Friday, March 7, 2008

Wayang dalam Sastra: Tertawa versus Ketegangan

by : Arie MP Tamba

Kehadiran sebuah teks sastra (novel) dapat menyuarakan, membawakan dan mempersoalkan mitos-mitos tertentu. Sebuah teks novel mungkin bertugas mengukuhkan suatu mitos tertentu (myth of concern) dan mungkin pula bertugas untuk merombak, membebaskan, memodifikasi bahkan menentang suatu mitos tertentu (myth of freedom). Di Eropa misalnya, James W.B Yeats dan T.S Eliot sangat intens menggali kepercayaan-kepercayaan kuno kemudian mengolahnya menjadi karya-karya baru. Demikian pula Yukio Mishima dalam novel Kuil Kencana menggali mitologi-mitologi lama sekaligus mendekontruksinya.



Wayang adalah salah satu mitos lama yang memegang peranan penting dalam masyarakat Jawa. Wayang dalam kebudayaan Jawa dianggap sebagai simbolisasi mencapai kesempurnaan hidup. Dalam serat Centini dijelaskan bahwa wayang berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia yang menggambarkan proses hidup dalam kurun waktu terbatas dari puturan hukum sebab akibat, yang dalam konsep Jawa disebut cakra manggilingan. Dalam sastra Indonesia mutahir, wayang menjadi sumber inspirasi dan eksplorasi estetis yang tidak jarang membuat wayang “bergeser” dari mitos lamanya.

Beberapa pengarang Indonesia modern memanfaatkan wayang untuk warna estetika karya-karya mereka. J.B Mangun Wijaya memanfaatkan alur, aspek pertunjukan wayang dan tokoh-tokoh pewayangan dalam novelnya Durga Umayi dan Burung-burung Manyar. Putu Wijaya mengolah episode Barata Yudha (Mahabarata) dalam novel Perang. Umar Kayam memanfaatkan tokoh-tokoh Citraksi-Citraksi untuk cerpennya. Goenawan Muhhamad terinspirasi lakon Parikesit dalam sebuah puisi panjangnya, dan Seno Gumira Ajidarma dengan novel Kitab Omong Kosong menggugat mitos dalam lakon wayang Ramayana.

Dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno Gumira mencoba mengukuhkan mitos wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba membongkar, memberontak dan mendekontruksi mitos dan nilai-nilai tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat. Upaya pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur cerita. Kalau kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha Kanda dan Utara Kanda, dalam novel Kitab Omong Kosong, Seno justru memulai dari ide cerita Utara Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa.

Pada bagian awal novel langsung tampak myth of freedom, dimana tokoh Rama yang dalam masyarakat Jawa dimitoskan sebagai symbol satriya utama yang selalu mengemban kebenaran, penegak keadilan dan terjaga dari segala perbuatan buruk, justru digambarkan sebagai tokoh raja yang kejam yang menaklukan beratus-ratus negara. Tokoh Rama yang dalam konsep Jawa dimitoskan sebagai titisan (awatara) Dewa Wisnu pemelihara dunia malahan dimunculkan sebagai raja haus kekuasaan dan melaksanakan upacara aswameda parwa (persembahan kuda), yakni melepaskan kuda yang telah diberi mantera dan setiap jengkal tanah yang dilalui kuda tersebut harus takluk atau ditaklukan.

Kalau dalam pewayangan Jawa. perang Rama dan Rahwana merupakan lambang perlawanan antara yang benar dan yang jahat, maka dalam novel Kitab Omong Kosong menjadi kabur mana yang mewakili kebenaran dan yang mewakili kejahatan. Fokus utamanya bukan peperangan antara Rama dan Rahwana tetapi peperangan antara Rama dengan dirinya sendiri. Persoalan siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi kabur atau tidak didikotomi secara jelas dan ekstrim seperti dalam cerita-cerita wayang di masyarakat. Kalau dalam cerita pewayangan, kebaikan itu “diputihkan” dan kejahatan “dihitamkan”, sebagaimana putih tak pernah bisa bercampur dengan hitam, kebaikan senantiasa terpisah dari kejahatan dan kebaikan selalu menang melawan yang jahat. Justru dalam novel Kitab Omong Kosong dinyatakan bahwa dalam hidup putih dan hitam dapat bercampur, adakalanya yang jahat dapat demikian berkuasan dan yang baik bisa sangat menderita, demikian pula sebaliknya.

Pembongkaran mitos juga tampak dengan munculnya tokoh-tokoh utama yang tidak pernah disebut-sebut dalam cerita Ramayana yang justru tokoh-tokoh ini berasal dari kalangan marginal atau rakyat kecil (kawula alit). Tokoh-tokoh baru tersebut ---Satya dan Maneka--- merupakan sepasang muda-mudi, yang satu seorang pemuda desa lugu yang desa dan sanak saudaranya musnakh akibat upacara persembahan kuda Rama. Maneka malahan berasal dari kalangan pelacur yang sejak kecil lahir di rumah bordil dan mencoba lari dari nasibnya yang malang. Kedua tokoh baru ini lebih mendominasi cerita dan tampil sebagai hero melebihi tokoh-tokoh pakem seperti Laksamana, Wibisina, Sugriwa, dan Rama.

Munculnya tokoh Satya dan Maneka dalam novel ini merupakan upaya penghancuran mitos pewayangan Jawa yang mengagung-agungkan kebudayaan ksatria. Selama ini wayang dianggap sebagi symbol konsep manusia ideal Jawa yang menekankan tentang hidup ksatria (satriya pinandhita). Di pusat kebudayaan ksatria ini selalu dicitrakan cita-cita yang indah serta ‘halus” dan tampillah para ksatria yang gagah berani tanpa cela yang harus diteladani kawula alit (rakyat jelata). Dengam munculnya tokoh Satya dan Maneka yang berasal dari rakyat jelata yang malahan berhasil meneukan Kitab Omong Kosong sehingga dapat menyelamatkan kebudayaan dunia, maka runtuhlah mitos kebudayaan satriya. Para satriya tak lebih mulia dari rakyat jelata. Rama, Laksamana, Wibisana, Sugriwa, Anoman, tak lebih sakti, lebih luhur dan lebih baik dibanding dengan Satya anak petani dan Maneka yang seorang pelacur.

Novel ini juga menjungkirbalikkan mitos kekuasaan dan konsep kepemimpinan Jawa. Dalam pewayangan Jawa semenjak kebudayaan Hindu masuk dan berkembang di Indonesia konsep kekuasaan selalu bertumpu pada raja (ksatriya). Menurut konsep Jawa yang disimbolkan melalui wayang, raja adalah “warenaning Allah”, proyeksi Tuhan, karena itu kekuasaanya bersifat mulak. Konsep ini dalam bahasa pedhalangan dikatakan sebagai “gung binathara bau dhenda anyakrawati, wenang wisesa ing sanagari, ber budi bawa leksana” (sebesar kekuasan dewa, pemelihara hokum dan penguasa dunia, memegang kekuasaan tertinggi seluruh negara, meluap budi luhur mulia dan sifat adil terhadap sesama).

Konsep kepemimpinan ini dibongkar habis-habisan dalam novel Kitab Omong Kosong. Dalam novel ini wajah cerita Ramayana menjadi sangat berbeda karena rakyat jelata seperti Satya dan Maneka justru menajdi semacam personifikasi rakyat yang tidak lagi tergantung dan bergantung pada raja bahkan mempunyai kekuatan yang jauh lebih dahsyat dibanding kekuatan para satriya.

Upaya dimunculkannya mitos baru yakni kekuatan rakya jelata semakin kuat ketika di akhir cerita pengarang memunculkan tokoh Togog. Togog dalam wayang Jawa adalah seorang abdi yang terbuang dan tersia-sia. Kebalikan dari tokoh Semar yang merupakan punakawan (abdi) para kaum satriya yang sering dianggap titisan Dewa Ismaya sehingga mendapat posisi yang khusus dalam konsep Jawa, tokoh Togog justru nyaris tidak pernah diperbincangkan dan bahkan tidak pernah mendapatkan peranan besar. Togog merupakan bagian dari “kultur tertawa” yang membangun dunianya sendiri melawan dunia dari mereka yang “resmi berkuasa”. Lawan dari kultur tertawa adalah “kultur ketegangan”, kultur yang penuh formalitas, basa-basi, kepura-puraan serta kemunafikan. Dan dalam novel ini justru Togoglah penulis “Kitab Omong Kosong” yang dicari-cari dan diperebutkan kaum satriya.

Pengambilan estetika wayang dan sekaligus pendekontruksiannya dalam sastra Indonesia mutahir seperti contoh di atas, merupakan bukti bahwa satrawan mutahir Indonesia (etnis Jawa) adalah manusia perbatasan yang sedang bertranformasi diri dengan mencoba mengikutsertakan budaya etnis-tradisi Jawa menuju ke dalam negara-bangsa Indonesia yang notabene merupakan ‘kampung halaman‘ dan budaya yang relatif baru. Hal ini merupakan sebuah proses panjang yang berat karena pada satu sisi menuntut mereka menata kembali keberadaan, kedudukan dan fungsi budaya dan sastra Jawa sebagai akar mereka, dan di sisi lain mereka “terpaksa” melakukan perantauan budaya ke kosmologi dan mitologi baru bernama Indonesia.[]

dikopipaste dari jurnal nasional

1 comments:

artikel ini dari jurnas edisi berapa? mohon tautannya diperjelas. saya butuh tuk referensi skripsi. terima kasih.