Oleh: Siti Aminah
[3]
Sesungguhnya, dunia sastra adalah dunia pemikiran pula. Karya sastra adalah fiksi, adalah dunia rekaan, tetapi terlalu kejam untuk menyebutnya hanya sebagai hasil angan-angan belaka. Dan Tiwik SA yang kemudian mengantologikan karya-karya crita cekak-nya dan memberinya judul Kembang Lamunan, adalah bukti betapa seorang Tiwik rtelah begitu merendahkan dirinya, atau jangan-jangan memnmang ia beranggapan bahwa karya sastra tak lebih hanya bunga (baca: busa) angan-angan.
Kita perlu menengok ke belakang, ketika pengarang (baca: pujangga) masih “dipelihara” oleh kerajaan. Pada kala itu pun punjangga sudah berani kritis dengan pemikiran cerdasnya. Bahwa mereka tidak berani terang-terangan, memakai simbul untuk melancarkan kritiknya, itulah justru tugas karya sastra. Selain itu, pujangga kala itu tentu juga telah memperhitungkan bahwa melancarkan kritik kepada penguasa, raja, secara terang-terangan adalah tindakan bunuh diri. Maka, pikiran-pikiran jahat Ken Arok pun dilambangkan dengan keluarnya ribuan kelelawar dari dalam kepala Ken Arok yang sedang tidur.
Zaman Balai Pustaka dalam peta sejarah Kesusastraan Indonesia Modern pun diwarnai oleh maraknya karya sastra yang menentang adat yang dinilai tidak baik, misalnya kawin paksa.
Dalam sastra Indionesia pengarang memiliki kredonya masing-masing, baik yang mengemukakannya terang-terangan macam Sutardji Calzoum Bachri atau yang tidak mengumumkannya. Itu bisa dijadikan bukti bahwa mereka sadar akan hakekat sastra sebagai dunia pemikiran.
Nah, pertanyaannya sekarang adalah, sudahkah kita melihat pemikiran yang benar-benar cerdas mewarnai karya-karya fiksi para pengarang/penyair sastra Jawa? Jika cukup dengan menyebut satu dua nama, mungkin kita akan mendapatkan kenyataan yang menggembirakan. Tetapi kita akan terbelalak manakala kita generalisasi, ternyata bahwa memang karya-karya panglipuir wuyung, klangenan, begitu dominan dalam sastra Jawa modern.
Apalagi jika perspektifnya kita persempit ke wilayah keperempuanan. Seorang peneliti menyebut-nyebut Yunani sebagai pengarang perempuan sastra Jawa yang menyuarakan feminisme. Tetapi saya tidak yakin bahwa feminisme itu cukup kental dalam karya-karya Yunani. Apa artinya berteriak-teriak menentang dominasi laki-laki atas perempuan, jika pada akhirnya si pengarang tidak bisa menghindar dari ending cerita yang tetap memenangkan laki-laki, dengan alasan memang demikianlah kenyataannya di dalam masyarakat, misalnya?
Pada FKY tahun ini di Yogyakarta (di Kampus IKIP Karangmalang) seorang pengarang perempuan menanggapi komentar Dr. Setya Yuwono bahwa rata-rata pengarang sastra Jawa berpendidikan rendah (jarang sarjananya) dengan pernyataan yang cukup lucu, kurang lebih begini, “Nah, itulah bnukti bahwa pengarang sastra Jawa lebih hebat daripada para pengarang sastra Indonesia. Baru lulus SMA saja orang Jawa sudah bisa jadi pengarang, sementara dalam jagad sastra Indonesia, yang sudah S-2 dan bahkan doktor pun belum tentu tulisannya bagus.” Ada benarnya memang, jika yang dimaksud pengarang adalah tukang membuat cerita, asal bercerita, tanpa tanggung jawab moral akan dikemanakan sebenarnya ceritanya itu.
Kebanyakan pengarang sastra Jawa adalah guru. Ada sih dari profesi lain, bidan, polisi, mantri pertanian, dan di Jogjakarta ada yang berprofesi sebagai pembuat abon. Dan lihatlah sastra Indonesia yang memiliki penyair dari Fakultas Kedokteran (Handrawan Nadesul, Taufiq Ismail), berprofesi sebagai pengacara (Todung Mulya Lubis), Bahkan sejarawan yang kemudian menjabat dsebagai menteri semisal Nugroho Notosusanto. Nah, sastra Jawa punya apa?
Tapi, kembali ke persoalan keperempuanan dalam sastra Jawa, ibarat di tengah kegelapan, kita boleh berharap dari seorang Siti Aminah, aktivis (bekerja di LSM Perempuan), masih muda, masih enerjik. Boleh jadi karena ia seorang aktivis LSM Perempuan, ia membuktikan bahwa pernikahan tidak menghentikan kreativitasnya. Hanya satu hal yang mengkhawatirkan, yakni godaan sastra Indonesia, karena tulisan-tulisan berbahasa Indonesianya mulai bermunculan. Kita tunggu saja.[]
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment