informasi, tentu saja HBJ tidak boleh ’kalah hangat’ oleh koran lain (termasuk oleh koran ini, hehe). Artinya, berita-beritanya harus benar-benar aktual dan faktual. Jika ada yang boleh berbeda dengan trend koran zaman sekarang, tampaknya adalah pada perlunya megetati diri dari hal-hal yang lebih berat kadar sensasinya. Jika beritanya berkualitas, dibuat selugas-lugasnya pun HBJ sudah akan sangat menghibur, karena bahasa-nya saja sudah menawakan semacam tamasya bagi para pembaca dari kalangan kaum terdidik. Teknologi komunikasi yang ada sekarang sangat memungkinkan untuk memenuhi kriteria ini.
Sebagai ’laboratorium bahasa Jawa’ HBJ akan sangat besar sumbangannya terhadap bukan saja bagi perkembangan bahasa Jawa sendiri, tetapi juga bagi perkembangan bahasa Indonesia, melalui sumbangan kosakata maupun idiom semacam sepi ing pamrih rame ing gawe, gotong royong, rawe-rawe rantas, malang-malang putung, dan sebagainya –peran yang selama ini juga sudah diambilnya. Lebih dari itu, harus diingat pula bahwa bahasa Jawa memiliki sekian banyak dialek. Ada bahasa Jawa dialek Banyumas, Jawa Timur, Kedu, Solo-Jogja, Jawa-Sunda, dan dialek Semarangan (Linus: 1991). Lebih Jauh Linus Suryadi AG menyatakan bahwa berdasarkan populasi penduduk etnik Jawa sudah sama atau lebih dari jumlah penduduk bangsa Thailand, Philipina, Jepang, Belanda, atau Inggris, atau bahkan sejumlah penduduk beberapa Negara maju yang digabung menjadi satu. Maka, masih menurut Linus, sudah selayaknya aktualisasi bahasa Jawa lisan dengan berbagai macam dialeknya yang tidak punah oleh penjajahan kolonial beratus tahun itu masing-masing dikelola sebagai bahasa Jawa tulis.
Lima belas tahun lalu, ketika otonomi daerah pun masih berupa mimpi di sebagian benak cendekiawan kita, Linus sudah memimpikan penerbitan buku, majalah, tabloid, mingguan, dwimingguan, atau bulanan untuk mengakomodasi tiap-tiap dialek itu. Nah, kini sampailah kita di era otonomi daerah. Sayangnya, sekali lagi, otonomi daerah baru terasa di ranah politik dan ekonomi saja. Maka, jika tidak mulai sekarang kita memikirkannya (ketika Badan Pekerja Kongres Bahasa Jawa juga sedang giat-giatnya mempersiapkan Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang 2006 nanti), kita akan kehilangan momentum.
Linus memimpikan penerbitan media cetak mingguan, dwimingguan, atau bulanan secara terpisah untuk masing-masing dialek Bahasa Jawa. Dengan sistem cetak jarak jauh yang sekarang juga bukan hal yang terlalu mewah lagi, sebenarnya kita bisa membuat lebih dari yang diimpikan Linus. Jika HBJ bisa diterbitkan, maka bisa kita bayangkan untuk mencetaknya di Jakarta, Surabaya, Purwokerto, Solo-Jogja, Semarang, Banyuwangi. Sudah ada mesin cetak yang tak perlu diragukan kecanggihannya di kota-kota itu. Artinya, secara teknis tidak ada persoalan. Persoalannya tinggal pada kemauan, yakni kemauan masing-masing daerah untuk menjalankan amanat budaya itu.
Maka, bayangkanlah, suatu pagi Anda akan dapat membaca HBJ dengan format mirip-mirip koran ini (Jawa Pos): yang dicetak di Semarang memiliki 4 halaman Semarangan, yang di cetak di Surabaya memiliki 4 halaman Suroboyo-an, dan seterusnya. Untuk halaman ’nasional’-nya pakailah bahasa Jawa ’standar’ bahasa Jawa Mataraman seperti yang selama ini dipakai oleh media cetak berbahasa Jawa (Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Mekar Sari, Parikesit).
Sebagai media ekspresi budaya dan sebagai taman persemaian sastra Jawa, HBJ mesti pula memiliki rubrikasi yang lengkap dan benar-benar bercitarasa Jawa, bukan sekadar koran yang menggunakan bahasa Jawa. Banyak khasanah budaya Jawa, baik yang tinggal kenangan maupun yang masih kokoh di tengah-tengah masyarakatnya yang pantas diungkap sebagai bahan pengetahuan, paling tidak untuk membantu orang Jawa lebih memahami jatidirinya.
Yang tak kalah pentingnya adalah belajar dari media cetak berbahasa Jawa yang masih ada sekarang yang kehidupannya kurang menggembirakan. Kita ambil contoh Jaya Baya (JB) dan Panjebar Semangat (PS), keduanya berbentuk majalah, terbit sepekan sekali (mingguan). Dengan ketebalan antara 50 – 60 halaman, secara fisik jelas terasa tanggung. Apalagi ketika isinya sebagian besar sama, dan tidak lebih dalam dari yang pernah dimuat harian berbahasa Indonesia. Belum lagi di hadapan radio dan televisi, sebagai media informasi (karena terbit mingguan), JB dan PS sudah kalah 3 poin: kalah fisik (warna-warni, jumlah halaman), kalah aktual, dan kalah pula dalam hal kelengkapan rubrikasi. Oleh karena itu, tidak selayaknya pihak pemodal merasa pesimis hanya karena melihat ’kegagalan’ media cetak berbahasa Jawa yang selama ini ada.
Dalam hal SDM, semua majalah berbahasa Jawa yang masih bertahan hingga saat ini juga sangat kurang, bukan kualitasnya, melainkan jumlahnya. Dari yang sedikit itu juga rata-rata terkonsentrasi di balik meja redaksi. Yang diandalkan sebagai wartawan di lapangan hanya satu dua orang saja. Itu jelas keadaan yang timpang, jika hendak menjadikan majalah berbahasa Jawa sebagai majalah berita yang andal.
Memang banyak tantangan yang mesti dihadapi untuk merealisasikan penerbitan HBJ, tetapi tantangan itu seketika akan berubah jadi semacam suntikan tenaga tambahan jika: (1) para penguasa yang menaungi wilayah kebudayaan Jawa menunjukkan good will-nya, bersedia menerima tantangan (baca: ikut membiayai) penerbitan HBJ ini sebagai sebuah proyek kebudayaan yang akan sangat berarti daripada seratus kali kongres –tanpa menyepelekan arti penting kongres seperti Kongres Bahasa Jawa yang sejauh ini sudah tiga kali dilaksanakan itu, (2) ada pemilik teknologi, kertas, percetakan, dan sistem jaringan berita seperti Grup Jawa Pos yang bersedia bekerja sama dan ambil bagian dalam proyek besar ini.
Tampaknya Kongres Bahasa Jawa IV di Semarang 2006 nanti bisa disudahi dengan satu keputusan atau rekomendasi saja: ’’Terbitkan harian berbahasa Jawa sekarang juga!’’
[dokumen pribadi = merga ra payu!]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment