RABU, 30 Agustus 2006, saya bertanya-tanya, mengapa di antara 5 wakil dari Dewan Kesenian Jawa Timur (Kadaruslan, Meimura, M. Fauzi, Bonari Nabonenar, dan W Haryanto) yang jauh-jauh hari sebelumnya diusulkan (didaftarkan melalui Biro Mental Spiritual Pemprov Jatim) untuk mengikuti Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV di Semarang (11 – 14 September 2006) hanya 4 orang yang menerima undangan. Saya, Bonari Nabonenar --yang bersama W Haryanto adalah pengurus harian dari Komite Sastra—justru tidak mendapatkan undangan untuk mengikuti KBJ IV di Semarang (11 – 14 September 2006).
Awalnya, saya lebih menduga bahwa undangan saya mungkin terkirim ke alamat yang salah atau ketlisut. Tetapi, kemudian timbul pula prasangka bahwa bisa saja saya ’dicekal’ karena, barangkali, saya dianggap sebagai orang yang bersalah karena memrakarsai Kongres Sastra Jawa (KSJ) I (Taman Budaya Surakarta, 6 – 7 Juli 2001) dan kemudian menjadi Panitia (Sekretaris) KSJ II (Sanggar Paramesthi, Semarang, 1 – 3 September 2006) yang semakin dianggap (terutama oleh Panitia KBJ) sebagai ’acara tandingan’.
Maka, saya lalu kirim SMS ke salah seorang pejabat Biro Mental Spiritual Pemprov Jatim, ’’Pak ... Nuwun sewu, sangertos kula rumiyin didaftarkan oleh komite sastra dkjatim. Upamia leres makaten, kula ngertos bilih sanes panjenengan ingkang nyoret naminipun ketua paguyuban pengarang sastra jawa surabaya menika. Nuwun.’’ [Pak, maaf, setahu saya dulu didaftarkan oleh Komite Sastra DK-Jatim. Andai betul demikian, saya tahu bahwa bukan Bapak yang menyoret nama Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya ini.] Saya sebut-sebut juga jabatan saya sebagai Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) untuk menyadarkan ’beliau’ bahwa kecuali ada alasan ’politis’, sebagai pengurus harian di Komite Sastra DK-Jatim ditambah sebagai Ketua PPSJS, saya adalah orang yang representatif, dan bahkan paling representatif dibandingan dengan 4 nama lain yang diusulkan tersebut.
Setelah beberapa kali tanya-jawab via SMS, saya menelepon, dan mendapat ketegasan dari Biro Mental Spiritual bahwa Pemprov Jatim mengirim daftar ke Panitia KBJ IV di Semarang dan nama saya termasuk yang diusulkan tetapi tidak tercantum pada daftar yang disetujui dari Semarang.
Saya juga mengirim SMS ke Prof Dr Setya Yuwana Sudikan sebagai Ketua Umum DK-Jatim (bukan atas dasar beliau sebagai Panitia Pengarah KBJ IV), dan bahkan saya sertai kata-kata yang menyatakan niat saya untuk mengundurkan diri dari kepengurusan DK-Jatim sebagai bentuk protes terhadap kasus ini.
Ada teman yang menyarankan bahwa niat mengundurkan diri dari Kepengurusan DK-Jatim adalah salah. Tetapi, sampai sejauh ini, saya masih menganggapnya relevan. Yang paling mengecewakan saya, sebetulnya bukanlah kenyataan bahwa saya tidak akan dapat mengikuti KBJ IV, acara yang justru saya nilai sebagai sangat mengecewakan itu, dan bukan pula oleh pencekalan terhadap saya, melainkan adalah buruknya komunikasi antara dua institusi (Biro Mental Spiritual Pemprov Jatim dengan DK-Jatim).
Keesokan harinya, berita pencekalan saya muncul di Harian SURYA yang menurunkannya setelah mengutip ANTARA dan melakukan wawancara via telepon dengan saya. Pada hari itu juga (Kamis, 31 Agustus 2006) setelah bertemu dengan wartawan Surabaya Post dan Kompas [Jatim] saya bersama Suparto Brata, Trinil Sri Setyowati, R Djaka Prakosa berangkat ke Semarang untuk mengikuti KSJ II. Di Semarang, saya semakin tahu bahwa aura pertentangan antara KSJ dengan KBJ ternyata memang sangat tajam. Sangat tajam. Jadi, kesimpulan saya sementara adalah bahwa saya memang dicekal oleh Panitia KBJ IV di Semarang. Dan itu tidak mengubah penilaian saya mengenai buruknya komunikasi antara Biro Mental Spiritual Pemprov Jatim dengan DK-Jatim. [BONARI NABONENAR]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment