PARO pertama bulan September 2006 ini Semarang disemarakkan dengan dua buah kongres: Kongres Sastra Jawa (KSJ) II (1 – 3 September) dan Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV (11 – 14 September). Banyak pihak berharap kedua kongres itu bisa dilebur menjadi satu, saling merangkul, saling mengisi, dan tidak diwacanakan sebagai dua kubu yang saling berhadap-hadapan seperti yang belakangan ini terasa semakin tajam.
Sejak awal, para penggiat KSJ telah menduga kemungkinan pemberian cap sebagai tandingan atas KBJ dan sekuat tenaga berusaha menepisnya. Menjelang KBJ III di Jogjakarta (Oktober 2001), kawan-kawan pengarang sastra Jawa yang disebut-sebut sebagai kaum yang lebih muda (seangkatan Sunarko Budiman, Keliek Eswe, Suwardi Endraswara, Yudhi Triantoro, dan lain-lain) memiliki perasaan yang kurang lebih sama: tidak puas atas pelaksanaan dan lebih-lebih tindak lanjut KBJ yang sudah dua kali diadakan (Semarang, 1991) dan Malang (1996). Di Panjebar Semangat, ketika itu, Sunarko Budiman malah menulis sebuah artikel yang isinya menyeru terutama kawan-kawan seangkatannya untuk menggelar KBJ tandingan. Pada saat yang sama saya membuat tulisan dengan harapan bisa dimuat di Jaya Baya. Judul tulisan saya adalah Kongres Sastra Jawa, Geneya Ora? Naskah itu (salinannya bisa dibaca di: www.nabonenar.blogspot.com) saya serahkan melalui salah seorang Redaktur Jaya Baya, Widodo Basuki, tetapi kemudian saya menerima kabar bahwa tulisan saya itu ditolak oleh Redaksi Jaya Baya.
Tidak seperti Sunarko Budiman yang memprovokasi untuk mengadakan KBJ tandingan, saya justru berkaca pada kehidupan Bahasa dan Sastra Indonesia: ada Kongres Bahasa Indonesia, Kongres Sastra Indonesia (?) Kongres HISKI (Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia), dan bahkan ada Kongres Cerpen! Lho, Cerpen pun bisa/boleh dikongreskan kok, mengapa kita ragu untuk menggelar Kongres Sastra Jawa? Demikian antara lain alasan saya.
Maka, lalu saya menulis dengan bahasa Indonesia, dan wacana perlunya Kongres Sastra Jawa pun beberapa kali muncul di Jawa Pos. Seingat saya ada Keliek Eswe, Tjahjono Widarmanto, dan entah siapa lagi ketika itu yang ikut-ikutan menulis di Jawa Pos soal perlunya Kongres Sastra Jawa itu.
Maka, pada suatu hari yang cukup hiruk, berangkatlah serombongan penggiat KSJ dari Surabaya, Tulungagung, Blitar (saya, Keliek Eswe, Yudhi Triantoro, Wahyudhie, Sunarko Budiman, Bagus Putu Parto, dan Harwimuka) ke Solo. Yang dijujug adalah kediaman Roeswardiyatmo di kawasan Tirtonadi. Daniel Tito yang sebelumnya menyatakan kesanggupannya, ternyata menderita pilek dan tidak jadi hadir. Tapi melalui telepon dia dengan ’’gagah berani’’ menyatakan dukungan sepenuhnya terhadap apa yang nanti diputuskan kawan-kawan. Dan benar juga, akhirnya Tito-lah yang didapuk sebagai Ketua Panitia KSJ I itu.
Pembicaraan di rumah Pak Roes berlangsung sangat seru, mengingat baru saat itulah orang-orang dengan pikiran di kepala masing-masing mengenai perlunya Kongres Sastra Jawa, dan akan jadi kongres seperti apakah kelak, saling beradu angan-angan, fantasi, plus argumentasi. Pembicaraan para tukang bercerita itu pun jadi semakin seru. Pasalnya, walau zaman sudah berganti nama ’Reformasi’ bayang-bayang ketakutan akan kemungkinan dicap sebagai tandingan dan diposisikan sebagai oposan terhadap kegiatan yang berlabel resmi punya Pemerintah (dan bukan main-main lho, KBJ itu proyek koalisi antara 3 pemerintahan: Pemerintah Daerah Jawa Timur, Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dan Pemerintah Daerah Istimewa Jogjakarta) masih mencuat begitu tajam.
Untunglah ada sosok yang dengan rendah hati berangkat dengan niat sebagai pupuk bawang, tetapi begitu sampai pada inti persoalan, dialah yang tampil sebagai tokoh. Ialah Bagus Putu Parto, yang antara lain mengatakan bahwa jika kami yang merasa berjiwa muda selalu dibayang-bayangi ketakutan, kami tidak akan pernah berbuat. Maka dalam tempo sesingkat-singkatnya, tekad orang-orang yang semula asyik sendiri-sendiri, dengan pola pikir masing-masing, tiba-tiba menjadi bulat: ’’Yang penting kita punya keyakinan bahwa apa yang kita lakukan dan apa yang akan kita lakukan adalah baik. Adapun jika kelak orang-orang berprasangka, kita akan meluruskannya sambil berjalan. Sebab, begitu kita berhenti, artinya: kita ketinggalan.’’
Maka, kloplah sudah ketika kawan-kawan dari 3 generasi: generasi Keliek Eswe, generasi Tito, dan generasi Roeswardiyatmo, bertemu dan disambut dengan baik, lalu difasilitasi oleh Kepala Taman Budaya Surakarta, Pak Murtidjono. Itu juga termasuk peristiwa yang ndilalah kersa-Ne Allah. Disebut ndilalah sebab bebasan ana bocah Surabaya mothah kok sing nulungi malah priyantun Sala!
Memang, pada akhirnya ada yang menyebut KSJ sebagai acara tandingan bagi KBJ, betapapun banyak pihak berusaha meyakinkan bahwa tidak masuk akal jika keduanya ditandingkan, sebab akan ibarat timun mungsuh duren. Tetapi, agaknya Panitia KBJ III sempat umyeg juga, antara lain terbukti, melalui Danu Priyo Prabowo (bagian dari Panitia KBJ II yang juga terlibat secara aktif di KSJ I) diundanglah beberapa teman yang terlibat KSJ I, melalui telepon karena waktunya sudah sangat mepet.
Dari kenyataan itu kita bisa membaca bahwa Panitia KBJ III ternyata jauh lebih akomodatif dibandingkan dengan Panitia KBJ IV. Keinginan untuk ’merangkul’ itu ditampakkan, tak peduli apakah itu tulus ataukah mung lelamisan. Ibarat orang tua, mereka sampai batas tertentu bisa ngemong mereka yang masih berjiwa muda. Bagaimana halnya dengan Panitia KBJ IV?
Dewan Kesenian Jawa Timur telah menunjuk dan mendaftarkan 5 orang untuk menjadi peserta/peninjau KBJ IV: Heri Lentho Prasetyo, Meimura, Wahyu Haryanto, dan Bonari Nabonenar (dua nama terakhir adalah Pengurus Harian dari Komite Sastra). Berdasarkan kabar yang bisa saya ikuti dari Panjebar Semangat, Pemprov Jatim (ditangani oleh Biro Mental Spiritual mengumumkan bahwa siapa pun boleh mendaftar untuk mengikuti KBJ IV secara gratis, hanya saja, berbeda dengan KBJ sebelumnya, Panitia hanya menanggung konsumsi dan perangkat kongres seperti makalah dan lain-lain, sedangkan akomodasi di luar acara kongres, termasuk biaya transportasi dan penginapan harus ditanggung oleh masing-masing peserta. Ketentuan itu pun belakangan konon melunak, yakni dengan informasi baru bahwa Pemprov Jatim akan membantu menanggung biaya transportasi dan penginapan para peserta.
Logikanya, ketika kuota terpenuhi, pendaftaran seharusnya baru ditutup. E, hari ini (Rabu, 30 Agustus 2006) saya melihat keempat teman saya menerima amplop berisi undangan untuk menjadi peserta KBJ IV sedangkan saya sendiri tidak menerimanya. Ada apa dengan saya? Jangan-jangan hanya karena ketlisut? Maka, saya segera menelepon Pak Bambang Febrianto, pejabat di Bintal Pemprov Jatim. Jawabannya, spontan, bahwa saya memang tidak diundang.
Loh? Berarti ditolak dong, usulan yang diajukan instansi yang bernama Dewan Kesenian Jatim itu? Mengapa tidak ada ba-bi-bu sebelumnya? Dan dengan entengnya dikatakan bahwa yang ’menyoret’ nama saya adalah Panitia (KBJ IV) Pusat di Semarang. Malahan saya diberi nomor HP Ketua Panitia Pelaksana untuk menanyakan langsung kepada beliau. Walah-walah!
Kepada teman-teman saya katakan bahwa saya bukannya getun karena tidak bisa mengikuti KBJ IV, sebab itu hanya berarti: saya tidak perlu melaksanakan amanat dari Dewan Kesenian Jawa Timur. Persoalannya adalah, pertama, ini jelas penolakan (terbaca dari jawaban Pak Bambang sewaktu saya telepon, yang spontan mengatakan bahwa saya memang tidak termasuk yang dapat undangan karena ditolak oleh Panitia Pusat), kedua, diakui atau tidak, alasan penolakan itu pastilah bersifat politis, yakni karena saya dicap sebagai salah seorang penggerak KSJ yang semakin diwacanakan sebagai tandingan KBJ itu.
Simpulannya tak lain adalah bahwa Panitia KBJ IV sedang ’terpancing’ tanpa kita ketahui dengan jelas siapa pemancingnya. Dan dengan demikian, kita juga jadi tahu siapa yang sebenarnya lebih ’muda’. Menggunakan bahasa olok-olok yang saya dapat pertama kali dari Pak Parto (Suparto Brata) saya bisa mengatakan bahwa di dalam Kepanitian KBJ IV agaknya ada oknum yang bisa dimasukkan ke dalam jenis manusia ’’awet enom’’. [BONARI NABONENAR]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment