Tuesday, March 4, 2008

Sarasehan Saridin Mokong: Menggugat Hegemoni Bahasa Jawa Solo-Yogya

GUGATAN terhadap konsep pengiblatan kebudayaan Jawa yang selama ini terlalu mengarah ke Solo-Yogya sebagai representasi kemapanan, kian hari kian menemukan entitasnya. Dalam perkembangan sastra Jawa kontemporer pun, hal itu menunjukkan rautnya yang semakin tegas.


Setidaknya, gugatan tersebut turut menyeruak dalam Sarasehan Saridin Mokong Muleh nong Pati dengan tema "Mengeja Saridin, Mengangkat Spirit Kepatenan", Sabtu (2/2), di Pendapa Kabupaten Pati.

Sucipto Hadi Purnomo, dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Semarang (Unnes), mengaku menulis ulang perjalanan hidup Saridin - tokoh yang keberadaannya masih berada dalam tarik-menarik perdebatan antara dunia riil dan fiksi - itu dari lakon ketoprak.

"Saya tidak lebih hanya mensastrakannya dari teks ketoprak dengan memberikan aksentuasi pada kekuatan estetika bahasanya," ungkap dia dalam acara untuk menyambut HUT Ke-58 Suara Merdeka itu.

Yang membedakan, lanjut dia, bahasa ketoprak cenderung masih mematuhi unggah-ungguh bahasa Jawa Solo-Yogya. Sebaliknya, cerita bersambung Saridin Mokong gubahannya, sepenuhnya mengambil salah satu subdialek di Pati baik dalam gancaran (paparan) maupun antawacana (dialog).

Bukan Sektarian

Amir Machmud NS, Wakil Pemimpin Redaksi Suara Merdeka, yang mengantar diskusi tersebut, menampik tegas jika dikatakan Koran Perekat Komunitas Jawa Tengah itu menebar emosi sektarian dalam kebijakan memublikasikan Saridin Mokong.
Justru surat kabar yang didirikan H Hetami itu memberikan ruang yang lebih leluasa untuk menampung ekpresi literer yang mengedepankan kekuatan dialek nan khas dari komunitas-komunitas subetnik di Jateng.

"Terbukti, kesempatan yang sama juga kami berikan untuk cerita bersambung Martoloyo karya Saroni Asikin di Suara Pantura yang ditulis dengan bahasa Jawa dialek Tegal. Beberapa waktu sebelumnya, kami juga memuat versi bahasa Jawa Banyumas Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari di Suara Banyumas," paparnya.

Meski demikian, tegas Amir, kebijakan keredaksian tidak serta-merta meminggirkan teks fiksional yang terekspresikan dengan bahasa Jawa gaya Solo.

Pemuatan cerita bersambung Kukus Kumelun ing Kartasura karya Sugeng Wiyadi di Suara Solo mewakili segmentasi selera tersebut.

Sementara itu, Wakil Bupati Pati Kartina Sukawati mengakui pentingnya karya sastra seperti Saridin Mokong sebagai salah satu wadah dokumentasi budaya dan dinamika karakteristik sosial suatu masyarakat. Karena itu, dia menyarankan untuk menerbitkannya menjadi buku.

Kegiatan yang terselenggara atas kerja sama Pemkab Pati, Suara Merdeka, dan Unnes itu dihadiri tidak kurang dari 100 peserta yang terdiri atas pelajar, mahasiswa, guru, dan seniman.

Suasana sesi diskusi berjalan gayeng. Menyentuh masalah lokal kesenian, seperti usulan pementasan ketoprak tiap bulan di Alun-alun Simpanglima dan soal grup ketoprak di Pati yang tidak mampu pentas ke luar daerah.

Tak heran, jika arah diskusi bergerak ke sana. Karena di antara yang hadir antara lain terdapat Sudirman, Ketua Keto-prak Sri Kencono Budoyo Pati, yang tampil sebagai salah seorang narasumber dalam sarasehan tersebut. Selain itu, juga ada tokoh pelaku seni ketoprak lokal, Markonyik.(Jokomono-69)

Suara Merdeka [Muria] Senin, 04 Februari 2008

0 comments: