Oleh BUDI WAHYONO
Ketika sastrawan Jawa Sugeng Wiyadi alias Keliek Eswe mengirim SMS sebuah media di Solo membuka rubrik Jagad Jawa, maka yang segera terbayang adalah sebuah media yang secara konvensional masih patuh pada rubrik klise berisi cerkak (cerita pendek), geguritan (puisi), artikel, dan teknik mengajar bahasa dan sastra Jawa. Dugaan saya tidak terlalu meleset, beberapa edisi yang muncul merefleksikan barisan rubrik itu.
Pertanyaan yang bergegas menukik dalam ingatan kolektif, mampukah keberadaan suplemen semacam itu bertahan dalam menjaga kelangsungan? Catatan bernada getir tiba-tiba menghadang. Beberapa media berbahasa Jawa kenyataannya banyak yang gulung tikar.
Sebuah surat kabar di Jateng yang membuat suplemen serupa toh juga tidak bertahan lama. Majalah Mekar Sari, yang diharap terus bersanding dengan Djaka Lodang, Panyebar Semangat, Jaya Baya, kini berubah bentuk.
Akan tetapi, optimisme memang harus dibangunkan. Ketika pendidikan jenjang SLTP dan SLTA memiliki jam pelajaran bahasa Jawa, "roh institusi" itu langsung diangkat kuat-kuat banyak pihak.
Keterbatasan kondisi yang menuntut pembelajaran bahasa Jawa segera terlaksana, praktis menjadikan guru bahasa Jawa laris manis. Fenomena sekaligus bangkitnya kekuatan warna lokal ini, mampukah merekonstruksikan bahwa rubrik-rubrik bahasa Jawa di media kelak akan menunjukkan kejayaan? Semuanya tergantung pada mobilitas pendukungnya. Logika matematisnya, jika jumlah guru tambah banyak, mahasiswa tergerak menjadi peneliti, anak-didik dituntut membuat tugas yang terkait dengan perkembangan bahasa Jawa, media berbahasa Jawa akan menjadi tumpuan referensi.
Lebih bercitra intelek lagi kalau para guru dan mahasiswa mau dan mampu menulis ulasan serta karya kreatif, maka kompetisi produktivitas akan lebih terjaga. Jika harapan ini terwujud, pertanda bahwa panen sastra Jawa tidak akan mengalami musim paceklik seperti yang sudah-sudah.
Menguak "kuburan" koran bahasa Jawa di Solo, orang tidak akan melupakan jasa Dharma Nyata, Dharna Kandha, serta Parikesit. Mingguan Parikesit ketika dijaga sastrawan Poer Adhie Prawoto, cukup memberi peluang generasi muda tergerak menulis cerpen, cerita remaja, cerita anak berbahasa Jawa. Beberapa nama yang masih saya ingat produktivitasnya, antara lain Keliek Eswe, Tofik Rochadi, Bambang Budiyanto, Didit Setyo Nugroho, Nurhayati Ngatiyo, Waris, Emerwete-yang sebagian besar adalah warga dari Wonogiri.
Sekalipun karya-karya sastra yang dihasilkan cukup menyalak, tampaknya lahan yang tersedia di Parikesit belum mampu menampung "limbah produktivitas" para pengarang Wonogiri itu. Selanjutnya, Keliek Eswe, Roeswardiyatmo Hs, Suharno Prihutomo, Bambang Karno, dan penulis beramai-ramai menerbitkan buletin Dinamik untuk konsumsi lokal. Di tahun 80-an, media stensilan itu kami bagi secara gratis di sekolah-sekolah, kantong budaya, termasuk para seniman luar kota.
Kegiatan Forum Dinamik tidak sebatas penerbitan. Kami juga menghardik para pelajar untuk huru-hara mengikuti lomba berpuisi. Dengan menggandeng RSPD Wonogiri yang punya acara Puisi dan Lagu dan diasuh oleh Tok Indratno, kami sering mengundang para sastrawan Jawa untuk membeberkan proses kreatifnya.
Gegap-gempitanya serta letupan arus sastra tersebut bagi kami adalah sejarah megah. Mustahil terulang karena kami sudah tersebar di pelosok kota dengan kesibukan masing-masing. Kami berharap para sastrawan lokal berprestasi nasional yang kini masih bermukim di Wonogiri bisa melanjutkan jejak-jejak idealisme yang kami tinggalkan.
Harapan ini tidak muluk-muluk. Toh, di Wonogiri masih ada Roeswardiyatmo Hs yang cerkaknya juga dimuat dalam buku karya JJ Raas, dosen universitas Leiden. Menetap di kota kecil ini novelis Sri Sugiyanto, Parpal Porwanto, Arih Numboro, Tri Wiyono, Eko Hartono, Didit Setyo Nugroho, Achmediyatmo, Sutarmanto, dan Suliyanto yang produktivitasnya mengalir deras.
Kumpulan cerita pendek yang diberi catatan oleh Begug Poernomosidi di bagian sampul belakang ini berisi 12 cerkak. Keliek Eswe dan Siswanto memberikan catatan kritis.
Terasa paradoks memang. Kota kecil yang selama ini dikenal dengan penduduk suka merantau sebagai bakul bakso dan jamu gendong, ternyata di tengah lilitan ekonomis masih menyimpan magma sastra luar biasa. Perspektif antropologis dan sosiologis semakin menguatkan fakta bahwa situasi yang mengungkung bisa menumbuhkan tunas-tunas kreativitas. "Kekuatan" lingkungan menjadi kubangan inspirasi yang tidak pernah kering. Dalam skala besar yang lebih berbau politis, kita bisa membenarkan kehebatan seorang Pramudya Ananta Toer atau Subron Aidit yang menelorkan novel berbobot liteler.
Sastra dari pedesaan adalah sebentuk imbangan kreatif yang memberi warna lain jika dibandingkan dengan sastra metropolitan. Kompleksitas persoalan yang dipaparkan jauh dari kondisi relatif kaum urban yang sudah menikmati gaya hidup "wah". Kita tentu kurang pas kalau mengomporasikan tema, setting, plot sastra Jawa dengan nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik yang digarap Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, maupun Moamar Emka.
Sama-sama mendeskripsikan jeritan batin rakyat, medium sastra Jawa terasa legitimate ketika menjemput kompleksitas persoalan pedesaan. Lebih memiliki power realitas dan membumi.
Dalam amukan kreatif pengarang-pengarang dari Wonogiri, selain bertebaran di media (terutama bahasa Jawa), masih bisa kita lacak pada kumpulan puisi Jawa Bujana Suci (1986), Tengara (1998), dan kumpulan cerkak Kabar saka Tlatah Cengkar.
Catatan pendek ini mudah-mudahan mampu menyemangati para sastrawan Wonogiri untuk tidak berkecil hati berkubang pada dunia pilihannya, sastra Jawa.
BUDI WAHYONO Guru sebuah SMK di Semarang
Tanggal: 10 Apr 2007
Sumber: Kompas
Dikopas dari: situs prakarsa rakyat
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment