"URIP iku O, obah/O-mu/O-ku/nyawiji, kaya banyune kali/O, banjir bandhang/rumesep ing dhasare lemah/O, dadi sangkrah/mlebu samodra/O, dadi ombak/tiba kepanasan/O, dadi udan/ing sesane grimis kadya mimis/tumancep ing O-mu ing O-ku/O/O-mu ibu!"
SASTRA Jawa belum mati. Dan Widodo Basuki membuktikannya. Di kampus Fakultas Bahasa dan Seni Unnes Sekaran Gunungpati, Semarang, Kamis (9/6) malam lalu, sastrawan Jawa itu membacakan karya-karya geguritan (puisi berbahasa Jawa) miliknya dalam acara ''Apresiasi Medhitasi Alang-alang" yang diadakan Teater Satu Indonesia.
Di bawah sorot lampu temaram, penyair Surabaya itu bersajak. Beberapa puisi yang dia bacakan berasal dari buku kumpulan geguritan terbaru miliknya, Medhitasi Alang-alang. Sebut saja "O", "Dzikir", "Layang Saka Tlatah Wetan", dan "Cerita Sandhuwure Kreta".
Filosofi
Tak cuma bersajak, malam itu Widodo juga didaulat menjadi pembicara tunggal. Maka, jadilah penerima anugerah sastra "Rancage" tahun 2000 itu bersaksi tentang buku terbarunya tersebut, eksistensi geguritan, nasib sastra jawa, dan pengembaraan hidup yang mengilhami karya-karyanya.
Menjawab pertanyaan bernada menggugat soal judul buku, redaktur majalah berbahasa jawa Jayabaya tersebut menjelaskan filosofi yang melatarinya.
Istilah "medhitasi" sebagai pengganti kata "semedhi" untuk menjelaskan betapa banyak karya geguritan yang ia tulis berasal dari proses perenungan.
"Saat berjalan di lingkungan kampus Unesa (Universitas Negeri Surabaya- Red) saya melihat banyak alang-alang. Meski berulangkali dibabat dan dibakar, ia tetap tumbuh," paparnya.
Menurut Widodo, makna dari judul bukunya itu tidak lain kepasrahan total untuk menyerahkan segala sesuatu dalam hidup pada sang Pengatur.
Meski demikian, tak semua geguritan yang ditulis penyair kelahiran Trenggalek, 18 Juli 1967 itu sebagai buah perenungan.
"Cerita Sandhuwure Kreta", misalnya, tercipta begitu saja saat ia berada di dalam gerbong kereta api Bandung-Jakarta.
"Menulislah. Ilham atau imajinasi bisa tercipta dari pengalaman hati. Jatuh cinta, suka cita, atau kecewa semuanya bisa menjadi inspirasi."
Dalam acara itu, karya-karya Widodo juga dibaca beberapa peserta diskusi, seperti dosen Bahasa Jawa FBS Unnes Drs Teguh Supriyanto MHum dan perupa Bowo Kajangan. (Abduh Imanulhaq, Rukardi-45)
Suara Merdeka, Sabtu, 11 Juni 2005
Mengorbit dengan Tulisan Kreatif
7 years ago
0 comments:
Post a Comment