Wednesday, March 5, 2008

Membangun Solusi Persoalan Publik

Oleh Redi Panuju

Tak terasa, siaran televisi "lokal" JTV yang bermarkas di Gedung Graha Pena telah empat tahun mengudara. Jinggel (jingle) yang berbunyi "JTV Rek!" sudah begitu akrab di telinga pemirsa, sehingga sering ditirukan. Mampu menandingi jingle stasiun televisi lain seperti "….Ngetop", "….Okey", "….Satu untuk Semua".



Pemirsa tidak cukup tahu kepanjangan JTV. Sebab, JTV jarang memberitahukannya. Saya kira, kepanjangan itu tidak penting bagi pemirsa. Pemirsa justru mengindektikkan kata "Rek" sebagai sapaan akrab yang bermakna penting. Sebab, sapaan itu sudah menunjukkan orientasi segmentis televisi itu sekaligus pilihan pendekatan kulturalnya sebagai muatan lokal.

Hal tersebut menunjukkan bahwa siaran JTV telah memasuki tahap penetrasi. Tidak sekadar menyampaikan informasi, tetapi sudah jauh dari itu. Yakni, mampu menjadi pilihan (preferensi) pemirsa. JTV dalam beberapa hal telah mampu mempengaruhi sikap, pikiran, maupun ekspresi kata-kata pemirsanya dan memperkuat kebanggaan masyarakat Jawa Timur terhadap nilai-nilai lokal.

Memang, sebagai televisi komersial, JTV tak akan mampu melepaskan diri dari tuntutan kecenderungan pasar. Yakni, menjadikan hiburan (entertainment) sebagai faktor deterministik (menentukan dan dominan). Sebab, ranah hiburan ini memang muatan yang dianggap "pembeli" acara sebagai komoditas penting. Dimensi hiburan dipandang sebagai instrumen efektif mendekatkan dirinya (barang dan jasa) dengan konsumen.

Karena itu, bisa dimaklumi bila sebagian besar muatan acara JTV ditujukan untuk menghibur. Bahkan, dalam banyak hal, JTV mesti luruh (kalau tak dapat dibilang menyesuaikan diri) dengan kecenderungan televisi komersial pusat (Jakarta). Misalnya, infotainment dan objek liputan seputar dunia artis atau selebriti tak begitu berbeda dari televisi Jakarta. Soal acara pentas musik dan film, setali mata uang dengan televisi pusat. Namun, saya melihat JTV tak mau menyerah begitu saja dengan keperkasaan kapitalisme yang mencengkeram hidup mati dunia media massa. "Perlawanan" terhadap keperkasaan pusat itu tampak dari muatan lokal yang coba dilesakkan.

Muatan lokal yang dimaksud bukan sekadar cara berbahasa yang khas Jawa Timur-an (Suroboyo-an) seperti dalam Pojok Kampung, Kembang Sore, Omah Doyong, Mak Bongky, Cangkuk’an, atau Ludrukan khas Kartoloan dan kesenian Kentrung ala Fancky ITS. Muatan lokal yang lebih penting menurut saya adalah keinginan JTV menyampaikan persoalan krusial publik Jawa Timur.

Dalam Kembang Sore, misalnya, tampak kepedulian JTV mengomunikasikan persoalan-persoalan aktual masyarakat dengan mengundang para pakar merumuskan analisisnya. Lalu dalam acara Sorot, tampak JTV menginginkan persoalan publik digali dan dikaji lebih dalam melalui pola liputan investigasi (investigated reporting).

Beberapa waktu lalu, saya sempat menonton tim investigasi JTV yang sangat berhasil menguraikan persoalan implementasi dana bantuan operasional sekolah (BOS). Keberhasilan liputan bisa diukur dari ketepatan mengungkapkan fakta (validitas), mengonstruksikan fakta menjadi persoalan, dan menghadirkan narasumber yang komprehensif (mempunyai relevansi dengan persoalan), berimbang (balance), serta memberikan alternatif solusi.

Mendekatkan problematika masyarakat kepada pemirsa, tampaknya, lebih penting daripada sebatas penggunaan bahasa dan dialek lokal. Upaya menyodorkan problematika lokal sama dengan media ini bersedia menjadikan institusinya sebagai pihak yang membantu merumuskan hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat. Bukan berarti JTV lebih tahu daripada masyarakat, namun berkaitan dengan fungsi media yang cenderung menyadarkan publik.

Sebuah persoalan yang telah berkutat puluhan tahun dalam suatu masyarakat sering tidak pernah dianggap sebagai masalah (bahkan dianggap biasa). Baru ketika media massa mengangkatnya dalam formulasi ironi, masyarakat menyadari bahwa ternyata hal yang dianggap biasa puluhan tahun itu sesungguhnya merupakan masalah. Media massa seperti sedang membangunkan pemirsa dari "tidur" yang lelap.

Keadaan seperti ini pasti menciptakan kontroversi. Sebab, tidak semua orang setuju dibangunkan dari tidurnya. Apalagi, penyadaran yang dibangun JTV membuat kerugian atas sejumlah kepentingan serta keuntungan yang selama ini bisa dinikmati dengan tenang. Karena itu, JTV pasti akan menuai kritik dari mereka yang terganggu. Inilah sebuah risiko yang harus dihadapi media apa pun yang mempunyai komitmen membantu publik merumuskan masalahnya.

Namun, di balik itu semua, terselip keluhuran yang pasti didukung publik lain. Dalam banyak hal, JTV telah berhasil menciptakan agenda sosial yang bersifat mobilitatif. Misalnya, pengajian Ustadz H Haryono atau acara Fine-bike yang dihadiri ribuan peserta. Itu merupakan sebuah prestasi mendekatkan institusi dengan publik secara langsung (off-air). Namun, dalam jangka panjang, mobilisasi fisik tersebut juga harus disertai mobilisasi intelektual.

Sebab, di situlah sesungguhnya letak parameter keberhasilan sebuah media sebagai agen perubahan (agent of change). Media mampu mendorong transformasi sosial dari statis menjadi dinamis. Dari partisipasi yang sekadar melu grubyuk gak ngerti rembuk (sekadar ikut ikutan) menjadi partisipasi yang kritis (tahu alasannya mengapa ikut berpartisipasi). Dengan kata lain, tantangan ke depan JTV adalah membangun pemirsa yang mempunyai kecerdasan merumuskan permasalahan yang dihadapinya.

Saya kira, bila muatan pesan seperti itu menjadi tren, menjadi ikon televisi ini, sponsorship pasti tak akan menutup mata terhadap realitas preferensi yang berkembang di masyarakat. Dan, mereka pasti akan kompromi terhadap keadaan. Berarti, secara tidak langsung, kapitalisme pasar akan terdidik oleh konsistensi stasiun televisi. Jadi, masyarakat akan mengikuti terus JTV. Apakah akan menyerah terhadap keperkasaan kapitalisme pasar atau justru bisa mengalahkannya bersama-sama dengan pemirsa? Maju terus, Rek….! []


Redi Panuju
Mantan Purek I Universitas Dr Soetomo


Jawa Pos Jumat, 02 Des 2005

0 comments: