Tuesday, March 4, 2008

Hidup Mati Sastra Jawa, Ada di Tangan Tuan

Oleh: Bagus Putu Parto

Sastrawan Jawa yang dua kali memenangkan hadiah Rancage dan Ketua Sanggar Pari Kuning Banyuwangi, Esmiet, meramalkan bahwa lonceng kematian sastra Jawa yang akan berdentang pada pukul 9 pagi pada sebuah hari di tahun 2009. Lalu, Bonari Nabonenar pun berteriak, ”Kalau sastra Jawa mati sekarang, saya tidak akan menangisi. Tapi, kalau hidupnya cuma begini-bigini saja, saya merasa perlu berteriak!”



Saya menilai, di balik lontaran itu ada satu sikap beriba-iba para sastrawan Jawa, rasa pengecut –lempar batu sembunyi tangan; siapa yang bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup sastra Jawa?
Sekarang, di kalangan sastrawan Jawa sedang beredar gagasan --kabarnya malah sudah bersiap-siap-- untuk menyelenggarakan Kongres Sastra Jawa (KSJ). Urgenkah? Apakah hidup dan mati-nya sastra Jawa hanya ditentukan keberlangsungan sebuah kongres?

Sementara, secara teknis, untuk merealisasi gagasan KSJ yang nota bene untuk dirinya sendiri pun, naga-naganya para sastrawan Jawa saling lempar, siapa yang harus menyelenggarakan kongres itu? Apakah harus menunggu ularan tangan pemerintah sebagai penyandang dana KSJ? Seperti halnya berlangsungnya Kongres Bahasa Jawa III yang diselenggarakan di Yogyakarta 15-21 Juli mendatang, yang “mewajibkan” setiap Pemda Tingkat II mengirimkan 5 peserta plus biaya akomodasi dan transportasinya? Dan bisa ditebak, yang dikirim sebagai peserta tentu para birokrat, yang kesehariannya, di luar KBJ, tak pernah sedetikpun memikirkan nasib bahasa dan sastra Jawa. Hingga, sekembalinya dari KBJ pun jangan diharap akan memberikan follow up bagi perkembangan sastra Jawa. Jadi, pada akhirnya kita hanya terjebak pada kegiatan-kegiatan seremonial dan buang-buang uang saja.

Maka, melihat realita seperti itu, sangat tepat bila kalangan sastrawan segera lompat pagar, untuk membuat forum yang lebih representatif, antara lain dengan menyelenggarakan KSJ. Meski kongres bukan satu-satunya tiang penyangga bagi hidup dan matinya sastra Jawa, setidaknya perlu adanya ruang omong-omong yang lebih suntuk bagi para tuan-tuan sastrawan Jawa untuk membangun dunia sendiri. Kalau KSJ tidak segera terealisasi, rasanya kita perlu malu pada ejekan Narko Sodrun bahwa “Sastrawan Jawa kurang nggetih! Maksudnya, kurang total dalam menerjuni dunia sastra Jawa. Atau, menurut istilah Tjahjono Widijanto, “Kurang gila!”

Saat ini nasib sastra Jawa memang tidak baik, apalagi kalau perkembangannya hanya bersandar pada sosialisasi di beberapa majalah berbahasa Jawa: Panjebar Semangat, Jaya Baya, dan Djaka Lodang yang oplahnya sangat “fantastis” itu. Fantastis bukan karena besarnya, tetapi karena kecilnya, sehingga seorang pemilik koran yang sudah mapan mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana media berbahasa Jawa itu bisa bertahan!” Maksudnya, dengan oplah yang sedemikian kecil itu! Tidak seperti pada dekade 80-an di mana majalah berbahasa Jawa menjadi maskot bacaan di masyarakat pedesaan. Sekarang majalah berbahasa Jawa kehilangan pamor. Tidak bisa dipungkiri, arus informasi yang lebih canggih dikuasai media berbahasa Indonesia dan media elektronika.

Tanpa mengurangi rasa hormat pada kawan-kawan sastrawan Jawa, saya menilai bahwa banyak sastrawan yang hanya berhenti mengarang di belakang meja, lalu melempar ke media massa, selesai. Sikap seperti ini sangat tidak menguntungkan perkembangan sastra Jawa. Mereka seakan-akan membiarkan nasib sastra Jawa secara alami. Tidak mungkin kita berharap sepenuhnya pada para redaktur, untuk menciptakan iklim sastra Jawa yang kondusif lewat medianya. Belum lagi harus memberi kesempatan pengarang-pengarang pemula untuk muncul dalam perbincangan. Terlalu berat beban yang kita pikulkan di pundak redaktur.

Saat ini, di daerah-daerah hidup sanggar-sanggar sastra Jawa. Sebut misalnya SSJY-Yogyakarta, PPSJS-Surabaya, PSJB-Bojonegoro, Pari Kuning –Blambangan, Triwida-Tulungagung, dll. Sanggar-sanggar itu eksis dengan metode pembinaan khas komunitasnya masing-masing. Misalnya SSJY dengan metode formal lewat seminar, diskusi, pemanggungan sastra di Taman Budaya Yogyakarta, juga penerbitan buletin sebagai media komunikasi dan sosialisasi karya anggota sanggarnya. Lain lagi dengan sanggar Triwida yang jauh dari sifat formal, lewat anjangsana “arisan” antaranggota, sambil guyon-guyon ngritik sana-sini, sebagai upaya penggairahan iklim berkarya.

Metode itu mengingatkan etos kerja yang dilakukan para sastrawan Indonesia yang tergabung dalam Kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) pada awal 90-an. Akhirnya dapat menggairahkan serta memberi rasa percaya diri sastrawan di daerah untuk membuat oase kesenian di kantung masing-masing.

Apakah sudah cukup, ketika sanggar-sanggar membuat basic-basic pertahanan bagi kelangsungan hidup sastra Jawa? Saya kira, agar selalu diperbincangkan di permukaan, sastrawan Jawa perlu “cerewet”. Tidak perlu ewuh-pakewuh lagi beradu pemikiran lewat media tulis maupun diskusi. Selain menciptaan iklim berpikir di kalangan sastrawan Jawa, juga sebagai pengembangan manajemen isu politis berkesenian. Dengan adanya konflik menunjukkan bahwa sastra Jawa itu masih hidup dan dinamis.

Selain itu, perlu adanya juru bicara yang tidak sekedar membicarakan “sanggar-isme”, tetapi seluruh karya sastrawan Jawa di tanah air. Bila perlu karya saudara-saudara kita di Suriname. Dunia sastra Jawa merindukan kehadiran seorang ”Korrie Layun Rampan” untuk menyusun buku Leksikon Sastra Jawa, misalnya. Kalau perlu disusun pula buku semacam Sastrawan Angkatan 2000-nya Korrie itu.

Di forum KSJ versi sastrawan, kita bisa omong-omong lebih suntuk tentang nasib sastra Jawa. Kampung Seni dengan bumi perkemahan dan aroma pedesaan daerah Blitar, pernah saya tawarkan untuk program ini kepada beberapa pekerja sastra Jawa. Di tangan sastrawanlah hidup-mati sastra Jawa. Maka, teriakan Bonari Nabonenar perlu ditip-ek tebal. Dengan penuh optimisme, bersama-sama kita membentang spanduk, “Sastra Jawa Tidak Boleh Mati.”


* Tulisan ini pernah dimuat Jawa Pos (menjelang KSJ-1)

0 comments: