Oleh: Darling Wirastri
Belakangan mencuat isu mengenai Kongres Sastra Jawa (KSJ). Saya sebut (masih) sebagai isu, karena sejauh ini KSJ baru berupa gagasan. Proposalnya pun belum jadi. Tempat pun belum dipilih: Blitar, Wonogiri, Surabaya, Solo, atau Semarang. Yogyakarta, tampaknya tidak dinominasikan sebagai tempat penyelenggaraan pertama KSJ yang masih dalam angan-angan itu. Pasalnya, Dalam waktu dekat, Juli 2001, di Yogyakarta akan digelar Kongres Bahasa Jawa (KBJ). Padahal, menurut rencana, KSJ bakal digelar hanya beberapa pekan sebelum KBJ. Mungkin juga dimaksudkan untuk mengurangi ketegangan, untuk menepis prasangka bahwa KSJ digelar untuk menandingi KBJ. Wah!
Beberapa hari yang lalu Bonari Nabonenar menelepon saya, mengatakan bahwa pada hari Minggu (24 Maret 2001) dia bersama beberapa anggota Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya dan anggota Sanggar Triwida, di antaranya: Widodo Basuki, Keliek Sugeng Wiyadi, Sunarko Budiman, Bagus Putu Parto, akan bertandang ke Solo, untuk berembug bersama Roeswardijatmo, Daniel Tito, dan lain-lain, sehubungan dengan rencana penyelenggaraan KSJ itu. Ketika saya tanyakan proposalnya, katanya juga masih akan dibicarakan bersama di Solo itu. Tampaknya, dugaan saya bahwa KSJ ini hanya akan ramai sebagai gagasan akan segera terbukti salah. Orang-orang ini tampaknya benar-benmar serius. Semoga!
Jika benar terlaksana, apalagi jika KSJ bisa digelar, selambat-lambatnya sebulan sebelum KBJ, KSJ akan menjadi ajang yang sangat bagus bagi pergelaran ide dan gagasan-gagasan para pengarang sastra Jawa yang selama ini kurang memperoleh saluran yang layak.
Boleh-boleh saja orang menilai KSJ sebagai mengada-ada, sebagai forum cari perhatian orang-orang yang kepingin diikutsertakan KBJ, sebagai forum gagah-gagahan, dan semacamnya. Tetapi siapapun tak berhak melarang dan menghambat-hambat gagasan yang menurut saya sangat cemerlang itu.
Sempat pula sampai ke telinga saya penilaian miring terhadap rencana KSJ ini. Dikatakan bahwa seniman, pengarang, termasuk pengarang sastra Jawa tak perlu diwadahi dalam organisasi, sanggar, atau apapunlah namanya. Tak perlu pula dibikinkan forum semacam sarasehan, seminar, apalagi kongres. Yang menentukan seorang pengarang makin kokoh sebagai pengarang bukanlah sanggar tempat dia bernaung, bukanlah seberapa banyak sarasehan, seminar, ataupun kongres yang diikutinya, melainkan ditentukan oleh seberapa hebat karyanya sebagai pengarang. Seberapa hebat guritan-nya, seberapa hebat crita cekak-nya, seberapa hebat crita landhung-nya, itulah yang menentukan kehebatan seorang pengarang sastra Jawa.
Bahwa yang menentukan kehebatan seorang pengarang adalah karyanya, siapapun tak dapat membantahnya. Tetapi keberadaan sanggar-sanggar yang menurut Suharmono Kasiun merupakan benteng pertahanan sastra Jawa itu, tidaklah adil jika dipandang sepele. Pun, seminar, sarasehan, kongres, betapapun tidak serta-merta membuat pengarang/penggurit sastra Jawa yang mengikutinya jadi pengarang/penggurit hebat, tentulah ada nilai positifnya. Seorang pengarang yang memiliki bakat dan kemampuan yang hebat, tentu akan jadi makin hebat jika dia tidak kuper (kurang gaul). Seperti ilmu beras yang jadi bersih bukan karena ditumbuk, melainkan karena pergesekannya dengan sesama beras. Bonari Nabonenar layak dijadikan contoh dalam hal ini. Mula-mula, seperti diakuinya, dia adalah pengarang kuper. Untuk mengantarkan naskahnya ke kantor redaksi Jaya Baya pun, dulu, dia tidak berani. Tetapi setelah Sita T Sita mengajaknya masuk Sanggar Triwida dan berkenalan dengan sesama pengarang Jawa, dalam waktu relatif singkat dia jadi pengarang yang gaul. Bukan hanya berani menemui redaksi, tetapi dia juga merasa perlu menemui pengarang besar bernama Esmiet di Sanggar Pari Kuning-nya, di Bumi Blambangan sana. “Seandainya saya tidak menjadi anggota Sanggar Triwida, barangkali juga saya tidak akan menjadi kenal sedemikian dekat dengan Tamsir AS yang kemudian mengajak saya untuk menjadi redaktur tabloid Jawa Anyar.” Demikian kata Bonari sambil mengenang jasa Tamsir AS (alm.).
Tentu, belajar dari pengalaman KBJ yang sudah 2 kali dilaksanakan itu, janganlah KSJ –jika jadi digelar— hanya jadi ajang kangen-kangenan, ajang rasan-rasan, dan berkeluh-kesah. Jangan pula KSJ membicarakan hal-hal yang terlalu ndakik-ndakik, terlalu muluk-muluk, dan melahirkan kesepakatan-kesepakatan, keputusan-keputusan, deklarasi, atau apalah namanya, yang terlalu melangit, sehingga susah direalisasikan. KSJ jangan terlalu utopis.
Pengarang sastra Jawa tak perlu merasa terpinggirkan. Sebab, di negeri ini, wilayah sastra memang wilayah pinggiran. Sastra Indonesia pun berada di wilayah pinggiran, sehingga di sekolah-sekolah sastra hanya ditempelkan pada mata pelajaran bahasa. Media berbahasa Jawa yang bersedia menampung karya sastra Jawa juga masih ada: Jaya Baya, Panjebar Semangat, dan Djaka Lodang. Ada pula buletin Pagagan yang diterbitkan Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta. Panggung buat pembacaan guritan, crita cekak, dan mendiskusikannya juga disediakan. Dewan Kesenian Surabaya, misalnya, telah mengagendakannya sebagai acara bulanan. Kampung Seniman-nya Bagus Putu Parto di Blitar, Dewan Kesenian Wonogiri, Taman Budaya Surakarta, adalah “panggung-panggung” yang tentunya selalu sedia menerima para penggurit dan pengarang sastra Jawa. Tinggal para pengarang Sastra Jawa sendiri, bersedia tampil atau lebih memilih jadi pengarang kuper. Penerbitan buku, antologi misalnya, adalah wilayah yang selama ini kurang mendapat perhatian dalam sastra Jawa. Ini mestinya bisa jadi bahan pembicaraan yang cukup gayeng di arena KSJ nanti.
Ketertinggalan sastra Jawa mutakhir oleh sastra Indonesia tentu merupakan bahan diskusi yang menarik pula. Dulu ada Intojo, lalu St Iesmaniasita yang memasukkan semangat sastra (Indonesia) ke dalam sastra Jawa. Maka, getar-getar semangat angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, dan Angkatan 45 dalam sastra Indonesia mewarnai kasanah sastra Jawa pada waktu itu. Kini, ketika Korrie Layun Rampan memproklamasikan Angkatan Sastrawan 2000 –lepas dari persoalan pro dan kontra-nya— ketika Korrie telah pula menerbitkan buku tebal Leksikon Susastra Indonesia, apa yang terjadi dalam sastra Jawa? Apakah sastra Jawa mutakhir puas hanya dengan Kalangwan-nya Zoet Mulder, Antologi Sastra Jawa Mutakhir-nya JJ Raas, dan Guritan: Antologi Puisi Jawa Modern Tahun 1940-1980-nya Suripan Sadi Hutomo? Kini, Suripan Sadi Hutomo dan Poer Adhie Prawoto –dua orang yang selama ini dikenal sebagai kreator, kritikus, dan sekaligus sebagai dokumentator sastra Jawa sudah tidak lagi berada di tengah-tengah kita. Kepada siapa kita berharap? Inilah yang mestinya jadi kegelisahan sastra Jawa sekarang.
Penyusunan Leksikon Susastra Jawa, Antologi Crita Cekak, Antologi Guritan, dan kalau perlu memperkenalkan sastrawan Jawa milenium III, Sastrawan Jawa Generasi 2000, atau apalah namanya, tampaknya bisa jadi proyek besar yang bisa digarap. Karena KSJ merupakan forum pertemuan para pengarang yang sangat representatif, tampaknya proyek-proyek besar itu bisa dimulai dari situ. Dari KSJ itu.
Ah, mengapa mesti mengekor sastra Indonesia? Barangkali Anda bertanya begitu. Tidak mau mengekor, walau hanya sementara? Artinya memungkiri ketertinggalan itu? Atau, kalau perlu kita bikin saja lompatan spektakuler sehingga sastra Jawa bisa dikatakan lebih maju daripada sastra Indonesia. Tapi, bagaimana caranya? Hm. Siapa tahu KSJ bisa menjawabnya?*
* dari Surya, Jumat, 6 Juli 2001
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment