Tuesday, March 4, 2008

Mengingatkan Panitia Peringatan HUT Kota Surabaya

Ini sudah bulan Maret, lalu April, dan kemudian datanglah bulan Mei, yang di dalamnya terdapat hari yang diperingati sebagai Kelahiran Kota Surabaya yang lumayan ’’heboh’’ ini. Biasanya, Pemkot Surabaya mengelar acara-acara yang ’’heboh’’ pula untuk memeriahkan HUT Kota Surabaya: pawai atau arak-arakan, pentas musik, pesta kembang api, dan lain-lain.


Dunia mengakui patriotisme Arek-arek Surabaya tahun 1945, ketika terjadi pertempuran hebat 10 November yang kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan Nasional (Indonesia) itu. Dari cerita-cerita yang tertulis maupun yang dituturkan dari mulut ke telinga, kita bisa menangkap kesan heroisme itu. Tanpa keberanian luar biasa, tanpa kecintaan terhadap tanah-air yang luar biasa pula, tak akan terjadi pertempuran 10 November 1945 itu. Arek-arek Surabaya hanya bermodalkan granggang (bambu runcing) dan ketapil, sedangkan lawan yang dihadapi bersenjatakan bedhil, pistol, dan bahkan meriam. Sungguh susah dicerna akal jika kemudian kita, Arek-arek Surabaya itu, lalu keluar sebagai pemenang, betapa pun sekian banyak nyawa gugur sebagai kusuma bangsa, dan sekian banyak tubuh terluka. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya, dan itu telah menjadi bagian dari sejarah Kota Surabaya, sejarah Bangsa Indonesia.

Lalu, apa hubungannya dengan Peringatan HUT Kota Surabaya yang jatuh pada hari, tanggal, serta bulan yang berbeda dengan Hari Pahlawan Nasional itu? Hubungan yang pasti adalah bahwa keduanya bertalian langsung dengan eksistensi Kota Surabaya. Menurut Suparto Brata [sastrawan yang juga pensiunan pegawai Pemkot Surabaya] kemeriahan yang selalu ditonjolkan setiap acara Peringatan HUT Kota Surabaya bisa menjadi kontraproduktif ketika ia justru mempersempit ruang untuk mawasdiri, mengenang sejarah Surabaya, dan kemudian menimba modal semangat untuk menatap dan berbuat untuk masa kini dan masa yang akan datang.

Ada sebuah proyek yang diusulkan Suparto Brata, yang bisa dikerjakan serangkaian dengan Peringatan HUT Kota Surabaya, yakni mendokumentasikan penuturan para saksi mata/pelaku Pertempuran 10 November 1945 yang sekarang masih hidup, untuk melengkapi bahan-bahan tertulis yang ada selama ini.

’’Inilah kelemahan bangsa kita, bangsa yang segan menulis. Sedang omongan itu bisa berkembang atau menyusut seiring waktu. Bukannya kita tidak percaya terhadap sejarah resmi yang tertulis selama ini, tetapi semakin banyak versi penuturan tertulis akan semakin baik. Karena itulah saya banyak memasukkan unsur sejarah Surabaya dalam cerita-cerita saya,’’ kata Pak Parto.

Lalu, Suparto Brata bertutur tentang beberapa orang Belanda yang pada suatu hari bertamu ke rumahnya, dengan peralatan investigasi yang canggih, hanya untuk melacak peristiwa mengenai pembunuhan terhadap warga Belanda yang terjadi di salah satu sudut kota Surabaya seputar peristiwa 10 November 1945. Suparto Brata mengaku tidak tahu soal itu, dan bahkan sebagai ’’warga negara yang baik’’ ia sempat mengatakan bahwa pembunuhan [di luar pertempuran] itu tidak ada. Tetapi, kemudian Suparto Brata pun mengaku tak bisa lagi banyak bicara ketika para tamunya itu mengatakan bahwa ada dokumen-dokumen tertulis yang dibuat oleh saksi hidup yang lolos dari pembunuhan itu.

’’Mereka bukan pengarang, bukan wartawan, dan apalagi sejarawan. Mereka adalah orang-orang biasa, yang secara gramatikal –walau penutur asli bahasa Belanda— tulisannya juga nggak karuan. Tetapi, itu semua cukup sebagai informasi, dan ternyatalah kemudian menjadi dokumen sejarah yang sangat berharga. Mereka sadar akan pentingnya tulisan itu. Sementara, sampai sekarang pun, tampaknya kita kurang memiliki kesadaran semacam itu,’’ tegas Suparto.

Suparto Brata benar. Jika saja kita memiliki kesadaran akan pentingnya ’’tulisan’’ itu, bisa jadi kita tak perlu terlalu sibuk dan susah untuk mengetahui, misalnya, siapa yang telah berhasil membunuh Jenderal Malaby.

Bukannya pesta kembang ppi itu tidak baik. Bukannya arak-arakan atau karnaval keliling kota itu tidak baik [asal tidak memperparah kemacetan lalulintas]. Bukannya acara-acara yang bersifat menghibur itu negatif. Tetapi, mbok ya jangan terus-menerus dilupakan hal-hal yang bersifat esensial, misalnya seperti yang diusulkan Suparto Brata itu.

Jika Pemkot menilai usulan itu bagus, seharusnya tak lagi ditunda-tunda, tak perlu menunggu tahun depan atau tahun depannya tahun depan lagi, karena jika tidak segera dilaksanakan, keburu para saksi hidup diserang pikun dan dimakan usia. [bn]

0 comments: