Oleh: Sugeng Wiyadi
SETIAP kali wacana sastra daerah diangkat ke permukaan, yang muncul dominan adalah kegusaran. Hal ini dapat dimaklumi, sebab berbagai kebijakan politik, dengan apologi nasionalisme, bahasa dan sastra daerah mengalami proses distorsi dan marginalisasi secara terus-menerus sehingga benar-benar tak berdaya.
Tetapi marilah kita lupakan sejenak kenyataan pahit itu. Marilah kita menghibur diri, bergembira, sekalipun diri kita tidak benar-benar terhibur dan hati kita tidak benar-benar gembira. Marilah kita membincang masalah sastra daerah yang hari-hari ini mestinya aktual sekalipun tidak benar-benar aktual lantaran telah menjadi rutinitas tahunan.
Pada 29-31 Agustus mendatang, Yayasan Kebudayaan Rancage kembali akan memberikan Hadiah Rancage 2002 kepada pengarang sastra Sunda, Jawa, dan Bali yang karyanya dinilai baik di antara buku-buku sastra berbahasa daerah yang terbit pada 2001. Hadiah serupa juga akan diberikan kepada pihak lain yang, karena pengabdiannya, dinilai berjasa memajukan bahasa dan sastra masing-masing daerah tersebut. Penyerahan hadiah akan dilakukan secara langsung oleh sastrawan Ajip Rosidi selaku ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, bertempat di auditorium Universitas Negeri Surabaya.
Tradisi pemberian Hadiah Rancage diawali pada 1957. Mula-mula khusus diberikan kepada pengarang sastra Sunda, namun terhenti pada 1961. Dua puluh delapan tahun kemudian, pada 1989, Hadiah Rancage kembali diberikan. Sebagaimana pada awalnya, kepada pengarang dan pengembang bahasa dan sastra Sunda. Pada 1994 pemberian Hadiah Rancage diperluas, pengarang dan pengembang bahasa dan sastra Jawa pun memperoleh hadiah itu. Dan 1998, Hadiah Rancage diberikan pula kepada pengarang dan pengembang bahasa dan sastra Bali.
Hadiah Rancage berupa Piagam dan uang. Pada 1994, uang yang diberikan kepada setiap ''pemenang'' Rp 2.500.000,00 dan sejak 1998 ditingkatkan menjadi Rp 5.000.000,00. Pemberian Hadiah Rancage dimaksudkan untuk menumbuhkan semangat dan kegairahan para sastrawan agar lebih produktif menulis karya sastra. Pada gilirannya, penerbitan karya sastra dalam bentuk buku diharapkan dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sastra daerah.
Nominalitas Hadiah Rancage sudah kita ketahui, tetapi untuk membincang nilainya di tengah badai krisis ekonomi yang hampir tiada kunjung berakhir, sangat tidak patut. Lagi pula, besar-kecilnya nilai nominal hadiah itu relatif, bergantung siapa yang mengukur.
Barangkali yang perlu kita pahami bahwa tujuan utama seorang pengarang menulis dan menerbitkan karya sastra bukanlah untuk mendapatkan hadiah melainkan karena motivasi yang lebih mulia. Yakni untuk mengekspresikan ide, pikiran, perasaan, dan sebagainya melalui media sastra. Dengan karya sastra, pengarang menawarkan nilai-nilai hakiki: moral, sosial, filsafat, dan religi. Dengan demikian karya sastra bukan sekadar dokumen sosial atau cermin kehidupan, tetapi merupakan investasi seni dan intelektual bagi pengembangan dan pemantapan eksistensi kesusastraan sebagai elemen budaya bangsa.
Mengapa Hadiah Rancage diberikan kepada pengarang dan pengembang bahasa dan sastra daerah? Mengapa tidak diberikan kepada pengarang dan pengembang sastra (berbahasa) Indonesia? Jawabnya ialah karena simpati Yayasan Kebudayaan Rancage terhadap keberadaan bahasa dan sastra daerah yang semakin memprihatinkan, justru di sebuah negara yang multietnis, multibahasa, multibudaya dan sebagainya dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Sudah sejak lama terdengar keluhan bahwa kehidupan dan perkembangan bahasa dan sastra daerah ibarat kerakap tumbuh di batu. Majalah dan surat kabar berbahasa daerah satu per satu berguguran. Berbagai kebijakan pemerintah menyangkut upaya mempertahankan bahasa dan sastra daerah terkesan setengah hati, bahkan cenderung sekadar kamuflase.
Kongres Bahasa Sunda, Bali, Jawa, telah berlangsung beberapa kali dengan beaya miliaran rupiah, akan tetapi kondisi bahasa dan sastra daerah tetap tidak berubah. Dan hal itu disebabkan keputusan-keputusan strategis yang dihasilkan melalui forum kongres tak pernah diimplementasikan secara konkret.
Sementara itu, alokasi waktu mata pelajaran bahasa daerah di sekolah bukan saja semakin dipersempit tetapi juga sering dijarah untuk mata pelajaran lain. Tidak aneh jika para pelajar dan generasi muda pada umumnya tidak lagi menguasai bahasa ibunya dengan baik. Kenyataan itu, menurut para pakar, menjadi salah satu faktor penting merosotnya etika dan moralitas. Implikasi lebih jauh ialah munculnya sikap arogan dan budaya kekerasan. Akankah fenomena ini dibiarkan terus berlanjut?
Bahasa dan sastra daerah adalah ibu kandung kebudayaan. Dengan begitu manusia Indonesia, dalam perspektif filosofis, merupakan anak kandung kebudayaan daerah. Orang bijak mengatakan bahwa anak yang baik ialah dia yang memuliakan ibu kandungnya. Sebaliknya, anak yang durhaka ialah dia yang menyia-nyiakan ibu kandungnya. Itulah sebabnya anak durhaka pantas dikutuk menjadi batu sebagaimana si Malin Kundang dalam mitos Melayu.
Pemberian Hadiah Rancage kepada pengarang dan pengembang bahasa dan sastra daerah merupakan salah satu bentuk pemuliaan bahasa dan sastra daerah. Kepadanya kita pantas mengucapkan selamat sebab dia telah terbebas dari kutukan maha dahsyat. Di pihak lain, kita tak tahu nasib apa yang akan menimpa institusi-institusi pemerintah yang terkait dengan penanganan bahasa dan sastra daerah, berikut para pejabat teras selaku penentu kebijakan, tetapi tidak memiliki kepedulian terhadap persoalan yang terpampang jelas di depan mata.
Terhadap fenomena ini saya berpendapat, seyogianya kita tak perlu gusar. Tak perlu ikut-ikutan latah mengutuk mereka menjadi batu. Sebab, konon kabarnya, institusi-institusi berikut mereka yang memegang kekuasaan sebagai penentu kebijakan tetapi tidak benar-benar melaksanakan amanah yang diemban, sudah sejak lama menjadi batu tanpa harus dikutuk menjadi batu. Dan kita, sebagai manusia berbudaya, pantas berduka sedalam-dalamnya. Semoga kutukan itu segera berakhir.
* dari Jawa Pos, Minggu, 25 Agustus 2002
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment